ilustrasi cover disalin dari Mars Nursmono : Sketsa-sketsa Kamp Konsentrasi Pulau Buru
Catatan Kecil dari Lembah Waeapo – Oleh: Raudal Tanjung Banua – alif.id
(Diambil dan diolah dari manuskrip residensi penulis ke Pulau Buru, 2018)
Berbagai situs memori pembuangan Pulau Buru memang pada hilang, dibiarkan hilang atau mungkin sengaja dihilangkan. Kamar tempat Pramoedya Ananta Toer dulu menuliskan karya-karyanya juga tak lagi bersisa.
Janet E. Steel dari Goerge University, ketika berkunjung ke Waeapo tahun 2007, menyertakan wawancaranya dengan (alm) Amarzan Lubis, menyesalkan hilangnya situs-situs memorial itu.
“Penghancuran barak-barak dan seluruh jejak unit merupakan upaya untuk menghapuskan sejarah dan memori,” kata Amarzan. “Mereka tetap mempertahankan panggung-panggung seni hanya karena orang-orang setempat masih sering menggunakannya.” Namun demikian,”Seperti tempat pengasingan lainnya,” ia menambahkan,”Pulau Buru sangat indah.” (Steel, 2010: 90).
Buru, Buku, dan Pesan Bung Karno – Raudal Tanjung Banua *
Kompas, 8 Sep 2018
Akan tetapi, kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran apabila membicarakan Buru dengan kepengarangan Tanah Air. Di sini bukan hanya Pram, melainkan ada banyak pengarang lain, baik yang dikenal maupun kurang dikenal. Sebutlah Rivai Apin, Mars Noermono, Oie Hiem Hwie, Hersi Setiawan, Joesoef Isak, dan Amarzan Loebis. Mereka juga membawa “oleh-oleh” karya berupa buku atau catatan setelah pembebasan.
*koreksi admin Joesoef Isak tidak ditahan di kamp pulau buru
Dengan peta semacam itu, dapat dikatakan Buru bukan hanya bagian penting dalam peta literasi kita—yang kini menjadi gerakan bersama pencerdasan bangsa—melainkan juga penting dalam gerak sejarah kita. Untuk literasi bisa diandaikan, jika Sumatera Barat atau Sumatera Utara mewarnai jagat literasi sastra era klasik (Balai Pustaka dan Pujangga Baru), maka dalam literatur kolonial, travelogue, dan tapol 65, Buru merupakan kantong istimewa yang tak boleh diluputkan! Sementara dalam sejarah, Buru hadir dan meng”-ada”
Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 22 November 2020)
Di sini kami didaratkan. Sejak di dermaga Sodong Wijayapura, saya sudah dengar petugas menyebut Buru sebagai Pulau Hidup Baru. Mungkin karena itu kami diberangkatkan sehari sebelum perayaan kemerdekaan, 1969. Buat merayakan hidup baru!
Di atas kapal Adri XV, kami oleng-kemoleng bersama nasib karatan. Dua kali kapal mati mesin dan semua nyaris tenggelam. Untuk sampai ke mari, kami si mati yang hidup kembali dengan nyawa cadangan!
Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 01 Juli 2018)
Banua, Raudal Tanjung (2018) Jelajah literasi (di) Pulau Buru. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta. ISBN 9786024375447
unduh disini http://repositori.kemdikbud.go.id/22507/

simak pula
Kamp Perbudakan Pulau Buru : Nyanyi SunyiSeorang Bisu Buat Tanah Air Beta
Ziarah Sunyi Lukas Tumiso Ke Pulau Pengasingan (37 Tahun Berlalu, Aku Kembali Ke Buru)
Mars Nursmono : Sketsa-sketsa Kamp Konsentrasi Pulau Buru [pameranonline] l Genosida Politik 1965-1966
Gregorius Soeharsojo Goenito : Tiada Jalan Bertabur Bunga (MemoarPulau Buru dalam Sketsa)
SILENCE AND ABSENCE [Sketsa-sketsa Adrianus Gumelar Demokrasno danGrafic Design Bunga Siahaan] l Genosida Politik 1965-1966
simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)