Jeritan Sunyi Dan Sejarah Yang Bisu : Pembunuhan Massal Maumere 1965-1966

G30S 1965, Pembantaian Massal terhadap Anggota PKI di Maumere, NTT

Senandung Bisu 1965 – Ahmad Yunus

KOMANDO OPERASI. TUHAN ALLAH DI MAUMERE

JIKA ADA SATU TAHANAN LOLOS, DUA ALGOJO YANG DIANGGAP LALAI MENJADI KORBAN PENGGANTI.

Laporan Khusus Tempo edisi Jagal Halaman 85-86

The Silent Scream of a Silenced History: Part One: The Maumere Massacre of 1966 John Mansford Prior, SVD

The Silent Scream of a Silenced History: Part Two: Church Responses

John Mansford Prior, SVD

 

PEMBUNUHAN DI MAUMERE : Kewarganegaraan Pascapenjajahan – Gerry van Klinken ejurnal.stfkledalero

Memori Kolektif, Perspektif Korban dan Marwah Peradaban 

Elvan De Porres


Resensi Buku

 

Madung, O. G. dan Prior, J. M. eds. 2015. Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966. Maumere: Ledalero, Litbang STFK Ledalero.

 

Salah satu cerita tentang korban pembantaian yang diangkat dalam buku ini adalah kisah Jan Djong, seorang politisi energik-transformatif dari kota Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dibeberkan secara lugas oleh Gerry van Klinken. Jan Djong mati di penjara dengan serangkaian penyiksaaan yang begitu menjijikan. Lantas kematiannya itu menjadi penabuh awal bagi gendang-gendang pembantaian dan kematian selanjutnya di Maumere. Ratusan masyarakat sipil dibantai oleh sesama sipil yang notabene sama-sama penganut agama Katolik, agama yang sebetulnya menekankan cinta kasih sebagai nilai utama.

……merefleksikan masa lalu, belajar dari masa lalu sembari berbenah diri dan membulatkan langkah untuk maju, merupakan tanggung jawab bersama. Ini bukan tentang mundur ke belakang, mengingat, kemudian membuka borok-borok kekejaman negara tanpa punya pikiran progresif. Menoleh ke belakang tidaklah berarti mati. Sebab, sekiranya ada nilai lain yang ingin ditegaskan. Ya, itu tadi: marwah peradaban bangsa Indonesia sendiri.

BeraniBerhentiBerbohong

Akumulasi Melalu Perampasan dan Kemiskinan di Flores – Emilianus Yakob Sese Tolo

 

Pasca tragedi G30S 1965, depolitisasi massa rakyat Flores menjadi semakin masif dan sistematis melalui teror dan kekerasan yang dilegitimasi oleh negara. Banyak anggota PKI dan simpatisannya di Flores yang pada saat itu getol berjuang melawan feodalisme, tuan tanah, dan menuntut reformasi agraria dibunuh dan dipenjara tanpa tata cara peradilan yang berlaku. Pembunuhan ini tidak saja mendapat legitimasi negara, tetapi juga dibiarkan terjadi oleh Gereja Katolik (Prior 2011; Madung dan Prior 2015) yang kala itu sudah menjadi tuan tanah besar di Flores (Prior 2013; Tolo 2016). Gereja Protestan juga melakukan hal yang sama. Bahkan, gedung Gereja Protestan di Timor dijadikan sebagai tempat penampungan korban sebelum dibantai, dan para pembantai mendapat tempat sebagai pahlawan dalam institusi Gereja Protestan (Klinken 2015b; Kolimon 2015). Alhasil, paling sedikit 2.000 dan paling banyak 13.600 orang NTT, termasuk Flores, yang dibunuh kala itu (Kolimon et al. 2012; Klinken 2015a:310).

Pasca pembantaian 1965, para petani di Flores yang menuntut keadilan agraria kerap kali dicap sebagai PKI dengan konsekuensi dibunuh dan dipenjara tanpa tata cara peradilan yang berlaku. Seperti pada level nasional, ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, massa rakyat desa dilarang berpolitik agar dapat menyibukan diri dengan urusan pembangunan, kerja, dan produksi (Lucas 1992; Antlove 2003; Lane 2013). Dalam imajinasi politik Suharto, massa rakyat yang “jinak” ini, oleh Lane (2014:20) disebut: “massa mengambang” –rakyat yang tidak boleh dimobilisasi dan dipolitisasi. Akibatnya, para petani tak bertanah di pedesaan di Flores tidak berani melakukan gerakan perlawanan untuk menuntut keadilan agraria kepada penguasa dan kaum bermodal, seperti yang terjadi sebelum tragedi G30S 1965. Ketimpangan agraria dilihat sebagai datum (fakta terberi) yang tidak boleh diotak-atik oleh siapapun.

Dalam kondisi seperti ini, karena berpegang pada prinsip kehatihatian,13 pers Gereja Katolik yang sudah mengakar lama sejak masa penjajahan dalam kehidupan massa rakyat Flores kurang kritis terhadap kekuasaan dan ketidakadilan dan enggan menjalankan fungsi politiknya. Misalnya, pasca pembantaian dan pembersihan PKI di Flores pada tahun 1966, pers Gereja Katolik cenderung mendukung agenda “pembersihan” PKI, satu-satunya partai politik yang bersikap kritis terhadap terhadap kekuasaan para tuan tanah dan pemerintah lokal di Flores kala itu (Klinken 2015b). Hanya satu bulan setelah penerbitannya pada tanggal 24 oktober 1974, Dian edisi 24 September 1974 mempublikasikan sebuah foto pembakaran dokumen PKI dengan tulisan propaganda-diskriminatif di bawahnya: “Upacara pembakaran dokumen komunis: biar tidak dibaca oleh yang tidak berhak” (Klinken 2015a:73). Nada propaganda-diskriminatif anti PKI dan, tentunya, antidemokrasi yang dilakukan Dian ini seolah membatalkan sikap Gereja Katolik Indonesia pada tahun 1966 yang menyesal karena telah melakukan “kelalaian-kelalaian maupun pandangan-pandangan yang kurang kritis” dalam mengahadapi tragedi kemanusiaan pasca G30S 1965 (Boelaars 2005 [1991]:149; Prior 2011).

 

simak pula

 

Memori-Memori Terlarang dan Kekerasan Yang Masih Dirahasiakan (Situs Genosida ’65 NusaTenggara Timur)

 

Sejarah Politik Timor Barat Hingga Geger 1965

Situs-situs Genosida 1965-1966 : Aceh, Sumut, Riau, Sumbar,  Sumsel, Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Kalsel, Kaltim, Kalbar, NTT, Sulsel, Sulteng, Sultra….. **

 

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar