disalin dari Komik Produk Propaganda karya Aji Prasetyo
Pengalaman mengerikan ini juga dialami Dhianita Kusuma Pertiwi ketika kanak-kanak ia menuliskan “Saat saya masih kecil, saya sering sekali merinding setiap kali berkunjung ke Museum Brawijaya, Malang. Museum yang dikelola angkatan darat itu memang menyimpan beberapa artefak sejarah yang mengerikan, mulai dari sebongkah batu yang dipakai memukul kepala anggota PKI sampai meninggal, pakaian-pakaian perang dengan lobang peluru, sampai gerbong maut”. Ia menuliskan pengalaman itu sebagai pembuka artikelnya Mengenal Orde Baru: Daftar Maut
Buku Harian Keluarga Kiri : Menulis Kisah Hidup Kakek, Menyingkap Tirai Propaganda *Novel Dhianita Kusuma Pertiwi
Sedikit demi sedikit informasi tambahan pun saya peroleh, melalui kunjungan ke museum-museum, memeriksa benda-benda bersejarah yang dipajang, membaca sumber terkait tambahan yakni buku-buku memoar yang ditulis oleh eks-tapol, dan mewawancarai beberapa orang yang memiliki pengalaman yang berhubungan dengan hal-hal yang terjadi pasca tragedi 1965 seperti anggota keluarga saya sendiri dan juga beberapa orang yang memiliki pengetahuan tentang sejarah di Malang.
Mengenang Redup Jejak ’65 di Malang – Nurdiyansah Dalidjo #Ingat65
Mereka yang diculik, disiksa, dan dibunuh, mayat-mayatnya sebagian dikubur seadanya. Sisanya dibuang ke jurang serta Sungai Brantas — sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa (setelah Sungai Bengawan Solo) yang alirannya juga menuju ke Bendungan Sutami. Kala itu, setiap hari ditemukan banyak mayat di sepanjang aliran sungai, bahkan ia bilang warna airnya keruh karena darah. Kami tak ingin menduga-duga, tapi tragedi pembantaian itu terjadi bersamaan dengan periode awal pembuatan waduk. Tak ada acuan data pasti berapa jumlah korban pembantaian terburuk dalam sejarah Indonesia tersebut. Banyak dugaan beredar jumlahnya mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang.
Saksi Tragedi Berdarah 1965 di Malang Selatan – Zainul Arifin terakota.id
Saat malam hari, mereka dibawa menuju ke kawasan Malang selatan menggunakan truk milik ABRI. Ada yang masih dalam kondisi hidup dengan mata tertutup dan tangan terikat. Tidak sedikit pula yang sudah tidak bernyawa. Tidak sekali atau dua kali truk mengangkut orang yang dituduh terlibat PKI menuju selatan Malang.
“Beberapa kali, saya lupa persisnya. Lokasi truk itu berhenti saya lupa, pokoknya di hutan Malang selatan,” ucap Sahri.
Tugas Sahri di malam itu hanya menjaga truk di titik pemberhentian. Sementara para penumpangnya digiring masuk ke dalam hutan. Tidak terlibat mengeksekusi para tahanan itu. “Sekali jalan bisa sampai dua puluh orang yang diangkut truk. Tugas saya hanya mengawal,” ucapnya.
Dari informasi yang dia dapat, tidak ada satu pun lubang kubur disiapkan di tengah hutan tersebut. Seluruh korban yang dieksekusi, mayatnya dilempar begitu saja ke dalam jurang di dalam hutan.
Chapter 7 ADDITIONAL DATA ON COUNTER-REVOLUTIONARY CRUELTY IN INDONESIA, ESPECIALLY IN EAST JAVA Anonymous dalam buku The Indonesian killings of1965-1966: studies from Java and Bali (1991) Edited Robert Cribb
**studi-studi Grace Leksana terkait Pembunuhan Massal di Jawa Timur Dengan Studi Kasus Diantaranya Distrik Donomulyo Malang Selatan
The aim of this article is to examine further the concept of collaboration in genocide and mass killings through the case study of anti-communist mass killings in Indonesia in 1965–66. High degree of civilian involvement in the killings has misled to a conclusion that the state (in this case, the Indonesian army) did not have a significant role in the killings. The Indonesian state and some scholars interpret the violence as a result of horizontal conflict between the communists and religious or nationalist groups; or violence that could not be generated an overarching pattern, because in some areas the army took the lead, while in other areas, it was the civilians. This article examines the killings in East Java, one of the provinces with a high death toll. Previous studies in this province conclude that civilians were dominant in taking actions against the communists and leftists. However, this does not mean that the army did not have a significant role in the violence. Through the analysis of the newly-accessed East Java military (Kodam V Brawijaya) archives collection, this article will show that although mass killings were executed by civilians in early October 1965 in East Java, they became coordinated and systematic under the military command since mid-October 1965. Readings on the archives strongly show that the military structurally facilitated the violence, while on the other hand, civilians collaborate with the military to remove Indonesian leftists. The collaboration in East Java shows a structurally coordinated move to persecute the communists.
A complex relationship – Grace Leksana
As Indonesians are moving further from 1965, scholars and activists are starting to raise awareness about the risk of ‘collective forgetting’: a state-induced situation in which the 1965-66 violence against the Left and communists would be largely forgotten. Whereas in national historiography there is still very little room for articulation of this past, I would argue that in the rural areas where most of the violence occurred, memories of violence remain very much alive today.
Grace Leksana
(Doktor Universitas Leiden/ Royal Netherlands Institute of South East Asia and Carribean Studies (KITLV)/ Netherlands Institute for War, Genocide and Holocaust Studies)
*Artikel ini merupakan salah satu bab dari disertasi yang berjudul “Embedded Remembering: Memory Culture of 1965 Violence in East Java’s Agrarian Society”.
disertasi yang kemudian dibukukan
Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia: Embedded Remembering – Grace Leksana
unduh disini
https://library.oapen.org/handle/20.500.12657/62886
tentang hasil penelitian doktoralnya bisa pula disimak dalam diskusi ini
1965: Sejarah yang Dikubur – Dialog Sejarah | HISTORIA.ID Saksi
Kontestasi Dua Narasi dalam Peristiwa 1965 -historia.id {laporan diskusi
periksa pula