SECULAR, RELIGIOUS AND SUPERNATURAL – AN EASTERN INDONESIAN CATHOLIC EXPERIENCE OF FEAR
(Autoethnographic Reflections on the Reading of a New Order-Era Propaganda Text)
Justin Laba Wejak
Doctor of Philosophy Thesis 2017
This study of the Eastern Indonesian Catholic experience of fear and its connections with the Indonesian mass violence of 1965-66 has its origins in two personal encounters with fear in Indonesia in 2004. The first was the fear I sensed in the local people on the Eastern Indonesian island of Adonara when I asked them questions about Buang Duran, a local leftist leader who was murdered in 1966. The second was my own spontaneous fear reaction when I first discovered the text that forms the focal point of this thesis in a Jesuit library in Yogyakarta, an experience I still vividly recall.
artikel resume
KETAKUTAN 1965 SEBAGAI KETAKUTAN MASA KINI: MENELAAH KETAKUTAN SEKULER, AGAMA DAN SUPRANATURAL
NARASI RADIKALISME DAN KETAKUTAN – Justin L. Wejak (Jurnal Ledalero)
Sejarah Indonesia dililiti banyak ide dan gerakan radikal yang bertujuan untuk membawa perubahan radikal ke arah negara bangsa. Namun radikalisme telah menciptakan ketakutan dan kecemasan di antara masyarakat. Makalah ini mengkaji narasi radikalisme dan ketakutan yang dibangun dalam dokumen Katolik Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1967. Dokumen tersebut menceritakan peristiwa sejarah dan politik dari kemerdekaan Indonesia hingga tahun-tahun awal rezim Orde Baru Suharto, dengan fokus khusus pada insiden Madiun dari 1948 dan tragedi Lubang Buaya 1965. Makalah ini berpendapat bahwa dokumen yang diteliti tidak lain adalah teks ketakutan, dan narasi rasa takut yang terkonstruksi dalam teks ini terkait dengan radikalisme – yaitu radikalisme kiri yang diwakili oleh komunis Indonesia pra-1965, dan radikalisme kanan yang diwakili oleh radikal agama (Muslim) pasca-1965. Argumen utama ini dijelaskan dengan mengacu pada filosofi rasa takut Martin Heidegger, dan disimpulkan pengalaman-pengalaman ketakutan mengenai masa lalu komunis dilumpuhkan dengan pengalamanpengalaman ketakutan belakangan ini dalam kaitannya dengan radikalisme agama (Islam).
Would a call for accountability ever be heard? – thejakartapost.com
Justin L. Wejak Opinion
Again, would the call for state accountability ever be heard in legal terms? Even though the author seems pessimistic, I try to be optimistic. The old proverb, “Where there’s a will there’s a way”, is partly the basis of my optimism. If the state is determined to account for the mistakes of 1965-1966, it will find a way to accomplish it, regardless of the obstacles. As Indonesia continues to evolve and develop as a nation state, demands for the past to be revisited simply cannot be silenced. The stakeholders, too, would have no better option than to accommodate the public call for state accountability. This, if it ever happens, would put a stop to the word “communist” being used negatively for political purposes during elections. Regardless, Melvin’s book can at least contribute to discussions between historians and legal experts on the possibility of calling the government and military into account for their involvement in the violent anti-communist campaigns post-1965.
simak pula
Memori-Memori Terlarang dan Kekerasan Yang Masih Dirahasiakan (Situs Genosida ’65 NusaTenggara Timur)
Antropolog Amerika James Fox Yang Saat Itu Sedang Berada di Pulau Roti, Memperkirakan 800-1000 Orang Tertuduh Komunis Dieksekusi AD di Nusa Tenggara Timur.
Sejarah Politik Timor Barat Hingga Geger 1965
Jeritan Sunyi Dan Sejarah Yang Bisu : Pembunuhan Massal Maumere 1966
Sang Pembaharu Jan Djong, Camat Kewapantai dan Mantan Anggota DPRD itu, Tewas Setelah Dianiaya dan Diarak Keliling Kota *Pembantaian di Maumere 1966
[Dok. Bedah Buku dan Resensi] Ritual Adat Gren dan Rekonsiliasi Model Pendekatan Budaya dalam Pendampingan Korban / Penyintas Tragedi Kemanusiaan Tahun 1965/1966 di Tua Bao *Maumere – NTT
Memori-memori Terlarang (’65) dan Jalan Rekonsiliasi : Kisah Pendeta Mery Kolimon dan Upaya Membawa Gereja Bertransformasi
Seri Kompilasi Kajian Ilmiah Genosida 1965-1966
Asvi Warman Adam,Baskara T. Wardaya, Ariel Heryanto,Robert Cribb, Annie Pohlman, John Roosa, Saksia Wieringa, Katharine McGregor, Peter Dale Scott, Benedict Anderson, Vannessa Hearman, Jess Melvin, Noam Chomsky, Bradley Simpson, Geoffrey Robinson, Greg Poulgrain, Alex de Jong, Andre Vltchek, Taomo Zhou , Soe Tjen Marching, Peter Kasenda, Aiko Kurasawa,Vijay Prashad,, Akihisa Matsuno , Ruth Indiah Rahayu, Nathaniel Mehr, Adam Hughes Henry , Henri Chambert-Loir, Wim F.Wertheim, Steven Farram, Sri Lestari Wahyuningroem , Joss Wibisono, Leslie Dwyer – Degung Santikarma, Vincent Bevins,Wijaya Herlambang, Budiawan, Ong Hok Ham, Rex Mortimer, Olle Törnquist, Max Lane, Hilmar Farid , Michael G. Vann , Gerry van Klinken, Grace Leksana, Ken Setiawan, Ayu Ratih, Yosef Djakababa, Aan Anshori, Muhammad Al-Fayyadl, Roy Murtadho, Deirdre Griswold , David T. Hill, Yoseph Yapi Taum, Aboeprijadi Santoso, Adrian Vickers, John Gittings, Jemma Purdey, Henk Schulte Nordholt, Martijn Eickhoff, Made Surpriatma, Dahlia Gratia Setiyawan, Uğur Ümit Üngör, Manunggal Kusuma Wardaya, Gloria Truly Estrelita, Wulan Dirgantoro, Kar Yen Leong, Wulan Dirgantoro, Muhidin M. Dahlan, Dhianita Kusuma Pertiwi, Elsa Clavé, Justin L. Wejak, Douglas Kammen, Martin Suryajaya, Chris Wibisana
Simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
1 Comments Add yours