Menelusuri Jejak Walikota Cirebon RSA Prabowo (1961-1965) : Seorang Arsitek Lulusan ITB dan Sahabat Karib Bung Karno, Pasca G30S 1965 Ia Ditangkap dan Dijebloskan Ke Penjara
Saat meletus peristiwa antikomunis tahun 1965, Bupati dan Wali Kota Cirebon ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Wali Kota Cirebon saat itu, RSA Prabowo adalah arsitek lulusan ITB, sahabat karib Presiden Sukarno.
Sedangkan Bupati Cirebon, R Harun Zaenal Abidin adalah pangeran kraton. Dia kemudian diasingkan ke Pulau Buru.
Keduanya dianggap “merah” saat itu, dengan basis massa di Cirebon.
(sumber Harian Massa)
Menelusuri Jejak Walikota Cirebon RSA Prabowo (1961-1965) : Seorang Arsitek Lulusan ITB dan Sahabat Karib Bung Karno, Pasca G30S 1965 Ia Ditangkap dan Dijebloskan Ke Penjara
Meski sembilan tahun menjadi orang tak bebas, Sekretaris Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) ini masih bingung akan kesalahannya. Ia mengaku sama sekali tak terlibat dengan Partai Komunis Indnesia. Ia hanya tergabung dalam Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah gerakan mahasiswa terbesar di jamannya. Ia menjabat sebagai ketua CGMI untuk wilayah Cirebon.
CGMI memang bukan organisasi sayap PKI. Namun organisasi ini memang punya kedekatan dengan partai politik pimpinan Dipa Nusantara Aidit itu. “Kebanyakan anak-anak anggota PKI bergabung masuk ke CGMI,” kata Eddy kepada CNN Indonesia.
Saat peristiwa G30S terjadi, Eddy tengah berada di Jakarta untuk menghadiri kongres CGMI. Saat itu sama sekali tidak terdengar ada desas-desus akan ada penculikan jenderal Angkatan Darat.
Seingat Eddy, setelah kembali ke Cirebon, ia mendengar para petinggi CGMI ditangkap tentara. Penangkapan terjadi di seluruh daerah. Takut tertangkap, Eddy memilih kembali ke Jakarta bersama kakanya yang merupakan anggota Serikat Buruh Angkatan Udara Nasional “Waktu itu Jakarta malah dinilai aman dibandingkan di daerah,” ujarnya.
selengkapnya “Tahanan Politik 65: Terpaksa ‘Akrab’ dengan Koramil” – CNN Indonesia
Genosida 1965-1966 – Kuburan Massal Ditemukan di Cirebon
This article examines the role of state intervention on itinerant artists in the Cirebon region one year before and after Suharto’s 1965 coup d’état (Gestok). Two artist identification cards from Majalengka are central to the study: the first one was inaugurated six months before the coup, the second card anticipated Gestok’s first anniversary. Although the registries were launched by two political regimes with disparate agendas, both were issued by the Regency of Majalengka’s Education and Culture Department.
sub judul
Sukarno’s vision for the arts
Aidit’s ideological stance on the arts
The launch and administration of the kartu kuning
Reading the kartu kuning
Conflicting interpretations of the kartu kuning
The hunt
Launch of tanda kenjataan
simak pula
simak 1800 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)