Bibliografi Kajian-kajian Pembunuhan Massal 1965-1968 di Tingkat Regional dan Lokal #Genosida

*Dalih Pembunuhan Massal* menegaskan hal yang sangat penting, bahwa G-30-S disalahtafsirkan secara sengaja, dipelintir dan dihadirkan kembali secara salah pula agar menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah satu kengerian terbesar dalam sejarah modern dunia.

Hilmar Farid dalam G-30-S danPembunuhan Massal 1965-66

simak juga Menyingkap MisteriMembangun Empati : G30S Sebagai Dalih Pembantaian Massal 1965-1966 – Budiawan

*’Dalih Pembunuhan Massal* adalah
buku yang ditulis oleh John Rossa. bisa diunduh di http://johnroosa-dpm.blogspot.co.id/p/unduh.html?m=1

58842334_467551330681322_5216082904471306240_n
temuan #KuburanMassal korban #Genosida65 Indonesia s/d 30 April 2019, jumlahnya telah mencapai 335 titik lokasi… (YPKP 1965)

Pengetahuan tentang Sebuah Rahasia Umum: Penghilangan Massal 1965–66 di Indonesia – John Rossa

Sebagai sebuah rahasia umum, pembantaian 1965–66 merupakan kejadian yang sulit dimengerti. Banyak informasi tetap tersembunyi sehingga pertanyaan-pertanyaan dasar tidak berhasil dijawab dengan akurat dan teguh. Ambillah pertanyaan: siapakah pelakunya? Film The Act of Killing dengan jelas memperlihatkan bahwa, dalam kasus Medan, kelompok milisi sipillah pelakunya. Tetapi kata-kata pembukaan film tersebut menyebutkan bahwa tentaralah yang bertanggung jawab atas pembantaian antikomunis tersebut. Namun film itu, yang lebih berfokus kepada ingatan kelompok milisi sipil daripada kejadian itu sendiri, tidak menjelaskan apa tepatnya hubungan mereka dengan tentara.

Setelah menonton film itu, beberapa pemirsa mendapat kesan yang keliru bahwa tentara tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, Oppenheimer berpikir bahwa rujukan-rujukan ke tentara dalam film tersebut sudah cukup untuk menyampaikan pesan bahwa tentara telah ‘mengkontrakkan’ kerja pembunuhan kepada kelompok milisi (Melvin 2013). Literatur ilmiah tentang masalah ini penuh dengan ketidakpastian tentang identitas para pelaku pembunuhan. Banyak pakar sejarah mengalami kesulitan untuk memahami peranan tentara dan organisasi sipil dalam kekerasan antikomunis. Apakah tentara memutuskan untuk meluncurkan aksi pembantaian dan kemudian mengatur-atur kelompok milisi ibarat pion ataukah tentara menyerah kepada tekanan dan desakan dari bawah?

Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Cribb (2001, 235), “kesulitan yang paling sukar ditangani dalam memahami pembantaian itu adalah menentukan seberapa pentingnya inisiatif tentara dan seberapa pentingnya peran ketegangan lokal.” Jawaban atas pertanyaan ini penting karena akan menentukan apakah kejadian itu merupakan kasus kekerasan yang spontan dan horizontal, yakni “tetangga membunuh tetangga,” ataukah merupakan kasus kekerasan birokratik yang vertikal, yaitu, negara membantai warganya sendiri. Dengan kata lain, apakah pembunuhan itu merupakan kekerasan khaotis ketika rakyat mengamuk, ataukah sebuah kasus genosida politik yang terorganisir dengan baik, ataukah campuran keduanya?

Para pakar sejarah cenderung menyimpulkan bahwa kekerasan tersebut dilaksanakan oleh gabungan personalia tentara dengan milisi sipil, dengan peran yang berbeda-beda dari daerah ke daerah; di beberapa daerah nusantara, tentara yang memimpin; di daerah lain, milisi yang memimpin. Argumen seperti ini, yang bisa disebut tesis dualistik, tidak mengakui adanya sebuah pola nasional yang melingkupi pembunuhan itu dan menolak pemikiran bahwa pembunuhan yang terjadi adalah tanggung jawab seorang saja, atau sekelompok orang, atau sebuah lembaga. Sejak tumbangnya pemerintah diktator Suharto pada 1998 setelah tiga puluh dua tahun berkuasa, pembunuhan masal mulai lebih banyak dibahas secara luas. Juga lebih banyak rahasia yang terungkap.

Walaupun tidak ada persidangan para pelaku dan juga tidak terbentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, terdapat banyak investigasi dan forum publik, seperti misalnya, peluncuran buku, film, konperensi akademik, kuliah umum, acara bincang di televisi, dan sejumlah penggalian dan identifikasi kuburan massal. Tambahan lagi, peneliti di berbagai propinsi berhasil memperoleh informasi baru. Begitu juga, wartawan menerbitkan banyak tulisan mengenai pembunuhan itu. Para editor Tempo, mingguan terkemuka di Indonesia, setelah menonton The Act of Killing, membentuk sebuah tim wartawan untuk mewawancarai sejumlah pelaku sipil mirip Anwar Congo, di seluruh negeri. Tempo edisi khusus yang terbit Oktober 2012 segera terjual habis, dan fotokopinya dijual dengan harga lebih tinggi dari harga pasar (Tempo 2012).

Ini untuk pertama kali cerita tentang para algojo muncul di majalah itu sejak terbit empatpuluh satu tahun yang lalu. Penelitian-penelitian baru ini hanya menyentuh permukaan dari serangkaian kejadian rumit yang berlangsung selama berbulan-bulan di seantero negeri kepulauan dengan penduduk sekitar 100 juta jiwa pada pertengahan 1960-an. Dibandingkan dengan literatur tentang kasuskasus genosida yang lain di abad ke duapuluh, literatur mengenai genosida politik di Indonesia masih jarang dan kurang berkembang (Cribb 2009). Namun demikian, penelitian-penelitian yang baru ini memungkinkan beberapa pola muncul dengan lebih jelas, misalnya, pola cara pelaku menyembunyikan jejak-jejak pembantaian. Sekarang juga diperoleh lebih banyak bukti yang menjelaskan mengapa hampir tidak ada bukti.

Banyak korban, dari Aceh di Indonesia bagian barat sampai Flores di Indonesia bagian timur dihilangkan dengan pola yang sungguh serupa. Penelitian-penelitian yang baru ini juga menyiratkan bahwa pandangan konvensional tesis dualistik perlu dipikirkan kembali. Mulai terungkap bahwa satu faksi komando tertinggi ABRI di Jakarta, Suharto bersama klik perwiranya, tampaknya jauh lebih banyak berperan dalam mengatur pembunuhan daripada yang diduga semula.

…………

Bahwa pembunuhan di Aceh dan Bali dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai pekerjaan massa yang mengamuk dan haus darah menggambarkan keberhasilan militer dalam menyembunyikan dan mengaburkan peran mereka yang sebenarnya. Militer waktu itu tidak ingin berada di garis terdepan dan dianggap berjasa melakukan pembantaian. Masuk akal – mereka yang bertanggung jawab atas perbuatan kejam dan keji jarang ingin tindakan dan perbuatan mereka didokumentasi dengan rinci dan diterbitkan secara luas.

Di Aceh dan Bali dapat diamati pola pembunuhan yang sama yang juga menjadi pola pembunuhan di tempat lain di Indonesia. Peneliti-peneliti yang mengkaji pembantaian di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Flores menemukan bahwa tentara memimpin operasi-operasi untuk menghilangkan sejumlah besar warga yang dituduh komunis (Elsam 2012, 2013; McGregor 2012 Oppenheimer and Uwemedimo 2009; Prior 2011; Tri Hasworo 2004; van Klinken 2013). Wawancara Tempo dengan pelaku-pelaku sipil dari Jawa Timur, Palembang, dan Palu juga mengungkapkan pola penghilangan paksa yang sama (Tempo 2012, 56–72, 100, 106–7).

Tesis dualistik tidak menangkap keseragaman yang mencolok yang ada dalam deskripsi kejadian di daerah-daerah yang demikian terpencar. Walaupun terdapat perbedaan dalam aksi kekerasan oleh antikomunis, namun, lintas propinsi, tampak cara menghilangkan orang-orang yang sudah ditahan berlangsung dengan sangat ajeg. Teramati bahwa personalia militer mengorganisir warga sipil, mengelola kamp-kamp tahanan, dan mengatur truk-truk untuk mengangkut para tahanan ke tempat eksekusi. Sulit dipercaya bahwa di daerah-daerah yang tersebar luas ini, personalia militer dan kelompok milisi secara sendiri-sendiri/independen menggunakan metode yang sama dalam menghilangkan tahanan.

Pasti ada instruksi dari Suharto dan jenderal-jenderal sekutunya di Jakarta ke bawahan mereka untuk mengorganisir pembunuhan dengan cara khas seperti itu. Berdasarkan kajian-kajian lokal yang telah dilakukan sampai saat ini, peneliti-peneliti sekarang sanggup menelusuri kembali rantai komando dan memeriksa pembuatan keputusan sampai ke komando tertinggi di Jakarta.

Kajian Regional dan Lokal
 
The destruction of the Indonesian Communist Party (PKI): a comparative analysis of East Java and Bali
IG Sudjatmiko – Harvard
University
Jurnal Sejarah
 
Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah
Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) by Hermawan Sulistyo
*admin tidak/belum menemukan
literatur online yang terkait dengan kajian ini baik berupa tinjauan, ringkasan
isi dll

 
 
60737681_10218972477573626_7440170017204731904_n
 
 
 
*terutama pada bagian Penangkapan dan pembunuhan di jawa Tenah Setelah G30S serta Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula
 
umum
 
 
 
 
 
 

 

studi dan film pembunuhan massal jembatan Bacem

jagal
Selain itu admin #PerpustakaanOnlineGenosida65_66
telah membikin kliping/kompilasi situs-situs genosida sbb
Situs-situs Genosida 1965-1966 : Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Sumsel, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Kalsel, Kaltim, Kalbar, NTT, Sulsel, Sulteng, Sulut, Sultra, ….. **

,

Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 
14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Bookmark and Share

Tinggalkan komentar