Jasmerah – Memahami peristiwa genosida 1965 tidak akan mendalam dan komprehensif tanpa memahami dinamika perkembangan sejarah Indonesia khususnya sejarah gerakan kiri Indonesia yang selama ini dihilangkan dan dimanipulasi oleh rezim sejarah resmi atau penguasa. Oleh karena kami hadirkan pandangan berbagai kalangan aktivis dan akademisi tentang sejarah gerakan kiri Indonesia
Group sheds light on Indonesia’s hidden history
http://m.thejakartapost.com/news/2016/02/29/group-sheds-light-indonesia-s-hidden-history.html































“I Gusti Agung Ayu Ratih”, Penulis Prakata SGKIuP, “Belajar Menerima Bali yang Berbeda” :
selengkapnya baca disini “Belajar Menerima Bali yang Berbeda”
“Nompi Anom Astika”, penulis Kata Pengantar di SGKIuP:
“…….Barangkali ada semacam ketakutan dari aktivis Kiri masa kini untuk dikait-kaitkan dengan tradisi Kiri masa lalu, walaupun ditangkap dan dipenjarakan atas tuduhan penyebarluasan ideologi komunis pada masa sekarang, beban penderitaannya jauh lebih ringan dibanding penderitaan yang dialami para korban keganasan Tragedi 1965. Tetapi yang perlu dipahami, adalah bahwa ketakutan tersebut berhasil melegitimasi operasi penghancuran pengetahuan Kiri oleh Orde Baru, penghancuran pengetahuan yang membawa Indonesia menuju kemerdekaannya, dan bangkit besar harga diri di antara bangsa-bangsa pada masa Soekarno. ….”
“…….Pasifikasi buruh dilakukan dengan membentuk serikat tunggal FBSI yg kemudian SPSI. Pengenalan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yg memposisikan buruh sebagai partner pengusaha – bukan berlawanan. Setiap terjadi konflik industrial diselesaikan dengan melibatkan unsur militer seperti Koramil maupun Kodim. Mungkin anda belum lupa seorang buruh perempuan bernama Marsinah dihabisi secara membabi buta di kantor Kodim Porong, Sidoarjo – Jawa Timur. Istilah buruh diubah menjadi karyawan, sebuah langkah jenial menghapus makna kelas dari buruh. Sementara sebutan demonstrasi atau mogok diubah ke: unjuk rasa. Seolah ini urusan sepasang kekasih. Nama Departemen Perburuhan diubah ke Departemen Tenaga Kerja yang sebutannya dalam bahasa Inggris adalah Man Power Department. Kata yang tidak lazim digunakan karena itu melecehkan kaum perempuan. Banyak negara menggunakan nama Labour Department. Pilihan kata yang sekilas ‘bermain-main’ ini sebenarnya sarat dengan kepentingan politik: depolitisasi…..
Di luar itu, Soeharto tetap melakukan pembunuhan terhadap warga negara dengan judul DOM Aceh, Papua, Timor Timur, Tanjung Priok, Kedung Ombo, Petrus, dsb. Dia adalah jagal terbesar dalam sejarah umat manusia. Berjuta warga negara dibunuh….”




“Longgena Ginting”, Penulis Prakata SGKIuP, “Kapitalisme dan Krisis Lingkungan Hidup”:
“…Kita juga perlu menegaskan kedaulatan dan hak-hak rakyat atas wilayah dan masa depan pemanfaatan tanah tersebut. Kedaulatan pangan dan enerji adalah merupakan hak rakyat dalam mengontrol produksi pangan dan enerji untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kita perlu menegaskan bahwa untuk segera menghentikan eksplorasi dan eksploitasi enerji fosil seperti minyak, batu bara dan gas jangan sampai menghancurkan lahan-lahan pangan. Kita perlu menegaskan perlunya reforma agraria sejati dan demokratisasi akses terhadap tanah sebagai cara untuk menjamin kedaulatan pangan dan enerji. Model agribisnis saat ini yang menguasai jutaan hektar lahan untuk monokultur adalah bentuk penguasaan lahan yang tidak adil.
“Harri Wibowo”, Penulis Prakata SGKIuP, “Kiri,Awal Mula dan Kini” :
“….Penerbitannya harus kita tempatkan dalam arus sejarah negeri ini di mana kaum Kiri dan gerakan Kiri yang sebelum 1965 identik dengan perlawanan garda depan terhadap kolonialisme dan imperlaisme, namun setelah itu dianggap oleh Orde Baru sebagai musuh negera nomor satu.

“Yunantyo Adi S”, Penulis Prakata SGKIuP, “Rekonsiliasi Roh Peristiwa 1965 di Dusun Plumbon Semarang”
“….Hadir pula para pemerhati, guru besar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Unnes Prof. Wasino, dosen sejarah FIS Unnes Tsabit Azinar Ahmad, pemerhati sejarah Rukardi. Rohaniawan Romo Aloys Budi Purnomo dan Kiai Khambali (Kendal) memimpin doa. Ketua Ansor Jateng Hasyim Asy’ari datang menyusul dan mengadakan tahlilan di makam massal. Pejabat Badan Kesbangpol Kota Semarang Djati Prijono mewakili wali kota meresmikan makam dan memberikan sambutan. Wakil Adm Perum Perhutani KPH Kendal Rovi Tri Kuncoro memberi sambutan dan meresmikan nisan. Lurah Wonosari Sulistiyo maupun Camat Ngaliyan Heroe Soekandar hadir dan turut memberi sambutan. Datang juga ketua-ketua RT, ketua RW, pengurus pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), serta tokoh-tokoh masyarakat setempat maupun sesepuh-sesepuh. Aparat kamtibmas dari Polrestabes Semarang, Polsek Ngaliyan, Koramil Ngaliyan, Babinsa, maupun keamanan kampung, pada hadir dan turut menerima tamu, baik tamu dari pihak keluarga korban maupun para tokoh masyarakat. Dari pihak korban, empat keluarga korban di antaranya hadir, yaitu keluarga Darsono, Sachroni, Joesoef, dan Soerono. Dari delapan identitas korban yang telah diketahui, memang hanya empat di antaranya yang diketahui keberadaan keluarganya.
Peresmian nisan itu berlangsung haru. Bermula dari tangis Sri Martini (61) pecah ketika meletakkan nisan dan melihat nama ayah angkatnya, Joesoef, tertera di nisan, membawa perasaan yang sama bagi kebanyakan yang hadir. Mata Prof. Wasino tampak berkaca-kaca menyaksikan itu, saat diberikan waktu berbicara, ia berucap,”Jujur saja saya terharu, saya tidak mampu menahan perasaan. Bagaimanapun antara manusia dan leluhurnya itu ada ikatan batin, ketika anggota keluarga selama puluhan tahun ini tak tahu keberadaan leluhurnya, kemudian sekarang bertemu di sini, tangis haru itu tak bisa lagi dicegah. Saya, kami semua di sini pun ikut merasakan apa yang menjadi kerinduan Bapak-Bapak Ibu-Ibu….”
Beberapa hari sebelum hari-H penisanan, warga dan panitia gotong-royong kerja bakti dipimpin Lurah Sulistiyono bersih-bersih kampung. Penduduk pun mendirikan tratak dan menyediakan kursi-kursi bagi para tamu tak jauh dari lokasi makam massal. Malam hari sebelumnya warga mengadakan acara melekan di lokasi tratak….”
“Aminuddin TH Siregar”, Penulis Prakata SGKIuP, “Gerakan Kiri di Indonesia, Sekedar Pengantar”
“….Yang menarik kehadiran kitab-kitab sejarah tersebut tetap saja tidak bisa diterima dengan mudah apalagi dipakai untuk meyakinkan orang di Indonesia, atau sekurangnya menimbulkan sejarah seimbang – kalau tidak bisa dibilang obyektif dalam menilai peran kaum kiri. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Sejumlah kalangan menunjuk rezim Orde Baru sebagai dalang dalam mendemonisasikan kaum kiri dan mengecilkan kontribusi mereka melalui kampanye masif sejak 1965. Rezim itu berhasil menanam benih kebencian di dalam kehidupan masyarakat yang menempatkan kaum kiri dan gerakan-gerakannya sebagai kaum terkutuk yang haus darah. Usaha-usaha pemulihan, rekonsiliasi sejarah yang diharapkan bisa menata ulang pemahaman baru – atau setidaknya menumbuhkan sikap obyektif dalam memahami sejarah nasional tidak jarang malah menemukan jalan buntu. Alih-alih, dewasa ini di sudut-sudut jalan, masih terpampang spanduk-spanduk reaksioner yang mengingatkan siapa saja – sekaligus menimbulkan “rasa takut” akan “bahaya laten komunis”. Celakanya, kaum intelektual dan sejarawan yang ingin “membela” sejarah kaum kiri malah dicap antek-antek PKI. Tuduhan tersebut, sejauah yang saya amati, justru tidak menyurutkan minat orang meneliti kaum kiri di Indonesia. Ketidakadilan historiografi nasional terhadap gerakan kiri di Indonesia (atau komunisme itu sendiri) akan senantiasa membuat orang terpancing untuk memperjuangkannya. Cukup masuk akal, diamati dari perspektif itu, kontribusi kaum kiri seakan terkubur di tengah-tengah gempita kemenangan kaum nasionalis kanan yang dominan dalam menghias wajah sejarah sejak 1965. Dampak lain akibat demonisasi kaum kiri sejak tahun itu memunculkan rasa sungkan, kalau tidak bisa dibilang ketakutan, di mata mereka yang ingin memahaminya secara lebih obyektif. Terkecuali sarjana-sarjana Barat, di Indonesia, penelitian sejarah kaum kiri ini masih dilakukan secara “malu-malu”, diganjal rasa takut, sehingga kurang dilakukan secara komprehensif.
Dengan pendekatan komikal, buku ini sekurangnya tidak hanya ingin menghapus bayang-bayang rasa takut itu, tapi berhasil menyajikan sejarah gerakan kaum kiri cukup lengkap. Terlepas dari berhasil-tidaknya teknik penyampaian sejarah dengan komik – seperti yang dilakukan oleh tim buku ini, buku “sejarah gerakan kiri untuk pemula” ini memang perlu dipahami lebih seksama. Pendekatan komik seperti buku ini dalam beberapa hal akan memudahkan orang memahami gagasan-gagasan di balik gerakan kaum kiri yang memang rumit.
Simak 1500 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
