Stories that bridge time – Ayu Ratih (inside Indonesia)
Lingkar Tutur Perempuan: Women and the politics of memory in the aftermath of 1965 state violence – Gusti Agung Ayu Ratih
halaman 538 – 573 dalam Prosiding Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas, Agensi dan Politik (20 Tahun Jurnal Perempuan)
1965 Indonesia adalah sebuah momen politik yang di masa Orde Baru dipakai sebagai cara untuk menghancurkan gerakan perempuan yang saat itu sangat berperan besar dalam membangun gerakan nasionalis kiri. Tamu Wawancara IndoProgress TV yang akan membahas tentang hal ini adalah pendiri dan Direktur Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), I Gusti Agung Ayu Ratih.
Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial – John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Halaman 1-23. Dalam buku Tahun yang Tak Pernah
Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65
berikut petikan hal 5-6
Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas – John Roosa dan Ayu Ratih
Tahun yang Tak Pernah Berakhir ; Memahami Pengalaman Korban 65 – Esai-esai sejarah lisan (Ed. Ayu Ratih, Hilmar Farid dkk).
Pengantar untuk kumpulan cerpen LOBAKAN (2009)
LOBAKAN SEBAGAI PELITA JALAN SEJARAH
I Gusti Agung Ayu Ratih*
Bali dan 1965
ORAL HISTORY AND MASS VIOLENCE
hal 222-230 dalam PROCEEDING: INTERNATIONAL CONFERENCE Utilization of Historical Source in Learning 8th October 2016, Aula Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
The mass violence of 1965-66 is a historical event that poses the most challenging questions in Indonesian historiography. For a long time the Suharto government obscured the event by propagating its own fabricated narrative and forbade those who knew about the event from discussing it openly. Once there was a more democratic space for people, including victims and witnesses, to share their knowledge and experience, the battle for truth from the opposing sides began. To challenge the victim’s narratives even the perpetrators present themselves as victims and the government as the saviour. The narrative of victimhood dominates the discussion about 1965 political genocide and other possible historical sources recede into the background. As a researcher who has coordinated oral history project of the victims, I would like to explore the complexity of dealing with oral sources in investigating mass violence. What is the significance of oral history in addressing the issue of mass violence? How do we deal with different types of oral sources, i.e. testimony, life history, or oral tradition, in substantiating truth claims?
“I Gusti Agung Ayu Ratih”, Penulis Prakata SGKIuP, “Belajar Menerima Bali yang Berbeda” : Bali dan 1965
“….Bungkam tak berarti lupa. Kejayaan industri pariwisata tidak berhasil memupus ingatan sebagian orang Bali akan 1965 sebagai tahun malapetaka. Mereka menjadi korban penyerangan sekaligus saksi bagaimana anggota keluarga, kerabat dan kawan-kawan mereka dikejar-kejar, ditangkap, dan dibunuhi seperti tikus sawah; digiring ke pinggir laut dan dieksekusi secara massal; atau, bahkan diminta mati di merajan (tempat persembahyangan bagi leluhur keluarga). Setelah pembersihan fisik usai, mereka yang tersisa tidak hidup nyaman dan tenang. Mereka mengalami pengucilan di lingkungan keluarga besar, banjar, dan desa; mereka tak beroleh kesempatan menyelenggarakan upacara pelebon (kremasi), sebagai bentuk penghormatan terakhir, bagi anggota keluarga yang telah dimusnahkan. Memang diantara para korban dan keluarganya ada yang memperoleh keuntungan dari industri pariwisata dan hidup cukup layak. Namun, ada saat-saat mereka harus berhadapan dengan para pelaku penganiayaan yang tidak jarang masih kerabat atau tetangga dekat. Kenangan tentang kengerian dan kepedihan pun meruap dalam beragam bentuk: pergunjingan di dalam keluarga, umpatan dalam diam, sampai kutukan agar si pelaku dan seketurunannya beroleh sial — karmapala. ……”
selengkapnya baca disini “Belajar Menerima Bali yang Berbeda”
simak pula tentang buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula