Suhardjija Pudjanadi Dari Sanggar Bumi Tarung (Lekra), Sang Master Karya Cukil Kayu (1939-2018)

“SENIMAN PERUPA SBT SUHARDJIJA PUDJANADI” – Misbach Thamrin

Di antara banyak anggota  Sanggar Bumi Tarung (SBT) yang guyub dalam kehidupan bersama. Ketika mereka berkarya berada di bawah satu atap. Di depan kanvas, mereka adalah pribadi-pribadi yang berdaulat penuh. Dengan karakter jati diri mereka masing-masing.

Betapapun terdapat ikatan kesadaran dalam pemahaman ideologi dan politik yang sama tentang kehidupan manusia, masyarakat dan alam. Sebagai obyek tema, dari orientasi mereka selaku seniman perupa.

Senirupa yang diwadahi dalam perkumpulan organisasi. Beranggota kan banyak orang dengan kesamaan dan perbedaan tertentu.

Ibaratkan dalam taman di mana tumbuh beraneka ragam bunga dengan berbagai warna.

Bukan berarti selalu dikondisikan sebagai jargon keseragaman satu nada yang kaku. Dalam  kebersamaan kolektif mereka. Di mana peran individu tetap terjaga. Sebagai jati diri (identitas) dari setiap pernyataan senirupa SBT.

Jadi, ketika Djoko Pekik di saat namanya sudah begitu tersohor. Dalam suatu “anekdote” gaul perkawanan. Suatu saat “meledek” salah seorang kawannya perupa dari Klaten, Suhardjija Pudjanadi.

“Kamu itu masih ngandong cak Har. Coba tiru seperti aku, jadi kuda balap!”, kata-kata arogan Pekik yang maksudnya selaku pembakar semangat dan emosi itu dilecutkan di hadapan kawan-kawannya sesanggar. 

“Yoben!”, sahut yang diledek. 

Dan gelak tawapun berderai dari kawan-kawannya yang mendengarkan dialog anekdote itu. 

Begitulah secercah sentuhan kebebasan demokrasi berkelebat ditengah kehidupan kolektif Sanggar Bumi Tarung (SBT) itu. Dalam konteks ruang dan waktu lainnya yang berkelindan di antara perjalanan duka derita mereka yang panjang. 

Siapa yang diledek “maestro” pengusung “bejo”, Djoko Pekik itu? Saya selaku seorang kawan dekatnya yang menuliskan catatan memori ingatan kolektif ini. Sebenarnya merasa kagum atas jiwa dan karakter seorang perupa SBT yang dengan enteng, tegas, dan cekak aos, menjawab ledekan sang maestro tersebut. 

‘Yoben” atau maksudnya biarkanlah! Dalam arti itulah jati diri Hardjiyo. Yang berbeda dan tak bisa dipaksakan untuk meniru seorang Pekik. 

Apakah itu diledek dengan “ngandong’ atau “alon-alon asal kelakon” atau apapun. Itu sudah menjadi identitas dan ciri khas seseorang. Bahkan, ciri lokal atau daerah kadang tak terhindarkan melekat.

Misalkan pada kawan-kawan SBT asal kelahiran Yogya tercermin pada karyanya warna lokal (local-color) yang khas. Suasana teduh, tenang dan tenteram. Seperti dapat kita tandai adanya perbedaan di antara “batik Yogya” yang berwarna dof, agak gelap kecoklatan. Dengan “batik Pekalongan” yang menyala terang, ceria dan norak. Masing-masing punya atmosfer suasana dan gaya kearifan lokal mereka sendiri.

Bagaimanapun adanya kesamaan dan perbedaan dalam suatu kelompok atau komunitas. Adalah suatu pertanda harmoni dari salah satu kuntum di antara aneka ragam rangkaian bunga di dalam taman kebhinnekaan bangsa Indonesia yang plural. 

Khusus membahas tokoh kita kali ini. Seniman perupa SBT Suhadjija Pudjanadi, kelahiran Yogya tgl 6 Juli 1939 yang banyak tinggal dipermukiman terakhirnya, Klaten.

Hardjiyo, panggilan nama  singkat yang sudah terbiasa oleh kawan-kawannya di sanggar. Adalah termasuk seniman perupa anggota SBT yang paling kreatif dan produktif berkarya.

Penguasaan media senirupanya, selain berkarya melukis di atas kanvas. Hardjiyo, bersama kawan-kawan SBT lainnya seperti Ng Sembiring, Kusmulyo dan Suroso, juga menghasilkan karya-karya “grafis”, terutama cukilan kayu.

Dia dan Sembiring di bidang media cukilan kayu ini, yang paling produktif. Pernah menjadi trend atau populer saat itu, karena nilai 4 M (murah, mudah, meriah dan massal) nya. Tidak hanya di SBT, tapi juga di ASRI, bahkan secara nasional. Dan  kedua mereka terkenal selaku jagoan grafis yang menonjol.

Meski Hardjiyo tak tinggal di sanggar. Dengan naik sepeda, ia sangat jarang absen untuk hadir di setiap kegiatan di ASRI dan SBT. Dia di antara para anggota SBT, termasuk punya dedikasi dan totalitas yang paling tinggi dalam berkarya.

Bersama kawan sekelahiran Yogya, dan juga teman gaul paling dekat dan akrab, Muryono, yang tinggal di Prambanan. Mereka berdua adalah yang paling konsisten membawakan tema-tema kerakyatan. Terutama tentang kehidupan buruh dan tani, sesuai dengan visi & misi perjuangan SBT.

Hingga pada usia lanjutnya, di samping ia selalu ikut pada pameran-pameran bersama  di ASRI dan SBT. Ia juga aktif turut dalam pameran di komunitas seni rupa di daerahnya sendiri, Klaten. Serta Hardjiyo, termasuk  anggota SBT yang boleh dibilang paling sering menampilkan pameran tunggalnya. Sesudah Amrus Natalsya yang lebih dulu tersohor dan dibebaskan sebagai tapol peristiwa ’65.

Kelebihan berkarya Hardjiyo terutama dalam pilihan tema dan motif yang sederhana, tapi amat  menyentuh. Misalkan contoh yang karakteristik, ia melukis halaman rumahnya. Lantai batu batako tua yang tampak kehijauan berlumut, dedaunan kering yang terserak dan sandal jepit lusuh tergerak di atas tangga.

Terkesan rawan dan mengharukan oleh suasana keseharian yang sendu, telah terabaikan. Tergerus oleh lintasan kurun waktu. Di situ terkandung ruang hidup dengan kehadirannya yang tersendiri. Mewakili dilingkungan kehidupan rakyat yang  terpinggirkan.

Saya pernah mengunjungi Hardjiyo dirumahnya di Klaten dan  menginap satu malam. Ia bersama isterinya, seorang ibu rumah tangga yang sederhana, sedang sakit-2an saat itu.

Mereka hanya tinggal berdua saja menghuni rumah yang cukup luas. Punya seorang anak lelaki dewasa yang tinggal bersama keluarganya ditempat lain.

Padahal di masa sejak mudanya, terutama setelah ia terbebas dari 2 tahun (1965 -1967) masa tahanan dalam peristiwa ’65.  Hardjiyo lebih banyak berkelana meninggalkan kampung halamannya.

Termasuk di Jakarta, ibu kota kosmopolitan, ia sering berpindah tempat tinggal. Di antara lika liku pencarian segala upaya usaha hidupnya yang tak menentu dan menetap.

Terutama ia sempat bertarung mengadu karir profesinya di Pasar Seni Ancol. Bersama para seniman perupa yang terkumpul dari berbagai daerah Nusantara.

Berpos di kios di sana, cari nafkah hidup dengan mengandalkan karyanya. Di Ancol, Hardjiyo kembali bisa bertemu dengan Amrus Natalsya dan Gultom kawannya sesanggar SBT. Setelah lama berpisah, sejak peristiwa ’65 meletus.

Saat berada di rumahnya  itu, saya saksikan diruang studio kerjanya, terpajang beberapa lukisan hasil  karyanya. Salah satunya masih dalam tahap penyelesaian, potret pejuang buruh perempuan yang teraniaya “Marsinah”.

Di kota Klaten ini, Hardjiyo punya sahabat dekat sekota. Seorang karikaturis tenar dari harian KOMPAS, GM Sudarta yang terkenal dalam setiap karikaturnya dengan inisial Om Pasikom.

Sang karikaturis juga aktif selaku pelukis yang sering ikut serta dalam pameran-pameran bersama. Di samping secara nasional,  juga pameran lokal melalui komunitas Para Perupa Klaten, di mana Hardjiyo selaku salah seorang pengurusnya.

Di usia lanjutnya yang kini tampak dalam suasana sunyi sepi. Di rumah tinggalnya yang cukup luas itu. Seorang pelukis SBT, tamatan ASRI, dengan penampilan watak khasnya yang lebih pendiam, tenang, dan teduh. 

Hingga tercermin lewat karya lukisannya yang dikatakan oleh kawannya Djoko Pekik ,”ngandong” itu.

Dalam maksud, layaknya kuda penarik kereta penumpang ciri khas Yogya. Yang berlari perlahan dengan santai.. Namun, tetap terkesan klasik dan eksotis.

Bahwa biarkanlah (yoben!), sebuah jati diri yang berkarakter kuat, hadir bereksistensi dengan kiprahnya sendiri.

Laksana kediaman sebuah patung arca yang menyimpan muatan kekuatan energi tenaga dalamnya di kesunyian.  Atau juga layaknya bulan purnama perbani, dalam kediaman tanpa berbunyi dan bersuara. Dapat menggerakkan gelombang ombak lautan ribuan ton tenaga kuda. 

Begitulah, secara imajiner, bagaimana kita mampu dan mumpuni menghargai karakter kemanusiaan seorang seniman perupa. Dengan kekhususan dan keistimewaan hasil prestasi karya-2 dan rekam jejak kehidupannya.

Bisa saja disebut dengan ledekan “ngandong”. Jika seandaikata anggaplah sebagai “metafor” dari sebuah planet dari ribuan keberadaannya ditengah tata surya jagat raya.

Alias segelintir individu dengan keredupan sinarnya yang merunduk padi, dengan kerendahan hati. Tampil mencuat dari keberagaman etnis multi kultural kebhinnekaan bangsa Indonesia yang demikian kaya ini.

Sayangnya, sekitar pertengahan bulan Juli 2018, saat saya tengah berada di kampung halaman Banjarmasin. Djoko Pekik mengabarkan berita duka lewat telpon seluler dari Yogya. Bahwa kawan kami Suhardjija Pudjanadi telah meninggal dunia dalam usia 79 tahun (1939 – 2018).

Dokumentasi Foto Diri dan Karya (Lukis Kanvas) simak Suhardjija Pudjanadi

beberapa diantaranya diangkat dari kisah kekejian genosida 1965-1966

S. Pudjanadi, Tanah untuk Penggarap (‘Land for Tenants’) in Harian Rakyat, 25 October 1964. sumber https://thetricontinental.org/dossier-35-lekra/

S. Pudjanadi, Kaum Tani Menuntut (‘Peasants Make Demands’), published in Harian Rakyat, 21 June 1964. The demands read, from top to bottom: UUPA (‘agrarian law 1960’), UUD 45 (‘Indonesian 1945 constitution’) and demokrasi (‘democracy’). sumber https://thetricontinental.org/dossier-35-lekra/

Suhardjijo Pudjanadi, ‘Mempertahankan Tanah Garapan’. dipublikasikan di Harian Rakyat, 9 Mei 1965.**

sumber : https://www.facebook.com/sbtfc – Sanggar Bumi Tarung

Di antara karya yang menghadirkan tema universal, beberapa perupa seperti Suhardjija tetap menghadirkan karya dengan tema yang mengingatkan pada fenomena masa lalu. Namun, lelaki tua berkacamata, berperawakan tinggi, dan hadir di tengah pameran itu, malah balik mengatakan bahwa semua kondisi ini pada kenyataannya tetap terjadi hingga sekarang.

“Lihat itu, pemecah batu, tetap ada sampai sekarang. Juga soal tanah (di karya “Jangan Ganggu Tanah Kami”) sampai sekarang soal tanah masih jadi sengketa. Masih jadi masalah,” ujar Suhardjija, mengajak SH kembali menyusuri karya-karya yang dipamerkan di Galeri Nasional.

Dia malah ingin agar persoalan tanah hingga persoalan kesejahteraan rakyat tetap diperjuangkan lewat undang-undang. “Kita perjuangkan Undang-Undang Jaminan Sosial, tapi jangan sampai terhalangi oleh orang-orang yang sedang menikmatinya,” papar Suhardjija.

selengkkapnya Bumi Tarung: Ketika Terali Hancur oleh Kreativitas — Sihar Ramses Simatupang/Nofanolo Zagoto Sinar Harapan, Sabtu 1 Oktober 2011

sumber : https://www.facebook.com/sbtfc – Sanggar Bumi Tarung

Left-wing Artist Brings Murdered Activist Back to Life – en.tempo.co

Yet Pudjanadi’s militant attitude did not fade. His painting of a woman named Marsinah entitled ‘Do Not Forget Marsinah’ was exhibited at the National Gallery in Jakarta in 2011. 

“I don’t want people to forget Marsinah,” Pudjanadi said last week. 

simak Suhardjija Pudjanadi (arsip foto) Suharjiyo Pujanadi, atau yang akrab dipanggil Hardjija sedang melukis Marsinah di kediamannya di Klaten.

Blaze Carved in Darkness Woodcut Movements in Asia 1930s-2010s 

This exhibition contains about 400 works and is the first large-scale exhibition on Asia’s woodcut movements in the world. The exhibition seeks to articulate how woodcut was developed in Asia and how this small yet important media played a role in the social and historical context of the region.

5. 1950s–60s Indonesia: International exchange of woodcuts in newspaper
An Indonesian newspaper introduced woodcuts from Asian cities as a part of national policy to enhance Third World solidarity during the Cold War period.

reproduksi karya Suhardjija Pudjanadi turut serta dipamerkan.

simak pula

Sanggar Bumi Tarung : Berjuta mata sebagai saksi bisu  [pameran online] / Genosida Politik 1965-1966 

Amrus Natalsya dan Sanggar Bumi Tarung : “…tahan semua rasa pedih itu dengan ketabahan….. ia akan menjadi mutiara bagi kerang yang luka” 

[Memoar Misbach Tamrin] KERJA MANUSIA DAN MATAHARI -Sudut-sudut Cerita Masa Silam (bagian I) l Genosida Politik 1965-1966

[Memoar Misbach Tamrin] KERJA MANUSIA DAN MATAHARI -Sudut-sudut Cerita Masa Silam (bagian II) l Genosida Politik 1965-1966

Isa Hasanda (1941-2020) : Kisah Pilu Seniman Perupa Sanggar Bumi Tarung, Sejak Kamp Pulau Buru Hingga Masa Bebasnya Dari Pulau Buru. 

Kisah Djoko Pekik, Celeng dan Lintang Kemukus 1965 *Anggota Sanggar Bumi Tarung 

Eksil Kuslan Budiman [1935-2018] : Seniman Pendiri Sanggar Bumi Tarung yang Lolos Dari Pembunuhan dan Pemenjaraan Pasca G30S Karena Sedang Studi di Cina, Namun Ia Kehilangan ‘Tanah Airnya’. 

Tentang Metode Turun ke Bawah : Turba LEKRA di Ngadiredjo (‘Peristiwa Djengkol’), Pantai Trisik Hingga Klaten

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s