cover foto Elisabeth Ida Mulyani : (DE/RE) CONSTRUCTION – SEJARAH SIAPAKAH ? [pameran online]

In Memoriam – Sastrawan eksil Kuslan Budiman – antaranews
“Saya biasa sendiri tapi tak pernah sunyi.”

IN MEMORIAM KUSLAN BUDIMAN oleh Misbach Tamrin (Sanggar Bumi Tarung)
disertakan pula 1 puisi dan sketsa Kuslan Budiman
(dalam indeks Kuslan Budiman disebutkan sebanyak 19 kali. berikut salah satu petikannya)
Kuslan (Budiman) , for example, just like many elders in Hyderabad (Srinivasan, 2015), did not know how to use computers and the Internet in the 1990s. Nevertheless, he was already familiar with creating various forms of writings. In Indonesia, apart from being a painter, he often wrote art articles in different magazines and newspapers. After the 1965 incident, Kuslan also wrote poems, some of which were published in Suara Rakyat Indonesia. Therefore, when Kartaprawira asked him to contribute to Apakabar, Kuslan agreed to the request. Both of them wrote in a column they named Percikan Budaya26. With technical help from Kartaprawira, Kuslan published a series of poems and art writings in this column. Many of these poems relied on symbols and metaphors, yet it was still obvious that they were critical towards Soeharto and the New Order. One example is a translation27 of a poem published in 1997:
UNDER THE OLD BANYAN TREE
Under the old banyan tree
A bunch of men
Look up to the sky
Message is heard hazily
The sound of song disrupted by explosion
In this country
How expensive is the price of justice?
Flies flew away…
(posted in Apakabar, 20 June 1997)
simak selengkapnya
Kuslan, Kapas Yang Terbawa Angin – M. Aji Surya [rmol.ic]
“Apa yang harus keluhkan? Saya ikuti saja bagaimana maunya zaman. Saya hanya bagaikan air yang mengalir. Tak perlu membantah apalagi melawan. Sebagai orang Jawa, saya terima, tidak ada rasa marah apalagi dendam,” ujarnya datar.
***
“Meski sudah terbang bagai kapas, kalau soal cinta tanah air jangan tanyakan kepada saya. Perasaan itu tidak kalah dengan punya mereka yang tidak pernah terlempar dari tanah air. Saya pergi dari Indonesia bukan untuk cari makan. Otak saya masih tetap ada di Indonesia. Bahkan dengan Anda pun saya kira cinta saya masih lebih hebat,” tambahnya sambil tertawa.
petikan berikut dari Cold War Polarization, Delegated Party Authority, and Diminishing Exilic Options: The Dilemma of Indonesian Political Exiles in China after 1965 by David T. Hill
Hundreds of Indonesian students, artists, and professionals sought opportunities to study or gain practical experience in China.13 Study programmes and visits were often—though not always—sponsored by the respective communist parties or sympathetic, left-leaning organizations such as the Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute of People’s Culture).14 Lekra office-bearer Kuslan Budiman (1935–2018), for example, went to China in January 1965 to study stage and set decoration, particularly innovations in Peking Opera.15 The events of 30 September 1965 had a profound impact upon the life of Budiman and all Indonesians in China, irrespective of their political orientation. (periksa halaman 342 dan 347),
Biografi Ringkas Kuslan Budiman dan Bibliografi Buku Puisi Serta Fiksi
Md Kartaprawira dan Bung Kuslan Budiman) di masa kekuasaan rejim Orba dan sesudahnya sempat menerbitkan “Percikan Budaya” yang siarannya mbonceng pada milis Apa Kabar (moderator MacDougall) yang kemudian tersebar pula di berbagai milit lainnya . Media tersebut berisi esay dan puisi bernuansa perjuangan demokrasi dan keadilan di Indonesia. Kurang-lebih ada 120 tulisan yang berhasil diterbitkan. (keterangan dari Md Kartaprawira)
berikut link beberapa arsip edisi buletin ini sila klik Percikan Budaya
PERCIKAN BUDAYA NO.121/IV/2000
Sajak Kuslan Budiman
DALAM KETENANGAN
memori buat Mas SOERJONO
Prambanan 28 Februari 1928
Amsterdam 26 September 2000
Tak seorang penyair pun pernah berkata
Andaikan kebijakan dan usia tua tak ada
Kematian pun tiada
( Anna Akhmatova 1819-1966 )
Ibarat tumbuhnya bunga
Kuncup, mekar, berguguran…
Itulah dialektika
Mawar indah selalu berduri
Itulah kenyataan
Yang perlu dipahami
Setiap lembar daun
Ditandai dua sisinya
Demikian pula manusia
Meski hidup tidak lama
Kau sasksikan lima jaman *)
Terakhir runtuhnya sebuah tirani…
Ada kawan ada lawan
Tak perlu dirisaukan
Karena itu kembarannya
Sahabat tak perlu dipuji
Musuh pun tak perlu dibenci
Yang lebih penting dimengerti…
Seperti yang pernah kita bincangkan
Revolusi telah makan anak-anaknya sendiri
Si tiran mematikan kemerdekaan
Darah menggenang di cakrawala…
Demi cita-cita dan keyakinan
Tigapuluh lima tahun terpaksa klayaban
Dan tutup usia di perantauan
Mas Soer
Bila laut terus bergelombang
Kali ini kau dalam ketenangan…
Woerden tengah malam
30 September 2000
Tentang Mas Soerjono yang disebutkan oleh Kuslan Budiman dalam puisinya diatas
**Jalan Sunyi Eksil “Bung Soer’ (Soerjono) Wartawan Kawakan Harian Rakjat
simak pula
Klayaban di Negeri Asing – Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965
simak pula
Sanggar Bumi Tarung : Berjuta mata sebagai saksi bisu [pameran online] / Genosida Politik 1965-1966
Kisah Djoko Pekik, Celeng dan Lintang Kemukus 1965 *Anggota Sanggar Bumi Tarung
*diantaranya kisah Turba Sanggar Bumi Tarung
simak 1500 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)