[Situs Genosida Sumatera Selatan] Pulau Kemaro dan Sungai Musi, Salah Satu Monumen/Jejak Genosida 1965-1966

Komunitas ’65: 2 Ribu Korban Dikubur di SumateraSelatan – kbr.id

“Komnas HAM harus turun tangan, karena untuk memproteksi kuburan itu dari satu intevensi dari tidak diperlukan. Komnas HAM harus mengingatkan, ini bagian dari tugas dan kewajiban mereka.”

Cukup Hanya Mendengarkan dan Membaca – Muhammad Rizki Arif Suryo #Ingat65

Tahun 1965 Desingan Peluru dan Mayat PKI Jadi Hal Biasa, Air Sungai Musi pun Berubah Merah – sumsel tribunnews

detil sila simak laporan khusus Tempo (hal 100)

PENGAKUAN ALGOJO 65 

 

 

 
 

Neraka Di Pulau Kemarau – Kesaksian Ibu Murtini aktivis Gerwani Lampung

Dari buku Saatnya Korban Bicara : Menata Derap Merajut Langkah halaman 175-186

BUku ini adalah kumpulan Tulisan dari pegiat pembela HAM dari berbagai macam kasus yang merupakan monumen “memoria passionis” (kenangan duka yang menggugat) bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, yang diharapkan dapat menggoreskan imperatif moral yang kuat dalam ingatan sejarah peradaban bangsa kita kini dan di masa mendatang, bahwa telah terjadi rangkaian pelanggaran hak-hak asasi manusia di negeri ini dalam bentuk kekerasan politik iii negara secara massal dan sistimatik. Kekerasan politik yang telah menjatuhkan ribuan masyarakat sebagai korban yang disiksa, dianiaya, diculik dan dihilangkan jati dirinya serta dibunuh. Kekerasan politik yang terjadi sejak tragedi pelanggaran hak asasi manusia.

 

Menapaki Jejak Kekerasan di Pulau Kemaro – TRULY HITOSORO [Islam Bergerak]

* Penulis adalah Peneliti Pusat Kajian Kriminologi, Universitas Indonesia

 

Inilah Pulau Kemaro, pulau yang sempat ditakuti karena dianggap mengekap maut. Air sungainya sempat dipenuhi dengan bangkai manusia, hingga hasil sungainya berupa ikan dan udang pun sempat orang segan memakannya. Kini, tak nampak sama sekali bekas jejak kekerasannya.

“Sebetulnya nasib saya masih termasuk jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan kawan-kawan lain yang diangkut ke Palembang terdahulu. Kami diangkut dengan bis, sedangkan kawan-kawan yang terdahulu diangkut dengan kereta api barang yang panas dan pengap, maka itu banyak yang mati sebelum tiba di Palembang. Kabarnya pernah ada satu gerbong yang hanya satu orang yang masih hidup, yang lainnya sudah mati dalam perjalanan. Mereka diangkut ke Pulau Kemarau memang untuk dihabisi, sedangkan kami rombongan terakhir untuk dijadikan etalase, untuk diperlihatkan kepada orang asing seolah-olah Pulau Kemarau itu tempat tahanan yang manusiawi. 

“Tidak semua kawan kita yang sudah tiada lagi itu bisa saya ketahui jalan hilangnya. Yang jelas 6 orang anggota comite yang bersama saya dulu, beserta beberapa kawan lain diangkut ke Palembang dalam rombongan pertama. Semua mereka itu hilang. Tapi bagi saya tidak jelas apakah matinya setelah di Pulau Kemarau atau dalam perjalanan. Saya ulangi lagi nama-nama mereka itu: Alwi, Buchori, Swignyo, Tubin, Yazit, Rentaim, Nawari S. A., Marjani. Yang lainnya yang bersama mereka tidak bisa saya ingat, sebab sebagian besar mereka itu ditangkap di desa-desa. Selain dari itu Bung tentu kenal kawan-kawan ini yang juga diangkut ke Palembang dan hilang tak berbekas. Sikin, Duni, Amarudin dari Dusun Lubuk Mabar, Bahasan dari Dusun Tanjung Raya, Sulidin dari Dusun Pagar Agung, Murod dari Dusun Muara Danau, Hasanuddin dari Dusun Lubuk Tuba. Bung juga tentu ingat nama A. Kadir dan Hasan Arsyad, keduanya mati disiksa dalam tahanan di Palembang. Bung Faisol mati karena pecah kepalanya di ruang interogasi. Rizal, Badui, Sudarno, dan lain-lainnya itu sudah hilang, tapi tidak jelas bagaimana hilangnya. Kalau mau disebut satu persatu tentu perlu waktu panjang untuk mengingat-ingatnya. Kita yang dinyatakan PKI bahkan orangorang PNI juga, mereka anggap lebih rendah dari binatang, dihina dan dibunuh semau mereka.”

selengkapnya SAKSI HIDUP wawancara Zakaria oleh Syarkawi Manap yang dimuat dalam buku Memoar Kisah Perjalanan

Zakaria, kelahiran Desa Lubuk Lungkang, Kecamatan Bungamas, Kabupaten Lahat. Pernah bekerja di Kantor Bupati Lahat. Pernah menjadi anggota Pimpinan Daerah Pemuda Rakyat Lahat. Sebelum Peristiwa G30S, dia menjadi anggota Dewan Harian Comite Seksi PKI (Partai Komunis Indonesia) Lahat dan menjabat sebagai Sekretaris BTI (Barisan Tani Indonesia) cabang Lahat. Sejak 20 November 1965, Zakaria secara resmi menjadi tahanan politik (tapol) dan mendapatkan pembebasan pada awal Agustus 1976.

[Rekaman Webinar] Penayangan Film Dokumenter ‘Dari Stockholm Untuk Tjilik Riwut’ dan Bincang-bincang Tentang Eksil

*simak pula penuturan Syarkawi Manap tentang kekejian di Kamp Pulau Kemarau mulai menit 57.40

Orang yang Terlibat PKI Diduga Dipenjara di Pulau Kemaro, ini Kesaksian Warga Setempat – sumsel tribunnews

Kisah Para Gubernur yang Dituding PKI – beritasatu

“Selain Anak Agung Bagus Sutedja, ada 6 gubernur lainnya diberhentikan di tengah jalan. Proses pemberhentian diawali berbagai aksi unjuk rasa segenap komponen masyarakat dengan tudingan para gubernur itu terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah Presiden Soekarno diturunkan dari jabatan melalui kudeta merangkak Presiden Soeharto,” tandas Aju.

Keenam gubernur lain yang dituding PKI adalah Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar.

Tujuh Gubernur Soekarnois, kata Aju memang pendukung setia ideologi Pancasila besutan Presiden Soekarno sebagai implementasi ideologi sosialis yang diterapkan sesuai alam dan budaya Indonesia. Sebuah ideologi yang berbenturan keras dengan ideologi liberalis kapitalis barat dimotori Amerika Serikat hingga tahun 1991.

simak 1800 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
 

 

 

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
 

 

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Bookmark and Share
.

Tinggalkan komentar