Eksil Kuslan Budiman [1935-2018] : Seniman Pendiri Sanggar Bumi Tarung yang Lolos Dari Pembunuhan dan Pemenjaraan Pasca G30S Karena Sedang Studi di Cina, Namun Ia Kehilangan ‘Tanah Airnya’.

cover foto Elisabeth Ida Mulyani : (DE/RE) CONSTRUCTION – SEJARAH SIAPAKAH ? [pameran online]

In Memoriam – Sastrawan eksil Kuslan Budiman – antaranews

“Saya biasa sendiri tapi tak pernah sunyi.”

sumber antara news

IN MEMORIAM KUSLAN BUDIMAN oleh Misbach Tamrin (Sanggar Bumi Tarung)

disertakan pula 1 puisi dan sketsa Kuslan Budiman

Imagining the Homeland : The use of the Internet among Indonesian Exiles in the Netherlands – Master thesis: Ibnu Nadzir Daraini Universiteit van Amsterdam

(dalam indeks Kuslan Budiman disebutkan sebanyak 19 kali. berikut salah satu petikannya)

Kuslan (Budiman) , for example, just like many elders in Hyderabad (Srinivasan, 2015), did not know how to use computers and the Internet in the 1990s. Nevertheless, he was already familiar with creating various forms of writings. In Indonesia, apart from being a painter, he often wrote art articles in different magazines and newspapers. After the 1965 incident, Kuslan also wrote poems, some of which were published in Suara Rakyat Indonesia. Therefore, when Kartaprawira asked him to contribute to Apakabar, Kuslan agreed to the request. Both of them wrote in a column they named Percikan Budaya26. With technical help from Kartaprawira, Kuslan published a series of poems and art writings in this column. Many of these poems relied on symbols and metaphors, yet it was still obvious that they were critical towards Soeharto and the New Order. One example is a translation27 of a poem published in 1997:


UNDER THE OLD BANYAN TREE
Under the old banyan tree
A bunch of men
Look up to the sky
Message is heard hazily
The sound of song disrupted by explosion
In this country
How expensive is the price of justice?
Flies flew away…
(posted in Apakabar, 20 June 1997)

simak selengkapnya

Kuslan, Kapas Yang Terbawa Angin – M. Aji Surya [rmol.ic]

“Apa yang harus keluhkan? Saya ikuti saja bagaimana maunya zaman. Saya hanya bagaikan air yang mengalir. Tak perlu membantah apalagi melawan. Sebagai orang Jawa, saya terima, tidak ada rasa marah apalagi dendam,” ujarnya datar.

***

“Meski sudah terbang bagai kapas, kalau soal cinta tanah air jangan tanyakan kepada saya. Perasaan itu tidak kalah dengan punya mereka yang tidak pernah terlempar dari tanah air. Saya pergi dari Indonesia bukan untuk cari makan. Otak saya masih tetap ada di Indonesia. Bahkan dengan Anda pun saya kira cinta saya masih lebih hebat,” tambahnya sambil tertawa.

petikan berikut dari Cold War Polarization, Delegated Party Authority, and Diminishing Exilic Options: The Dilemma of Indonesian Political Exiles in China after 1965 by David T. Hill

Hundreds of Indonesian students, artists, and professionals sought opportunities to study or gain practical experience in China.13 Study programmes and visits were often—though not always—sponsored by the respective communist parties or sympathetic, left-leaning organizations such as the Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute of People’s Culture).14 Lekra office-bearer Kuslan Budiman (1935–2018), for example, went to China in January 1965 to study stage and set decoration, particularly innovations in Peking Opera.15 The events of 30 September 1965 had a profound impact upon the life of Budiman and all Indonesians in China, irrespective of their political orientation. (periksa halaman 342 dan 347), 

Biografi Ringkas Kuslan Budiman dan Bibliografi Buku Puisi Serta Fiksi

Md Kartaprawira dan Bung Kuslan Budiman) di masa kekuasaan rejim Orba dan sesudahnya sempat menerbitkan “Percikan Budaya” yang siarannya mbonceng pada milis Apa Kabar (moderator MacDougall) yang kemudian tersebar pula di berbagai milit lainnya . Media tersebut berisi esay dan puisi bernuansa perjuangan demokrasi dan keadilan di Indonesia. Kurang-lebih ada 120 tulisan yang berhasil diterbitkan. (keterangan dari Md Kartaprawira)

berikut link beberapa arsip edisi buletin ini sila klik Percikan Budaya

PERCIKAN BUDAYA NO.121/IV/2000

Sajak Kuslan Budiman

DALAM KETENANGAN

memori buat Mas SOERJONO

Prambanan 28 Februari  1928

 Amsterdam 26 September 2000

      Tak seorang penyair pun pernah berkata

      Andaikan kebijakan dan usia tua tak ada

      Kematian pun tiada

      ( Anna Akhmatova 1819-1966 )

  Ibarat tumbuhnya bunga

  Kuncup, mekar, berguguran…

  Itulah dialektika

  Mawar indah selalu berduri

  Itulah kenyataan

  Yang perlu dipahami

  Setiap lembar daun

  Ditandai dua sisinya

  Demikian pula manusia

  Meski hidup tidak lama

  Kau sasksikan lima jaman *)

  Terakhir runtuhnya sebuah tirani…

  Ada kawan ada lawan

  Tak perlu dirisaukan

  Karena itu kembarannya

  Sahabat tak perlu dipuji

  Musuh pun tak perlu dibenci

  Yang lebih penting dimengerti…

  Seperti yang pernah kita bincangkan

  Revolusi telah makan anak-anaknya sendiri

  Si tiran mematikan kemerdekaan

  Darah menggenang di cakrawala…

  Demi cita-cita dan keyakinan

  Tigapuluh lima tahun terpaksa klayaban

  Dan tutup usia di perantauan

  Mas Soer

  Bila laut terus bergelombang

  Kali ini kau dalam ketenangan…

 

Woerden tengah malam

  30 September 2000

Tentang Mas Soerjono yang disebutkan oleh Kuslan Budiman dalam puisinya diatas

**Jalan Sunyi Eksil “Bung Soer’ (Soerjono) Wartawan Kawakan Harian Rakjat

simak pula

Klayaban di Negeri Asing – Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965 

simak pula

Sanggar Bumi Tarung : Berjuta mata sebagai saksi bisu  [pameran online] / Genosida Politik 1965-1966 

Amrus Natalsya dan Sanggar Bumi Tarung : “…tahan semua rasa pedih itu dengan ketabahan….. ia akan menjadi mutiara bagi kerang yang luka” 

[Memoar Misbach Tamrin] KERJA MANUSIA DAN MATAHARI -Sudut-sudut Cerita Masa Silam (bagian I) l Genosida Politik 1965-1966

[Memoar Misbach Tamrin] KERJA MANUSIA DAN MATAHARI -Sudut-sudut Cerita Masa Silam (bagian II) l Genosida Politik 1965-1966

Kisah Djoko Pekik, Celeng dan Lintang Kemukus 1965 *Anggota Sanggar Bumi Tarung 

SILENCE AND ABSENCE [Sketsa-sketsa Adrianus Gumelar Demokrasno dan Grafic Design Bunga Siahaan] l Genosida Politik 1965-1966 

Isa Hasanda (1941-2020) : Kisah Pilu Seniman Perupa Sanggar Bumi Tarung, Sejak Kamp Pulau Buru Hingga Masa Bebasnya Dari Pulau Buru. 

Tentang Metode Turun ke Bawah : Turba LEKRA di Ngadiredjo (‘Peristiwa Djengkol’), Pantai Trisik Hingga Klaten

*diantaranya kisah Turba Sanggar Bumi Tarung

simak 1500 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s