[Situs Genosida] Penumpasan PGRS/PARAKU, Komunisme dan Pembersihan Etnis Tionghoa di Pedalaman Kalimantan Barat Pasca G30S 1965

Kisah Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah Pimpinan PKI Kalimantan Barat, Yang Memutuskan Bergerilya Melawan Rezim Soeharto Pasca Perburuan-Pembantaian Komunis 1965-1966

Judul: PERGOLAKAN KALIMANTAN BARAT
Penulis: Lin Shi Fang

Cetakan 1, Januari 2022
xii, 236 hlm. ; 21 cm.
ISBN 978-623-97148-3-3

Harga normal: Rp65.000

Pemesanan melalui ULTIMUS:
[1] WhatsApp +62 811-2271-267

WhatsApp Image 2022-01-08 at 19.28.02WhatsApp Image 2022-01-08 at 19.28.01

Sejarah resmi selalu menyatakan bahwa pembantaian 1965 dimulai dari usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S). Sejarah yang sama mengajarkan bagaimana jenderal-jenderal Angkatan Darat ditangkap dan disiksa oleh gerombolan G30S, yang sesungguhnya dipimpin oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat. Mereka disiksa habis-habisan, muka mereka disilet, kemaluan dipotong, dan dipukuli.

Dari narasi itulah muncul pembantaian massal. Pelakunya, sebagaimana kelihatan dalam film ‘The Look of Silence’ bukanlah tentara melainkan ‘massa’ atau rakyat yang marah terhadap PKI.

Hal yang serupa diulangi dalam menangani PGRS/Paraku di Kalimantan Utara, yang kebetulan disokong oleh etnis Cina. ‘Pemberontakan’ ini berhasil dipadamkan karena penculikan dan kemudian pembunuhan sembilan orang Dayak –diantaranya adalah Temenggung. Orang-orang Dayak ini disiksa sebelum dibunuh. Setelah meninggal, kelaminnya dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut dan didadanya terdapat kain bertuliskan aksara Cina. Kemudian diketahui bahwa penculikan dan pembunuhan ini adalah bagian dari operasi ‘psywar’ (perang psikologis) yang dilakukan oleh pihak militer.

Kematian sadis itulah yang disebarkan. Seorang petinggi militer dengan terus terang mengakui adanya operasi militer untuk mendorong orang-orang Dayak melakukan ‘pengayauan’ terhadap orang-orang Cina. Pihak militer dengan aktif mendampingi orang-orang Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan Barat.

dipetik dari 1965: Pembunuhan Tanpa Akhir – Made Supriatma

Indonesia’ s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan Jamie S. Davidson and Douglas Kammen1

The 1967 massacres, the ten-year “PGRS/Paraku” rebellion, and the succeeding ethnic violence in West Kalimantan were neither the result of primordial ethnic identities nor traditions of blood-smearing, head-hunting, or cannibalism. Rather, they were a product of and remain a reflection on the origins of the New Order and its henchmen. Preoccupied with consolidating political control in Java, from 1965 until mid-1967 the Suharto regime showed little interest in and even less willingness to understand the varied roots of rebellion in West Kalimantan. When it sought to address the rebellion, the state did so on the basis of sweeping social categories, labeling all “Chinese” as rebels or potential rebels and viewing all others as either uninvolved or mere dupes. Finally, in the face of limited state capacity and weak legitimacy, the military responded by organizing, instigating, and funding the massacre of ethnic Chinese and then forcibly relocated some 100,000 people

Causes of lingering communist movement after Indonesia’s September Thirtieth Movement: the case of border area between Sarawak and West Kalimantan

Toshio Matsumura The Institute for Asia-Pacific Studies, Waseda University, Tokyo, Japan

Asian Ethnicity Journal May 2017

ABSTRACT

This article focuses on the communist movement on both sides of the border in Sarawak and West Kalimantan around 1965 when the September Thirtieth Movement (abortive coup) took place in Jakarta. The people in Sarawak were seeking independence and opposed to being integrated into the Federation of Malaysia in the first half of the 1960s. However, after the September Thirtieth Movement, the communist movement in Sarawak started losing support both domestically and internationally (especially support from Indonesia). Nevertheless, even with the persecution by Suharto’s army, the Sarawak guerrillas and the Indonesian Communist Party in West Kalimantan cooperated in their struggle for a few years after 1965. This situation was aided by the remoteness of these areas from the centers of the nation-states (Malaysia and Indonesia) and also by the cooperation between the guerrillas and the local Chinese in West Kalimantan.

Sebenarnya, kekerasan rasialis yang dilakukan warga Dayak ini tidaklah murni inisiatif mereka mengingat harmoni diantara etnis Dayak dan Tionghoa di Kalimantan Barat telah terbangun selama ratusan tahun. Rusaknya hubungan yang harmonis ini terjadi dikarenakan strategi penumpasan Paraku-PGRS yang digunakan militer Indonesia adalah dengan cara ‘pengeringan kolam’.

Menurut Indonesianis asal Amerika Serikat (AS), Herbert Feith, pengertian dari istilah ini adalah : mengeringkan ‘kolam berarti menghabisi masyarakat Tionghoa, agar ‘ikan’ atau yang dalam kasus ini diasosiasikan kepada pihak gerilyawan Paraku-PGRS bisa mudah terlihat dan dengan begitu juga mudah untuk ditumpas. Dan warga Dayak tak lebih Sebagai operator dari implementasi strategi militer tersebut.

Gerakan Warga Dayak yang disokong TNI sebagai upaya melakukan “pengeringan kolam” terhadap warga Tionghoa inilah yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Mangkok Merah. Istilah Mangkok Merah diambil dari terminologi adat suku Dayak, dimana terjadi mobilisasi besar-besaran warga suatu klan untuk membalas rasa malu atau penderitaan dari anggota klannya yang disebabkan oleh ulah warga dari klan lain. Mobilisasi ini menggunakan alat peraga sebuah mangkuk yang bagian dalamnya diolesi getah jaranang berwarna merah sebagai simbolisasi dari “ pertumpahan darah “ yang akan dilakukan sebagai bentuk balas dendam tersebut. Jadi, tampak militer dengan lihai memanfaatkan adat istiadat suku Dayak demi mengobarkan konflik rasialis.

dipetik dari Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme ‘Mengawini’ Rasialisme – Hiski Darmayana

Para sukarelawan Dwikora dan pendukung Sukarno di rimba Kalimantan Barat dan perbatasan Kalimantan Utara dikepung dan dijepit bersama bala tentara kerajaan Malaysia. Mereka lantas diburu dengan tuduhan sebagai agen komunis yang bersekutu dengan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Partai Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU). Ketika aksi penumpasan tak berhasil, pimpinan operasi Angkatan Darat, melalui sebuah operasi penggalangan (covert operation), mengadu-domba orang Cina dengan masyarakat Dayak.

dipetik dari Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad-Hoc Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966 (Komnas HAM) (hal30)

Tragedi Berdarah Pembantaian Mangku Merah – tirto.id

PGRS/Paraku dibantai karena dituding terlibat komunis, lebih dari 5 ribu orang tewas, mayoritas etnis Tionghoa.

Dokumentasi Pelanggaran HAM di Indonesia – Elsam

Tahun Kejadian: 1960-1967

Tempat Kejadian: Kalimnatan Barat

Peristiwa ini bermula pada tahun 1960an dimana Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi tehadap bonekanya Inggris yaitu Malaysia. Kemudian Soekarno menugaskan Oei Tjoe Tat untuk mengalang sukarelawan /milisi Thionghoa di perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Sukarelawan yang tergabung kebanyakan dari etnis Thionghoa, sebelumnya pembentukan ini ada 4 kelompok yang terdiri dari PKI, Sukarelawan, TNKU (PARAKU), serta 12 pemuda Thionghoa pendukung partai Komunis Sarawak (PGRS). Kemudian PGRS dan PARAKU menyatu menjadi PGRS/PARAKU, selanjutnya mereka menyerang lapangan udara di Singkawang dan Sanggau Ledo, dan berhasil merebut 150 senjata dari militer. TNI kemudian menyapu bersih mereka dengan operasi Sapu I, Sapu II, Sapu III. Operasi militer ini untuk menumpas PGRS/PARAKU dan PKI yang tergabung dalam etnis Thionghoa di Kalimantan Barat, dan akibatnya orang-orang Thionghoa yang tidak tahu menahu permasalahan politik di Kalimantan Barat banyak juga yang menjadi korban akan peristiwa ini. Bahkan beberapa pihak menengarai dalam peristiwa ini juga terjadi pembersihan etnis (ethnic cleansing), terhadap etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan.

sumber http://dokumentasi.elsam.or.id/reports/view/37

Menelusuri Hubungan PGRS/PARAKU dan Pengusiran Cina Oleh Dayak pada Tahun 1967 di Kalimantan Barat” – Penelitian Erma S. Ranik

PERISTIWA MANGKOK MERAH DI KALIMANTAN BARAT TAHUN 1967 – Penelitian Superman

Etnis Tionghoa Korban Penumpasan PGRS/PARAKU di Kalbar – Aju

The Lost Generation – Muhlis Suhaeri 

The Lost Generation – Muhlis Suhaeri 

Peraih penghargaan Mochtar Lubis Award 2008 kategori berita Investigasi yang
dimotori Lembaga Studi Pers dan Pembangunan atau LSPP

ab
sumber foto : screen capture dari Suara Pemred

ac

sumber foto : screen capture dari Suara Pemred

Kesaksian Tokoh Tionghoa Singkawang Thong Fuk Long soal Pengusiran 1967

(wawancara oleh Ngarto Februana)

Orang Tionghoa dilarang melewati Jembatan ini tahun 1967 – Kabari TV

Referensi Lainnya :




Studi  Kekerasan Anti-Cina di Aceh 1965-1966
Abstract: This article provides an account of anti-Chinese violence in Aceh between 1 October 1965 and 17 August 1966. Drawing upon original oral history evidence and previously unknown documentary sources, this article builds upon current scholarly understandings that two phases of violence involving members of the ethnic Chinese community can be identified in Aceh during this period, to explain how a third explicitly ethnic-based phase of violence directed against members of the ethnic Chinese community in Aceh can also be identified. Based on this research and a reflection on the precedent set by the Cambodian genocide as to how the current legal definition of genocide can be applied, this article argues that the assessment that the Indonesian killings should not be understood as genocide is premature.

 

 

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

Bookmark and Share

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

 

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

 

Bookmark and Share

Tinggalkan komentar