An autobiographical statement written by Ong Hok Ham, Indonesian historian, describing his childhood and his perceptive, tormented reaction to the political turmoil and massacres of purported communists in 1965–66 in Indonesia. When he protested the killings, he was imprisoned and eventually suffered a mental breakdown. The statement was written in response to a request from his doctor.
Refleksi Tentang Peristiwa G30S dan Akibat-Akibatnya – Ong Hok Ham [Jurnal Sejarah Vol 2000]
Onghokham dan Orde Baru: Sejarah yang Masih Perlu Diungkap – Joss Wibisono
Resensi To Remain Myself: The History of Onghokham karya David Reeve
Selain lamanya ditahan, Reeve akhirnya dapat memastikan bahwa Onghokham ditahan karena dia sempat berteriak “Hidup PKI!” (melihat pembunuhan orang-orang PKI yang baginya sama sekali tidak bersalah) dan kecurigaan tentara bahwa dia adalah sumber utama Cornell Paper, yang secara garis besar menyimpulkan bahwa G30S adalah akibat dari perpecahan internal dalam tubuh ABRI, berlawanan dengan versi resmi bahwa G30S adalah ulah PKI. Ketika untuk pertama kalinya ditahan, tentara sebenarnya menemukan surat Ruth McVey dalam kantong celana Onghokham yang berisi garis besar Cornell Paper. Semula kalangan militer tidak begitu peduli pada surat ini. Tapi, ketika muncul kabar tentang Cornell Paper, yang dibuat oleh tiga peneliti dari Universitas Cornell, Benedict Anderson, Ruth McVey, dan Fred Bunnell, militer menjadi sangat khawatir. Segera mereka ingat pada surat Onghokham dan karena itu Onghokham kembali ditangkap.
Dalam keadaan jiwa yang begitu guncang, Onghokham jelas butuh perawatan. Soedjatmoko menganjurkan nama dokter Kusumanto Setyonegoro yang pernah merawatnya akibat depresi karena dipenjara pada zaman pendudukan Dai Nippon tahun 1944. Setelah rangkaian pemeriksaan, dokter Kusumanto memastikan bahwa Onghokham tidak menderita skizofrenia alias sakit jiwa paling parah. Onghokham dinyatakan menderita sejenis depresi yang bisa diatasi dengan obat-obatan serta konseling. Berkat perawatan dokter jiwa Kusumanto, Onghokham bisa jadi sudah sembuh dari depresi yang dideritanya. Tapi Ben Anderson mengamati adanya perubahan pada diri sobatnya.
Dia sudah banjak berubah, ngomongannja sering katjau dan emosional, ketawanja sedikit. Dia tjerita pada saja bahwa dia sulit tidur dan sering dihantui impian buruk jang mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidupnja dia banjak minum alkohol, katanja supaja bisa tidur, dan tanpa mimpi buruk.
Jelas guncangan jiwa yang dialami Onghokham akibat perlakuan rezim diktator militer meninggalkan bekas sangat dalam dan tidak tersembuhkan. Strok yang akhirnya diidap Onghokham pada akhir hidupnya bisa-bisa muncul karena dia terlalu banyak menenggak minuman beralkohol. Jelas terlihat betapa perlakuan yang dialami Onghokham akhirnya merupakan penyebab kematiannya, walaupun dibutuhkan waktu 40 tahun lebih.
sumber foto : goodreads
Buku : Revolusi, Sukarno dan G0S 1965
“Jelas simpati dasarnya Ong membuat buku ini emosional. Terasa marah dan sedih, bahkan “nervous breakdown”-nya, mengharukan.” Ben Anderson, Penulis Cornell Paper
“Buku ini menjelaskan Ong sebagai pengamat memiliki akses dan perspektif yang tak terduga. Wawasannya memberi perasaan yang tajam sejarah jalan tragis Indonesia pada 1965-1966,” Ruth McVey, Penulis The Rise of Indonesian Communism
“Sumbangan Onghokham atau biasa disapa Ong yang terpenting,” Peter Kasenda, Sejarawan dan Penulis banyak buku tentang Sukarno
[resensi] Onghokham Menimbang Bung Karno – Peter Kasenda
Melalui bunga rampai ini, Ong ingin mengatakan bahwa Peristiwa G30S telah membuat Pemimpin Besar Revolusi hilang dari panggung nasional dan internasional. Ternyata revolusi tidak berjalan sebagaimana digariskan Sukarno. Selama pemerintahannya, situasi sosial-politik telah tumbuh ke dalam suatu kondisi matang bagi terjadinya revolusi lain. Sukarno digulingkan oleh kontrarevolusi yang dilancarkan Soeharto. Dalam konteks ini, benar juga ungkapan bahwa setiap revolusi harus mengorbankan anak-anaknya sendiri. Sukarno hanyalah salah satu bukti tambahan atas ungkapan ini.
[resensi] Revolusi, Sukarno dan G30S 1965 di Mata Onghokham – Helvry Sinaga
Buku : Rakyat dan Negara – Ong Hok Kam
*PEMBERONTAKAN MADIUN 1948: DRAMA MANUSIA DALAM REVOLUSI halaman 146-166
Sang Guru dan Secangkir Kopi: Sejarawan Onghokham dan
sebuah Dunia Baru Bernama Indonesia
Penulis: Andi Achdian
sumber foto : goodreads
Stanley Adi Prasetyo (Wk. Ketua I Komnas HAM) — Saya mengenal kedua orang dalam buku ini, baik yang diceritakan (Ong) maupun yang menceritakan (AA). Namun saya tak membayangkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang istimewa sebagai manusia. Gaya bercerita yang cerdas dan bernas dalam buku ini, menampilkan sisi-sisi manusiawi Ong secara menarik yang mungkin tak diketahui banyak orang. Ong sendiri adalah figur yang cerdas dan unik, pikirannya yang luas menarik untuk dibaca kembali. Kelebihan buku ini, tak lain adalah pertautan antara gaya menulis yang penuh empati dan intim dengan ketokohan yang dari sisi manusia sangat menarik. Membaca buku ini kita seperti diajak berkelana menyusuri dunia intelektualitas dan peradaban politik negeri ini.
Linda Christanty (Penulis & Wartawan) — Brilian dan memukau. Begitulah kesan saya setelah membaca buku ini. Penulisnya tidak hanya bercerita tentang pemikiran Onghokham melalui rangkaian diskusi, obrolan dan pertemuan dengannya, melainkan juga mengungkapkan pemikirannya sendiri sebagai sejarawan yang kritis, berpikiran mendalam dan jernih dalam menelaah berbagai peristiwa sejarah. Buku ini juga ditulis dengan narasi yang memikat.
Daniel Hutagalung (Sekjen P2D) — Andi Achdian dengan sangat tajam, detil dan memikat berhasil menguraikan anatomi pemikiran Onghokham mengenai sejarah, kebudayaan, politik dan persoalan Tionghoa di Indonesia tanpa mesti kehilangan gambaran Ong sebagai manusia. Buku ini sekaligus menggambarkan kedekatan yang sangat antara Andi dengan Ong, terutama dalam hal pemikiran.
Rosiana Silalahi (TV-Host) — Buku ini membawa kita seolah menjadi saksi langsung dan tahu apa yang terjadi tentang banyak peristiwa sejarah, seperti halnya seorang Onghokham, sejarawan dan juga seorang cendikiawan. Ditulis dengan ringan namun penuh makna, membuat mata melahap buku ini hingga selesai.
Richard Oh (Penulis & Filmmaker) — Kepergian seseorang membuat dirinya terlihat. Sang Guru dan Secangkir Kopi adalah sebuah buku yang mengisi apa yang kita tidak tahu, melengkapi apa yang kita tahu tentang Onghokham. Sangat terasa perlunya buku ini. Kala ia membuat kita ingin meneliti kembali karya-karya Onghokham dari sudut pandang yang berbeda.
Onghokham dan Sejarah Indonesia – Andi Achdian ((artikel)
(Resensi) Membaca dan Berdialog dengan Onghokham – Muhammad Fauzi [Jurnal Prisma]
Seri Kompilasi Kajian Ilmiah Genosida 1965-1966
Asvi Warman Adam,Baskara T. Wardaya, Ariel Heryanto,Robert Cribb, Annie Pohlman, John Roosa, Saksia Wieringa, Katharine McGregor, Peter Dale Scott, Benedict Anderson, Vannessa Hearman, Jess Melvin, Noam Chomsky, Bradley Simpson, Geoffrey Robinson, Greg Poulgrain, Alex de Jong, Andre Vltchek, Taomo Zhou , Soe Tjen Marching, Peter Kasenda, Aiko Kurasawa,Vijay Prashad,, Akihisa Matsuno , Ruth Indiah Rahayu, Nathaniel Mehr, Adam Hughes Henry , Henri Chambert-Loir, Wim F.Wertheim, Steven Farram, Sri Lestari Wahyuningroem , Joss Wibisono, Leslie Dwyer – Degung Santikarma, Vincent Bevins,Wijaya Herlambang, Budiawan, Ong Hok Ham, Rex Mortimer, Olle Törnquist, Max Lane, Hilmar Farid , Michael G. Vann , Gerry van Klinken, Grace Leksana, Ken Setiawan, Ayu Ratih, Yosef Djakababa, Aan Anshori, Muhammad Al-Fayyadl, Roy Murtadho, Deirdre Griswold , David T. Hill, Yoseph Yapi Taum, Aboeprijadi Santoso, Adrian Vickers, John Gittings, Jemma Purdey, Henk Schulte Nordholt, Martijn Eickhoff, Made Surpriatma, Dahlia Gratia Setiyawan, Uğur Ümit Üngör, Manunggal Kusuma Wardaya, Gloria Truly Estrelita, Wulan Dirgantoro, Kar Yen Leong, Wulan Dirgantoro, Muhidin M. Dahlan, Dhianita Kusuma Pertiwi, Elsa Clavé, Justin L. Wejak, Douglas Kammen, Martin Suryajaya, Chris Wibisana, Satriono Priyo Utomo
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)