Negara Jangan Cuci Tangan : Artikel-artikel (Kajian) Ariel Heryanto Tentang Genosida 1965-1966 – Ariel Heryanto Articles on Indonesian Genocide/Massacre 1965-1966

 

 

 

 

Tidak ada peristiwa kekerasan massal di mana pun bisa meliputi wilayah luas, dan berlangsung dalam masa yang panjang, dan memakan banyak korban, jika tidak disponsori negara. Hal ini berulang kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya di seputar “kasus 1965” yang mencakup masa menjelang 1965 maupun puluhan tahun sesudahnya.

 

Di situ yang menjadi korban bukan hanya satu pihak (komunis), bukan hanya dua pihak (pro dan anti-komunis), tetapi berbagai pihak (bangsa yang terbelah-belah). Dengan demikian, sebetulnya berbagai pihak yang menjadi korban ini tidak perlu saling bermusuhan. Bersama-sama mereka layak menuntut tanggung-jawab negara atas kerugian yang mereka derita.

 

Namun, selama ini kisah kekejaman 1965 disempitkan seakan-akan hanyalah puncak dan akibat konflik horizontal pro dan anti-komunis. Dalam berbagai pidato pejabat negara, buku resmi sejarah, dan pembahasan dalam ruang publik, kejahatan Negara dalam peristiwa itu diabaikan. Sebagai gantinya, tanggung jawab itu dilimpahkan kepada masyarakat yang anti-komunis, termasuk mereka yang menjadi korban karena dipaksa aparat Negara (dengan ancaman jika menolak) untuk membasmi komunis.

 

Sebelum maupun sesudah 1965, konflik horizontal itu memang ada. Tetapi konflik itu teramat kecil jika dibandingkan dengan skala dan peran kejahatan vertikal oleh Negara pada peristiwa yang sama. Seandainya konflik pro dan anti-komunis dibiarkan terjadi sendiri, tanpa campur-tangan negara, jumlah korbannya mungkin puluhan, atau beberapa ratus. Sulit membayangkan akan mencapai angka seribu. Kalau ternyata korbannya ratusan ribu dalam waktu singkat, pasti Negara berperan penting dalam kekejaman itu.

 

Warga sipil anti-komunis dikisahkan dalam berbagai ceramah, ulasan berita, novel, atau film sebagai kaum yang bengis, atau aneh. Mereka diwawancarai mengapa mereka membunuh komunis, atau terlibat membantu pembunuhan itu. Mereka dituduh sebagai pihak yang bersalah. Sementara Negara dibebaskan dari tuduhan apapun.

 

Bukannya menolak tuduhan semacam itu, banyak di antara kaum anti-komunis yang termakan propaganda Orde Baru. Dua pilihan sikap mereka yang menonjol. Pertama, mayoritas dari mereka membela diri dan mencari pembenaran atas tuduhan membunuh komunis. Misalnya, dengan dalih terpaksa membunuh, kalau tidak akan dibunuh komunis. Mereka juga terus berkampanye anti-komunis lebih dari 50 tahun sesudah peristiwa 1965.


Kedua, sebagian kecil dari mereka ikut usaha rujuk atau “rekonsiliasi” yang sifatnya lokal dan personal. Hal ini terpuji. Namun, masalah politik yang sedahsyat 1965 dengan peran Negara sebagai aktor utama, tidak dapat dituntaskan dalam bentuk prakarsa mulia antarwarga di tingkat lokal dan individual, betapa pun mulia prakarsa itu.

 

 

 

selengkapnya

 

 
Kalau terjadi sebuah kekerasan massal sampai memakan waktu berbulan-bulan, meliputi wilayah yang besar, biasanya negara ikut campur. 
 
 
 
 

 

 

Heryanto, Ariel (2018)“Dari Kencing Onta sampai PKI”, Mojok, 11/01/2018 

versi inggris

Heryanto, Ariel (2018)“The biggest hoax of all: the 30 September Movement”, Indonesia at Melbourne,16/01/2018

Heryanto, Ariel (2016)“Menghormati Keputusan Pengadilan Rakyat 1965”, CNN Indonesia, 21/07/2016 

Kapan Kambuhnya BahayaPKI-c Heryanto, Ariel (2016) “Kapan Kambuhnya Bahaya PKI?”, CNN Indonesia,10/05/2016

Heryanto, Ariel (2016)“Negara dan Maaf 1965”, Tempo, 8/05/2016: 90-91.


Heryanto, Ariel (2016) “Massacre, memory and the wounds of 1965”, New Mandala,2/05/2016

Mencoba Berdamai denganSejarah Kelam-c Heryanto, Ariel (2016) “Mencoba Berdamai dengan Sejarah Kelam”,CNN Indonesia, 20/04/2016

A ban that never was-cHeryanto, Ariel (2015) “A ban that never was: Beyond the headlines”, TheJakarta Post, 10/11/2015, page 6

Heryanto, Ariel (2006)“Kudeta”, Kompas, 1/10/2006.


Heryanto, Ariel (1999) “Where Communism Never Dies” – Violence, trauma and  narration in the last Cold War capitalist authoritarian state, InternationalJournal of Cultural Studies, 2 (2): 147-177.

Ketika Komunisme Tak Pernah Mati

Kekerasan, Trauma, dan Narasi di Indonesia”

FILM

Heryanto, Ariel (2019) “Heroism and the Pleasure and Pain of Mistranslation; The Case of The Act of Killing”, in B. Korte, S. Wendt and N. Falkenhayner (eds), Heroism as a Global Phenomenon in Contemporary Culture, Routledge: New York, pp. 167-188.

Heryanto, Ariel (2012)“Screening the 1965 Violence”, in J. Brink and J. Oppenheimer (eds), KillerImages: Documentary Film, Memory and the Performance of Violence, New York:Columbia University Press, pp. 224-240.

Heryanto, Ariel (2012)“The 1965-6 killings: facts and fictions in dangerous liaisons”, IIASNewsletter, 61 (Autumn): 16-17

Heryanto, Ariel (2012)“Film, Teror Negara, Luka Bangsa”, Tempo, 41(31/ 1-7 October 2012),hal.118-121. 

Heryanto, Ariel (2012)“Kesaksian Binal-Bugil dari Negeri Preman”, Tempo, 41(31/ 1-7 October 2012),hal. 114-115.

Heryanto, Ariel (2012)“Menganyam Fakta dan Fiksi”, Historia, 1 (61), hal. 95-97.

Heryanto, Ariel (2014)“Menolak Diam, Menolak Tunduk” Indoprogress

wawancara

Adnan, Sobih AW (2017)“Sejarah Tidak Cuma Hitam-Putih”, metrotv, 19/12/2017 

“Ariel Heryanto:Seakan-Akan Sudah Ada ‘Rekonsiliasi’”, wawancara oleh Arya Adikristya,Scientiarum (Desember 2016): 18-20.


“Teror Negara”, wawancara Ben Abel, dalam Baskara T. Wardaya (ed), MenujuDemokrasi; Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2001, hal. 292-325.
.    

Historiografi Rasis (dokumentasi oleh Jakartanicus)Kuliah Profesor Ariel Heryanto dari Monash University 

*kuliah ini tidak secara langsung bertautan dengan genosida 65-66, namun lebih kepada refleksi dan koreksi historiografi termasuk sejarah gerakan kiri yang dihilangkan

 

 

Seri Kompilasi Kajian Ilmiah Genosida 1965-1966 

Asvi Warman Adam,Baskara T. WardayaAriel Heryanto,Robert CribbAnnie PohlmanJohn RoosaSaksia WieringaKatharine McGregorPeter Dale ScottBenedict AndersonVannessa HearmanJess MelvinNoam ChomskyBradley Simpson, Geoffrey RobinsonGreg PoulgrainAlex de JongAndre VltchekTaomo Zhou Soe Tjen Marching, Peter Kasenda, Aiko Kurasawa,Vijay Prashad,Akihisa Matsuno , Ruth Indiah RahayuNathaniel MehrAdam Hughes Henry Henri Chambert-Loir, Wim F.Wertheim, Steven FarramSri Lestari Wahyuningroem , Joss WibisonoLeslie Dwyer – Degung Santikarma, Vincent Bevins,Wijaya Herlambang, Budiawan, Ong Hok HamRex Mortimer, Olle Törnquist, Max Lane, Hilmar Farid , Michael G. Vann Gerry van KlinkenGrace Leksana, Ken SetiawanAyu RatihYosef DjakababaAan Anshori, Muhammad Al-Fayyadl, Roy MurtadhoDeirdre Griswold , David T. HillYoseph Yapi Taum, Aboeprijadi Santoso,  Adrian Vickers, John Gittings, Jemma PurdeyHenk Schulte NordholtMartijn EickhoffMade SurpriatmaDahlia Gratia Setiyawan, Uğur Ümit Üngör, Manunggal Kusuma WardayaGloria Truly EstrelitaWulan DirgantoroKar Yen LeongWulan DirgantoroMuhidin M. DahlanDhianita Kusuma PertiwiElsa ClavéJustin L. WejakDouglas KammenMartin Suryajaya, Chris WibisanaSatriono Priyo Utomo

*masih terus ditambahkan

 

Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Bookmark and Share

Tinggalkan komentar