Mematahkan Tesis Dualistik Sipil-Militer Pembunuhan Massal 65-66 : Bukan Aksi Spontan Tapi Dirancang Secara Nasional, Sistimatis, Tersruktur oleh Faksi Militer Pimpinan Suharto

cover foto : karya Dadang Christanto

 

simak

Putusan Majelis Hakim Sidang Rakyat 1965

Terutama bagian B2. Tanggung Jawab dan Rantai Komando

 

SUHARTO, RANTAI KOMANDO DAN KETOK PALU KEJAHATAN GENOSIDA 1965

 

Final Report of the IPT 1965: Findings and Documents ofthe IPT 1965

 

 

 

 

Kajian-kajian Ilmiah

 

Pengetahuan tentang Sebuah Rahasia Umum: Penghilangan Massal 1965–66 di Indonesia – John Rossa

 

Sebagai sebuah rahasia umum, pembantaian 1965–66 merupakan kejadian yang sulit dimengerti. Banyak informasi tetap tersembunyi sehingga pertanyaan-pertanyaan dasar tidak berhasil dijawab dengan akurat dan teguh. Ambillah pertanyaan: siapakah pelakunya? Film The Act of Killing dengan jelas memperlihatkan bahwa, dalam kasus Medan, kelompok milisi sipillah pelakunya. Tetapi kata-kata pembukaan film tersebut menyebutkan bahwa tentaralah yang bertanggung jawab atas pembantaian antikomunis tersebut. Namun film itu, yang lebih berfokus kepada ingatan kelompok milisi sipil daripada kejadian itu sendiri, tidak menjelaskan apa tepatnya hubungan mereka dengan tentara.

Setelah menonton film itu, beberapa pemirsa mendapat kesan yang keliru bahwa tentara tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, Oppenheimer berpikir bahwa rujukan-rujukan ke tentara dalam film tersebut sudah cukup untuk menyampaikan pesan bahwa tentara telah ‘mengkontrakkan’ kerja pembunuhan kepada kelompok milisi (Melvin 2013). Literatur ilmiah tentang masalah ini penuh dengan ketidakpastian tentang identitas para pelaku pembunuhan. Banyak pakar sejarah mengalami kesulitan untuk memahami peranan tentara dan organisasi sipil dalam kekerasan antikomunis. Apakah tentara memutuskan untuk meluncurkan aksi pembantaian dan kemudian mengatur-atur kelompok milisi ibarat pion ataukah tentara menyerah kepada tekanan dan desakan dari bawah?

Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Cribb (2001, 235), “kesulitan yang paling sukar ditangani dalam memahami pembantaian itu adalah menentukan seberapa pentingnya inisiatif tentara dan seberapa pentingnya peran ketegangan lokal.” Jawaban atas pertanyaan ini penting karena akan menentukan apakah kejadian itu merupakan kasus kekerasan yang spontan dan horizontal, yakni “tetangga membunuh tetangga,” ataukah merupakan kasus kekerasan birokratik yang vertikal, yaitu, negara membantai warganya sendiri. Dengan kata lain, apakah pembunuhan itu merupakan kekerasan khaotis ketika rakyat mengamuk, ataukah sebuah kasus genosida politik yang terorganisir dengan baik, ataukah campuran keduanya?

Para pakar sejarah cenderung menyimpulkan bahwa kekerasan tersebut dilaksanakan oleh gabungan personalia tentara dengan milisi sipil, dengan peran yang berbeda-beda dari daerah ke daerah; di beberapa daerah nusantara, tentara yang memimpin; di daerah lain, milisi yang memimpin. Argumen seperti ini, yang bisa disebut tesis dualistik, tidak mengakui adanya sebuah pola nasional yang melingkupi pembunuhan itu dan menolak pemikiran bahwa pembunuhan yang terjadi adalah tanggung jawab seorang saja, atau sekelompok orang, atau sebuah lembaga. Sejak tumbangnya pemerintah diktator Suharto pada 1998 setelah tiga puluh dua tahun berkuasa, pembunuhan masal mulai lebih banyak dibahas secara luas. Juga lebih banyak rahasia yang terungkap.

Walaupun tidak ada persidangan para pelaku dan juga tidak terbentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, terdapat banyak investigasi dan forum publik, seperti misalnya, peluncuran buku, film, konperensi akademik, kuliah umum, acara bincang di televisi, dan sejumlah penggalian dan identifikasi kuburan massal. Tambahan lagi, peneliti di berbagai propinsi berhasil memperoleh informasi baru. Begitu juga, wartawan menerbitkan banyak tulisan mengenai pembunuhan itu. Para editor Tempo, mingguan terkemuka di Indonesia, setelah menonton The Act of Killing, membentuk sebuah tim wartawan untuk mewawancarai sejumlah pelaku sipil mirip Anwar Congo, di seluruh negeri. Tempo edisi khusus yang terbit Oktober 2012 segera terjual habis, dan fotokopinya dijual dengan harga lebih tinggi dari harga pasar (Tempo 2012).

Ini untuk pertama kali cerita tentang para algojo muncul di majalah itu sejak terbit empatpuluh satu tahun yang lalu. Penelitian-penelitian baru ini hanya menyentuh permukaan dari serangkaian kejadian rumit yang berlangsung selama berbulan-bulan di seantero negeri kepulauan dengan penduduk sekitar 100 juta jiwa pada pertengahan 1960-an. Dibandingkan dengan literatur tentang kasuskasus genosida yang lain di abad ke duapuluh, literatur mengenai genosida politik di Indonesia masih jarang dan kurang berkembang (Cribb 2009). Namun demikian, penelitian-penelitian yang baru ini memungkinkan beberapa pola muncul dengan lebih jelas, misalnya, pola cara pelaku menyembunyikan jejak-jejak pembantaian. Sekarang juga diperoleh lebih banyak bukti yang menjelaskan mengapa hampir tidak ada bukti.

Banyak korban, dari Aceh di Indonesia bagian barat sampai Flores di Indonesia bagian timur dihilangkan dengan pola yang sungguh serupa. Penelitian-penelitian yang baru ini juga menyiratkan bahwa pandangan konvensional tesis dualistik perlu dipikirkan kembali. Mulai terungkap bahwa satu faksi komando tertinggi ABRI di Jakarta, Suharto bersama klik perwiranya, tampaknya jauh lebih banyak berperan dalam mengatur pembunuhan daripada yang diduga semula.

****

…………

Bahwa pembunuhan di Aceh dan Bali dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai pekerjaan massa yang mengamuk dan haus darah menggambarkan keberhasilan militer dalam menyembunyikan dan mengaburkan peran mereka yang sebenarnya. Militer waktu itu tidak ingin berada di garis terdepan dan dianggap berjasa melakukan pembantaian. Masuk akal – mereka yang bertanggung jawab atas perbuatan kejam dan keji jarang ingin tindakan dan perbuatan mereka didokumentasi dengan rinci dan diterbitkan secara luas.

Di Aceh dan Bali dapat diamati pola pembunuhan yang sama yang juga menjadi pola pembunuhan di tempat lain di Indonesia. Peneliti-peneliti yang mengkaji pembantaian di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Flores menemukan bahwa tentara memimpin operasi-operasi untuk menghilangkan sejumlah besar warga yang dituduh komunis (Elsam 2012, 2013; McGregor 2012 Oppenheimer and Uwemedimo 2009; Prior 2011; Tri Hasworo 2004; van Klinken 2013). Wawancara Tempo dengan pelaku-pelaku sipil dari Jawa Timur, Palembang, dan Palu juga mengungkapkan pola penghilangan paksa yang sama (Tempo 2012, 56–72, 100, 106–7).

Tesis dualistik tidak menangkap keseragaman yang mencolok yang ada dalam deskripsi kejadian di daerah-daerah yang demikian terpencar. Walaupun terdapat perbedaan dalam aksi kekerasan oleh antikomunis, namun, lintas propinsi, tampak cara menghilangkan orang-orang yang sudah ditahan berlangsung dengan sangat ajeg. Teramati bahwa personalia militer mengorganisir warga sipil, mengelola kamp-kamp tahanan, dan mengatur truk-truk untuk mengangkut para tahanan ke tempat eksekusi. Sulit dipercaya bahwa di daerah-daerah yang tersebar luas ini, personalia militer dan kelompok milisi secara sendiri-sendiri/independen menggunakan metode yang sama dalam menghilangkan tahanan.

Pasti ada instruksi dari Suharto dan jenderal-jenderal sekutunya di Jakarta ke bawahan mereka untuk mengorganisir pembunuhan dengan cara khas seperti itu. Berdasarkan kajian-kajian lokal yang telah dilakukan sampai saat ini, peneliti-peneliti sekarang sanggup menelusuri kembali rantai komando dan memeriksa pembuatan keputusan sampai ke komando tertinggi di Jakarta.

 

“Down to the Very Roots”:The Indonesian Army’s Role in the Mass Killings of 1965–66 Geoffrey Robinson

 

JOURNAL OF GENOCIDE RESEARCH, 2017 VOL. 19, NO. 4, 465–486

This article makes the case that the anticommunist violence of 1965–66 in Indonesia was neither inevitable nor spontaneous, but was encouraged, facilitated, directed and shaped by the Indonesian army leadership. It develops that argument in three parts. It shows first how the temporal and geographical variations in the pattern of mass killing corresponded closely to the varied political postures and capacities of army commanders in different locales, and how the mass violence everywhere depended on the army’s substantial logistical assets. Next, it outlines how the army encouraged and directed mass killings by mobilizing militia groups and death squads, and encouraging them to detain and kill members of the PKI (Partai Komunis Indonesia—Indonesian Communist Party) and its allies. Third, it describes how the army provoked and legitimized mass violence by launching a sophisticated media and propaganda campaign that blamed the PKI for the kidnap and murder of six army generals on 1 October 1965, and called for the party and its affiliates to be physically annihilated. The army had allies in this effort, none more enthusiastic than the anticommunist religious and political leaders who fanned the flames of hatred and violence by allusions to long-standing religious and cultural differences. Mass violence was also fuelled by the wider international context of the Cold War and by the acts and omissions of key foreign powers. But without the army’s orchestrated campaign to cast the PKI as evil, without the conscious decision to effect its physical annihilation, and without the mobilization of the army’s considerable organizational and logistical capacity to carry out that decision, it is unlikely that any of those long-standing tensions or external forces would ever have given rise to violence of such staggering breadth and brutality

 

…………

 

The Indonesian Killings of 1965-1966 – McGregor . Katharine E

 

Terutama di bagian B. Decision-Makers, Organizers and Actors

 

 

 

Djakababa, Yosef (2013), The Initial Purging Policies after the 1965 Incident at Lubang Buaya, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 11–36.

 

Abstract: After the Lubang Buaya incident on 1 October 1965 in which six top Indonesian Army generals and a lieutenant were killed, the Army began to implement a nationwide purging campaign with the assistance of civilian anti-communist groups. Thousands of PKI members, supporters and proSukarno groups/individuals immediately became the target of this purge. For organisational purposes, several purging policies were released and then strictly enforced. The official purging policies that are highlighted in this paper are a series of initial directives that were released within days of the generals’ executions. They do not explicitly translate into orders to kill, but are more of a guideline to help anti-communist officials classify and contain communists and other PKI followers. This article attempts to show how these initial directives evolved and also discusses competing purge policies from non-military sources. The co-existence and overlapping nature of the various directives indicate that a power struggle existed between the anticommunist group led by General Soeharto and the presidium of the Dwikora Cabinet who were loyal to President Soekarno. Manuscript received 10 November 2013; accepted 5 February 2014

 

Mechanics of Mass Murder:A Case for Understanding the Indonesian Killings as Genocide Jess Melvin

 

The discovery of the Indonesian genocide files has fundamentally changed what it is now possible to know about the 1965–66 killings, specifically as regards questions of military intent and accountability. Likewise, the process by which the military’s target group was identified and targeted for destruction can now be understood using the military’s own account of how this process occurred. A strong case for understanding the 1965–66 killings as a case of genocide can now be made. Genocide as a concept is not perfect. Even so, it remains an important tool to bring perpetrators of systematic state-sponsored mass murder to account.

atjeh

 

0b-4

 

Collaboration in Mass Violence The Case of the Indonesian Anti Leftist Mass Killings in 1965 66 in East Java

The aim of this article is to examine further the concept of collaboration in genocide and mass killings through the case study of anti-communist mass killings in Indonesia in 1965–66. High degree of civilian involvement in the killings has misled to a conclusion that the state (in this case, the Indonesian army) did not have a significant role in the killings. The Indonesian state and some scholars interpret the violence as a result of horizontal conflict between the communists and religious or nationalist groups; or violence that could not be generated an overarching pattern, because in some areas the army took the lead, while in other areas, it was the civilians. This article examines the killings in East Java, one of the provinces with a high death toll. Previous studies in this province conclude that civilians were dominant in taking actions against the communists and leftists. However, this does not mean that the army did not have a significant role in the violence. Through the analysis of the newly-accessed East Java military (Kodam V Brawijaya) archives collection, this article will show that although mass killings were executed by civilians in early October 1965 in East Java, they became coordinated and systematic under the military command since mid-October 1965. Readings on the archives strongly show that the military structurally facilitated the violence, while on the other hand, civilians collaborate with the military to remove Indonesian leftists. The collaboration in East Java shows a structurally coordinated move to persecute the communists.

 

 

 

 

Hammer, Mathias (2013), The Organisation of the Killings and the Interaction between State and Society in Central Java, 1965, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 37–62.

 

 

Abstract: This article investigates how the Indonesian state organised the killing of approx. 100,000 communists and alleged communists in Central Java in 1965. It presents the argument that even though state institutions unleashed the killings and perpetrated much of the violence, the state’s control over this violence was limited. In particular, decisions by state institutions as to who would be targeted by the violence at the individual level were considerably influenced by civilian actors. Six theses develop this argument by reconstructing these events. They highlight the fact that the Indonesian army faced capacity constraints (thesis 1) and relied on improvisation (2). The army detained many of the victims in improvised facilities prior to their deaths (3). In these installations, the army’s capacity to identify and select those of the detainees it wished to execute was constrained by a lack of reliable men among their forces. Chaotic conditions in the detention facilities put further limits on the state’s capacity to select people for execution. To counter these effects, auditing and investigation teams were put into place to carry out these selections (4). In doing so, they had to rely on information from their victims’ social environments (5), which identified candidates for detention and supplied details that helped the selection teams decide what to do with detainees (6). This information was supplied voluntarily, often as a result of personal initiative.

The Silent Scream of a Silenced History: Part One: The Maumere Massacre of 1966 John Mansford Prior, SVD

The Silent Scream of a Silenced History: Part Two: Church Responses

John Mansford Prior, SVD

Negara Jangan Cuci Tangan – Ariel Heryanto, CNN Indonesia

Tidak ada peristiwa kekerasan massal di mana pun bisa meliputi wilayah luas,dan berlangsung dalam masa yang panjang, dan memakan banyak korban, jika tidakdisponsori negara. Hal ini berulang kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya diseputar “kasus 1965” yang mencakup masa menjelang 1965 maupun puluhan tahunsesudahnya.

Di situ yang menjadikorban bukan hanya satu pihak (komunis), bukan hanya dua pihak (pro dananti-komunis), tetapi berbagai pihak (bangsa yang terbelah-belah). Dengandemikian, sebetulnya berbagai pihak yang menjadi korban ini tidak perlu salingbermusuhan. Bersama-sama mereka layak menuntut tanggung-jawab negara ataskerugian yang mereka derita.

Namun, selama ini kisahkekejaman 1965 disempitkan seakan-akan hanyalah puncak dan akibat konflikhorizontal pro dan anti-komunis. Dalam berbagai pidato pejabat negara, bukuresmi sejarah, dan pembahasan dalam ruang publik, kejahatan Negara dalamperistiwa itu diabaikan. Sebagai gantinya, tanggung jawab itu dilimpahkankepada masyarakat yang anti-komunis, termasuk mereka yang menjadi korban karenadipaksa aparat Negara (dengan ancaman jika menolak) untuk membasmi komunis.

Sebelum maupun sesudah1965, konflik horizontal itu memang ada. Tetapi konflik itu teramat kecil jikadibandingkan dengan skala dan peran kejahatan vertikal oleh Negara padaperistiwa yang sama. Seandainya konflik pro dan anti-komunis dibiarkan terjadisendiri, tanpa campur-tangan negara, jumlah korbannya mungkin puluhan, ataubeberapa ratus. Sulit membayangkan akan mencapai angka seribu. Kalau ternyatakorbannya ratusan ribu dalam waktu singkat, pasti Negara berperan penting dalamkekejaman itu.

Warga sipil anti-komunisdikisahkan dalam berbagai ceramah, ulasan berita, novel, atau film sebagai kaumyang bengis, atau aneh. Mereka diwawancarai mengapa mereka membunuh komunis,atau terlibat membantu pembunuhan itu. Mereka dituduh sebagai pihak yangbersalah. Sementara Negara dibebaskan dari tuduhan apapun.

Bukannya menolak tuduhansemacam itu, banyak di antara kaum anti-komunis yang termakan propaganda OrdeBaru. Dua pilihan sikap mereka yang menonjol. Pertama, mayoritas dari merekamembela diri dan mencari pembenaran atas tuduhan membunuh komunis. Misalnya,dengan dalih terpaksa membunuh, kalau tidak akan dibunuh komunis. Mereka jugaterus berkampanye anti-komunis lebih dari 50 tahun sesudah peristiwa 1965.


Kedua, sebagian kecil dari mereka ikut usaha rujuk atau “rekonsiliasi” yangsifatnya lokal dan personal. Hal ini terpuji. Namun, masalah politik yangsedahsyat 1965 dengan peran Negara sebagai aktor utama, tidak dapat dituntaskandalam bentuk prakarsa mulia antarwarga di tingkat lokal dan individual, betapapun mulia prakarsa itu.

 

 

 

simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

   

 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

  Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar