Martin Suryajaya : Dari ‘Potret Pembantai sebagai Budayawan’, ‘Yang Lenyap dalam Senyap’, ‘Kekerasan Budaya Pasca 1965 Hingga ‘Masalah 1965 dalam Representasi Artistik & Ideologi Estetis’

Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma menggelar diskusi dengan tema “Memahami Kekerasan Budaya Pasca Tragedi 1965”

Masalah 1965 dalam Representasi Artistik dan Ideologi Estetis – Martin Suryajaya

halaman 1-6 dalam prosiding “The 1965 Coup in Indonesia: Questions of Representations 50 Years Later”

Pembantaian orang-orang komunis menyusul kudeta militer G-30-S adalah peristiwa besar yang mengubah sejarah Indonesia secara radikal. Tak kurang dari 500.000 orang mati, menurut perhitungan konservatif. Bahkan kemungkinan juga mencapai angka antara satu hingga tiga juta nyawa, menurut film The Act of Killing yang disutradai oleh Joshua Oppenheimer. Selain itu, sekitar 1,5 juta orang yang dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan (Roosa, Ratih & Farid 2004: 9). Dengan angka korban sebesar itu, sudah tentu terjadi perubahan besar dalam masyarakat Indonesia, begitu juga ekspresi kulturalnya. Melalui makalah ini, penulis akan mempelajari lebih lanjut bagaimana peristiwa kelas dengan skala sebesar itu tampil ke dalam karya seni, khususnya dalam sastra dan seni rupa. Setelah mengidentifikasi pola-pola representasi artistik atas pembantaian 1965, penulis akan mencoba memeriksa perubahan yang terjadi pada aras pandangan estetis menyusul peristiwa tersebut.

Potret Pembantai sebagai Budayawan – Martin Suryajaya

……dapat disimpulkan bahwa apa yang dibayangkan oleh para pembantai ini merupakan cerminan kasar dari apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Pengingkaran terhadap hak-hak ekosob masyarakat, pelanggaran terhadap hak-hak minoritas, berlakunya modus politik transaksional dan oligarkis, adalah wajah kontemporer dari tatanan yang dibangun oleh kerja Anwar Congo dan kawan-kawannya. Penyangkalan terhadap kebebasan untuk beragama yang marak dewasa ini adalah bagian dari bangunan yang didirikan oleh keyakinan—yang diucapkan oleh Ali Usman, seorang rekan Anwar—bahwa “Tuhan pasti anti-komunis”. Dan itu artinya, kritik dan perlawanan atas segala pelanggaran HAM kontemporer mensyaratkan kritik dan perlawanan atas fondasi kehidupan sosial yang ditaruh oleh angkatan Anwar Congo. Tidak ada pembelaan yang masuk akal atas Has Asasi Manusia di Indonesia tanpa perlawanan terhadap warisan otoritarianisme Orde Baru

Yang Lenyap dalam Senyap – Martin Suryajaya

Moralitas adalah yang lenyap dalam Senyap. Kita tidak dibuat sedih oleh film ini—kata ‘sedih’ terlalu lunak untuk menggambarkan apa yang mengendap di dada. Kesedihan adalah masa lalu. Kemarahan adalah hari ini dan esok. Waktu bersedih telah lewat. Jam-jam sepi kemarahan baru dimulai. Maka biarkan amarah yang tua ini jadi doa kita bersama………

***

Maka, pada suatu pagi ketika komunisme tak ada lagi, kita harus membayangkan Marsinah berbahagia. Seperti para korban pembantaian ‘65 yang digambarkan menjelang akhir film The Act of Killing: dengan latar air terjun yang damai, mereka dibayangkan mengalungkan medali pada sang pembantai dan menjabat tangannya sembari berucap, ‘Atas eksekusi yang saudara lakukan terhadap diri saya, yang mengantarkan saya ke dalam sorga, untuk itu saya ucapkan ribuan terima kasih.’ Kita harus membayangkan para korban itu bergembira. Atas nama kebebasan, atas nama Kirilov dan Dr. Rinkes, kita harus membayangkan mereka bersukacita. ‘Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.

selengkapnya Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 – Martin Suryajaya

tulisan Martin Suryajaya “Lima Alasan Kenapa Buku Ini Keren dan Dua Hal Lain yang Menarik Untuk Dikomentari ( terlampir dibawah) dari salah satu kata pengantar buku Sejarah Gerakan Kiri Untuk Pemula

tentang buku disalin dari Ultimus

Sepertiga abad orde baru berkuasa (1965–98), sejarah Indonesia dipelintir dan dibelokkan demi kepentingan penguasa. Propaganda dan teror merajalela. Hanya boleh ada satu versi sejarah Indonesia, sejarah versi orba. 

Tumbangnya orde baru memunculkan berbagai upaya pelurusan sejarah. Terbit buku-buku, tulisan-tulisan, hasil-hasil penelitian, kesaksian-kesaksian, film-film dokumenter, dan sebagainya, yang menguak kebohongan sejarah versi orba tersebut. Itu pula yang mendasari digelarnya berbagai forum seminar, pertemuan dan diskusi, bedah buku, pemutaran film, dan lain-lain.

Namun demikian, meskipun sudah selama 17 tahun masa reformasi (1998–2015), masih ada saja pihak-pihak yang melakukan represi, teror, dan propaganda keji kepada masyarakat dengan memakai referensi sejarah versi orde baru. Sebut saja beberapa contoh kasus yang terkait persoalan 1965 selama pemerintahan Jokowi–JK ini: (i) Pelarangan, baik film, diskusi, pertemuan, maupun pemutaran film sebanyak 17 kasus; (ii) Pembubaran paksa – 4 kasus; (iii) Intimidasi – 3 kasus; (iv) Deportasi – 1 kasus, yang dialami Tom Iljas, eksil yang kini tinggal di Swedia; (v) Penangkapan sewenang-wenang – 1 kasus; dan (vi) Pembredelan – 1 kasus, yang dialami oleh majalah mahasiswa Fikom UKSW Salatiga Lentera. (Sumber: Elsam, 2015) 

Dengan semakin banyak orang mempelajari dan memahami sejarah yang benar dengan jujur, berharap kekerasan-kekerasan yang masih merajalela sampai sekarang itu akan semakin berkurang. Buku ini memang berniat mendorong pembaca untuk tertarik mempelajari buku-buku sejarah lebih lanjut. 

Tidak ada yang baru dari apa yang tertulis pada setiap halaman demi halaman buku ini. Semua sudah pernah ditulis dan disampaikan dalam berbagai buku, artikel, penelitian, berita, film dokumenter, kesaksian, seminar, diskusi, dan lain sebagainya. Yang baru adalah, semua itu diringkas dan digambar sehingga memudahkan dan menarik bagi pembaca tingkat “pemula” untuk mengenal dan memahami bagaimana sesungguhnya sejarah Indonesia. Sebagian daftar referensi dan bacaan itu terlampir di bagian belakang. Untuk beberapa halaman peristiwa sejarah yang masih kontroversi dan masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, kami sisipkan referensi sebagai catatan kaki. 

Untuk mengenal sejarah gerakan kiri di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari sejarah 65 yang kelam itu: tentang Peristiwa G30S dan tentang pembantaian massal tahun 1965–66. Lalu kenapa buku ini tidak fokus membahas sejarah 65 saja? Sebab, membicarakan sejarah tidak bisa sepotong-sepotong. Sebuah peristiwa sejarah, apalagi sedahsyat Peristiwa 65 yang mengubah arah perjalanan bangsa Indonesia dari yang tadinya menuju Sosialisme Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno menjadi bangsa yang mengekor nekolim di bawah kepemimpinan orde baru, harus dilihat dari peristiwa-peristiwa sejarah yang mendahuluinya, dan juga perkembangan sejarahnya kemudian. Lagipula, sudah banyak sejarawan yang fokus penelitiannya adalah soal-soal mendalam tentang Peristiwa 65. Itu memang tugas sejarawan.

944856_540573369447788_1929629241273430999_n
12832306_540573392781119_2724610780908407119_n

simak pula jendela buku dan ulasan buku Sejarah Gerakan Kiri yang Dihilangkan

Seri Kompilasi Kajian Ilmiah Genosida 1965-1966 

Asvi Warman Adam,Baskara T. WardayaAriel Heryanto,Robert CribbAnnie PohlmanJohn RoosaSaksia WieringaKatharine McGregorPeter Dale ScottBenedict AndersonVannessa HearmanJess MelvinNoam ChomskyBradley Simpson, Geoffrey RobinsonGreg PoulgrainAlex de JongAndre VltchekTaomo Zhou Soe Tjen Marching, Peter Kasenda, Aiko Kurasawa,Vijay Prashad,Akihisa Matsuno , Ruth Indiah RahayuNathaniel MehrAdam Hughes Henry Henri Chambert-Loir, Wim F.Wertheim, Steven FarramSri Lestari Wahyuningroem , Joss WibisonoLeslie Dwyer – Degung Santikarma, Vincent Bevins,Wijaya Herlambang, Budiawan, Ong Hok HamRex Mortimer, Olle Törnquist, Max Lane, Hilmar Farid , Michael G. Vann Gerry van KlinkenGrace Leksana, Ken SetiawanAyu RatihYosef DjakababaAan Anshori, Muhammad Al-Fayyadl, Roy MurtadhoDeirdre Griswold , David T. HillYoseph Yapi Taum, Aboeprijadi Santoso,  Adrian Vickers, John Gittings, Jemma PurdeyHenk Schulte NordholtMartijn EickhoffMade SurpriatmaDahlia Gratia Setiyawan, Uğur Ümit Üngör, Manunggal Kusuma WardayaGloria Truly EstrelitaWulan DirgantoroKar Yen LeongWulan DirgantoroMuhidin M. DahlanDhianita Kusuma PertiwiElsa ClavéJustin L. WejakDouglas KammenMartin Suryajaya, Chris Wibisana

simak 1800 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar