Upaya pengungkapan kebenaran masa lalu, pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan gagasan rekonsiliasi nasional adalah beberapa agenda penting yang saling bersanding mengisi transisi politik penting pasca-Orde Baru. Beberapa landasan legal normatif sudah dibentuk, begitu pula dengan gagasan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun langkah-langkah tersebut serasa masih berjalan di tempat, seolah mengalami jalan buntu. Dinamika polemik pasang-surut rekonsiliasi menandakan dibutuhkan suatu pembacaan yang lebih mendalam untuk menjawab tantangan tentang masa depan rekonsiliasi. Adalah sangat penting untuk menyusun strategi dan langkah baru untuk mendorong penyelesaian kejahatan masa lalu dan ide rekonsiliasi nasional agar bisa terealisasi dengan baik dan berkeadilan.
Dalam kesempatan ini, MINDSET Institute berinsiatif mengadakan diskusi dengan topik “Rute Terjal Rekonsiliasi”, dengan narasumber dan moderator sebagai berikut: Narasumber: • Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022). • Grace Leksana (Peneliti di Institute Sejarah Sosial Indonesia) • Wahjudi Djafar (Deputi Direktur Riset Elsam Jakarta) Moderator: • St. Tri Guntur Narwaya (Direktur MINDSET Institute dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
Webinar “Membangun Kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Seberapa Besar Peluangnya?”
Setelah sekian tahun berjalan, di tengah muramnya agenda penyelesaian pelanggaran HAM, tentunya ada banyak perkembangan yang mengemuka, baik secara politik, hukum, maupun secara khusus kondisi dan harapan korban, juga beragam inisiatif yang mengemuka di publik. Oleh karenanya, dengan momentum politik yang berbeda, dan mempertimbangkan berbagai perkembangan dalam dua puluh tahun terakhir, merespon gagasan pembentukan kembali KKR, tentunya diperlukan sebuah konsep dan bangunan KKR yang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan terkini. Selain itu, belajar dari pengalaman sejumlah negara yang mengaplikasikan pembentukan KKR sebagai bagian dari agenda keadilan transisionalnya, dengan konteks dan karakter yang berbeda-beda, juga menjadi catatan bagi kita, untuk secara baik dan cermat mempertimbangkan kebutuhan KKR dalam konteks dan karakter keindonesiaan, termasuk peluang-peluang yang memungkinkan melalui format pengaturannya.
Bersama Ifdhal Kasim, Amiruddin al-Rahab, Andi Yentriyani, Wahyudi Djafar, dan Miftah Fadhli.
Diskusi Publik: Menyingkap Perpres Komisi Kebenaran #15TahunMoUHelsinki
Pasca pembatalan UU KKR oleh MK di 2006, Indonesia praktis tak punya aturan hukum yang rinci mengenai Komisi Kebenaran dan sejenisnya sebagai salah satu mekanisme penyelesaian kasus HAM berat di Indonesia. . Tapi tak sekadar adanya regulasi, yang Bangsa Indonesia butuh adalah tata aturan yang berkeadilan dan memperhatikan kepentingan korban. Bukan sekadar teks yang merupakan jalur pintas dari impunitas & rekonsiliasi para pelaku yang asal-asalan. .
Diskusi publik menyingkap rencana di balik pembuatan Perpres Komisi Kebenaran diselenggarakan pada tanggal 11 agustus 2020, dengan Narasumber: indriafernida (AJAR) Galuh Wandita (AJAR) Manunggal Kusuma Wardaya (Dosen Universitas Jenderal Soedirman)
simak pula
[unduh] Kumpulan ebook Komisi Kebenaran dan Keadilan Transisional
Pengalaman Syarikat Indonesia
LUKA BANGSA ‘1965’ : WARISAN GUS DUR, SYARIKAT INDONESIA DAN REKONSILIASI KULTURAL DI AKAR RUMPUT
“Rekonsiliasi Kultural” : Imam Aziz, Teologi Rekonsiliasi dan Upaya Membangun Jembatan NU-PKI.
Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, Geliat Silaturahmi Akar Rumput
kajian Sri Lestari Wahyuningroem
This thesis examines the implementation of transitional justice measures in post-authoritarian Indonesia, starting from the beginning of the political transition in 1998 until its consolidation in 2009 and beyond. It does so by, first, assessing the procedural and substantive aspects of transitional justice implementation. Following this assessment, the thesis, second, analyses the factors within democratic transition that either facilitated or hindered the adoption and implementation of transitional justice measures. The thesis argues that state-sponsored transitional justice in Indonesia has been successful only in terms of procedure, and even then only problematically so, but a total failure in substance. This outcome resulted from the nature of the political transition in Indonesia from 1998 onwards. Indonesia’s transition involved a combination of a rupture, or replacement, style of transition and a compromise, or transplacement. The replacement features motivated the government and political elite to agree to the adoption of transitional justice measures. In the period of transition, when it lacked political legitimacy, the new government needed transitional justice to distance itself from the image of the predecessor repressive regime and to gain public trust, both domestically and internationally. However, the transplacement nature of the political transition, which involved bargaining between elements of the old regime and reformers, contributed to the failure to achieve the objectives of transitional justice. Even though transitional justice failed at the state level, more positive outcomes have occurred at the community and local levels. Civil society groups and regional governments have initiated partial transitional justice, suggesting that improving justice outcomes can also take place from the bottom up, or from the margins, rather than being entirely dependent upon top-down, or state-centred initiatives.
Seducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in IndonesiaSeducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia
Journal of Current Southeast Asian Affairs
Towards Post-Transitional Justice
The Failures of Transitional Justice and the Roles of Civil Society in Indonesia
Journal of Southeast Asian Human Rights, Vol. 3 No. 1 June 2019
Simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)Iklan