(Internal Partai)
JOHN ROOSA
“Artikel ini memeriksa asal-usul strategi legal parlementer PKI di awal 1950-an, keberhasilan spektakuler strategi tersebut selama 1950-an dan awal 1960-an, dan kehancuran pamungkasnya dalam kekerasan mengerikan pada 1965-66 ketika ratusan ribu anggota PKI yang tidak bersenjata dibantai oleh tentara Indonesia. PKI memiliki lintasan unik di antara partai-partai komunis lain di paruh kedua abad ke-20. Partai ini mendekati puncak kekuasaan negara melalui perjuangan ‘atas-tanah,’ lalu tumbuh menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Repubik Rakyat Tiongkok (RRT), dan akhirnya begitu cepat runtuh. Setiap aspek dari lintasan ini penuh teka-teki. Pertanyaan paling awal, mengapa PKI mengadopsi strategi legal parlementer? Bagaimana PKI berencana membangun pertahanan dirinya? Mengapa begitu banyak orang Indonesia yang tertarik pada partai ini? Bagaimana para aktivis partai mengadaptasi Marxisme-Leninisme dan paradigma Revolusi Rusia dan Tiongkok sehingga gagasan-gagasan tersebut masuk akal bagi orang Indonesia biasa? Pengaruh apa yang dimiliki Uni Soviet dan RRT terhadap PKI? Bagaimana organisasi sebesar PKI dengan jutaan pendukung bisa dihancurkan dengan begitu cepat dan menyeluruh, tanpa perlawanan yang berarti? Apakah para pemimpin PKI tidak memahami kerentanan partai dan menyiapkan cara untuk melindunginya dari serangan? Apakah pembantaian itu bukti bahwa strategi legal, parlementer itu keliru, bahwa keberhasilan mobilisasi massa selama empat belas tahun itu ilusi? Ataukah, pembantaian itu bukti bahwa implementasi strategi legalparlementer khas Aidit itu keliru?”
Edisi Indonesianya di terbitkan oleh Pustaka Pelajar
Mortimer juga menuliskan buku The Indonesia Communist Party and Land Reform 1959-1965
Sejarah komunisme Indonesia seolah ditakdirkan untuk konsisten dengan tragedi. Pada tiga periode berbeda, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mengemuka dari sekedar partai pinggiran yang tidak menolak menjadi partai terdepan dan menonjol dengan kecepatan menakjubkan layaknya “api sabana” membakar habis di musim panas-istilah Mao Tse Tung untuk menggambarkan kebangkitan gerakan petani di Chinna Tengah pada 1925- namun selalu saja kandas oleh skandal kekerasan. Dalam buku ini, Professor Mortimer menganalisis berbagai ide, program, dan kebijakan PKI selama Demokrasi Terpimpin, dan menunjukkan bagaimana berbagai hal itu dikembangkan dan dilaksanakan. Mortimer dengan saksama meneliti hubungan antar PKI dan Presiden Soekarno dan menawarkan interpretasi baru terhadap peristiwa menjelang kudeta yang gagal dan kehancuran berdarah PKI pada 1965.

The article reviews three recent, commendable and important books about the Indonesian counter-revolution and killings of the mid1960s. Two case studies by Jess Melvin and Vannessa Hearman and a history by Geoffrey Robinson.
The title, “How long is now?,” alludes to a mural along Oranienburger Strasse, Berlin-Mitte, on what was once a SS centre and Nazi prison, then a public East German building, and after the fall of the wall, a centre for dynamic artists; the building is now abandoned. The mural is a glance back at Berlin’s recent creative past, in prolonged waiting for the future. To me, the mural also encapsulates the dynamism as well as the sad fate of the Indonesian students in Jakarta who, in the autumn of 1998, kept me lecturing and discussing until late at night. They were searching for ways of reclaiming a critical history of what had materialised since the late 1940s, including of why the then-largest reformist popular movement in the world could be eliminated and some 500,000 people killed by military and ‘civil’ militias in 1965-66. The moment of transparency faded away. The future is still not in sight. Why?
Max Lane (Maxwell Ronald Lane)
Tinjauan Buku Malapetaka di Indonesia: sebuah renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri – Max Lane
Tinjauan Buku Malapetaka di Indonesia: sebuah renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri – Max Lane
In the mid 1960s, the Indonesian military massacred hundreds of thousands of radicals. The country’s left still hasn’t recovered.
transkrip diskusi buku “Nasionalisme Indonesia belum selesai” yang diselenggarakan oleh Pantau pada tanggal 28 Agustus 2007 di Jakarta.
Dalam artikelnya yang masyhur “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya Sukarno melakukan pembelahan bukan persatuan.
Dia abaikan mekanisme demokrasi. Sosialisme Indonesia buntu di tengah jalan.
Indonesia berdiri bukan karena todongan senjata tapi karena prinsip kesukarelaan.
Indonesia berdiri bukan karena todongan senjata tapi karena prinsip kesukarelaan.
Kartini adalah sang pemula dari proses revolusi nasional.
Sebuah pertanyaan besar perlu dikedepankan: apakah malapetaka kemanusiaan pada 1965-1968 adalah sebuah tragedi?
Indonesia dibangun di atas reruntuhan kolonialisme. Orde Baru meluluhlantakannya.
Committee for a Workers’ International, Socialist Alternative Pamphlet
** bandingkan dengan judul buku Max Lane ‘Unfinished Nation”

Lessons of the 1965 Indonesian Coup – Terri Cavanagh
In October 1965 the international working class suffered
one of its greatest defeats and betrayals in the post-World War II period.
Up to one million workers and peasants were slaughtered in a
CIA-organised army coup led by General Suharto which swept aside the shaky
bourgeois regime of President Sukarno, crushed the rising movement of the
Indonesian masses, and established a brutal military dictatorship.
This historical analysis, written by Terri Cavanagh, was first
published as a pamphlet by the Australian section of the ICFI in 1991. A second
edition was printed in 1995.
The bloody coup in Indonesia was the outcome of the drive by US
imperialism to gain unchallenged control of the immense natural wealth and
strategic resources of the archipelago, often referred to as the “Jewel of
Asia”.
In December 1957 the whole fabric of imperialist domination over
the Indonesian economy was shaken by a massive eruption of the working class
and peasantry. Factories, plantations, banks and ships were seized and
occupied.
The Indonesian military coup of October 1-2, 1965 was the
outcome of a carefully-orchestrated and long-planned operation by the CIA and
the US-trained and backed commanders of the Indonesian armed forces.
In the months following the bloody CIA-organised military coup
of October 1-2, 1965, every known member and supporter of the Indonesian
Communist Party (PKI) and all working class parties, and hundreds of thousands
of other Indonesian workers and peasants, were massacred or thrown into
concentration camps for torture and interrogation.
The crisis of working class leadership was never posed so
sharply as in Indonesia between 1963 and 1965. The fate of the Indonesian
workers and peasants depended entirely on overcoming and defeating the
counter-revolutionary line of the Indonesian Communist Party (PKI) which bound
the working class hand and foot to the tottering bourgeois nationalist regime
of Sukarno while the US-backed military prepared for a bloody Coup
Seri Kompilasi Kajian Ilmiah Genosida 1965-1966
simak 1500 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Terkait