Kamp Pengasingan Pulau Nusakambangan : Jenderal Soeharto dan Golkar Di Pundak Tapol! / Genosida 1965-1966

‘Memoar Pulau Buru’ sudah umum ditulis oleh penyintas ’65 dan kemudian diterbitkan. Agaknya banyak orang belum mendengar seseorang menulis ‘Memoar Pulau Nusakambangan’, walau Ir DSM Sastrosidirdjo sudah menuliskan dan menerbitkan semacan ‘Memoar Pulau Nusakambangan. Memang Nusakambangan lebih dikenali sebagai pulau transit tapol/napol sebelum dibuang ke Pulau Buru. Kliping berikut walau dengan naskah yang terbatas bercerita tentang beberapa tapol yang mengalami pengasingan/pembuangan akhir di Pulau Nusakambangan.
 
 
 
 
(Petikan ringkas dari naskah Ir DSM Sastrosudirdjo, Banten
Seabad Setelah Max Havelaar, penyunting Harsutejo).
 
 

Pasar Hewan Nusakambangan

Selasa pagi 6 April 1971, ketika bangun kami baru sadar kereta sudah berada di stasiun Cilacap, Jawa Tengah. Kami rombongan tapol dari Banten segera berkemas, keluar dari gerbong berbaris di lapangan terbuka di depan stasiun. Kami disuruh berjongkok sambil meletakkan kedua tangan di atas kepala persis seperti penjahat yang tertangkap basah polisi. Sambutan meriah dengan sumpah-serapah yang jarang kami dengar selama di Banten. Di sini begitu entengnya kata-kata kasar dan jorok dari mulut para petugas berpakaian sipil. Rupanya mereka mau pamer kekuasaan di depan para militer, bahwa seragam dril khaki tidak kalah garang dari mereka yang berseragam hijau.

Sipil berseragam dril dengan atribut Departemen Kehakiman di lengan baju dan pundak merupakan petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) alias penjara Nusakambangan. Selanjutnya kami diangkut dengan truk menuju pelabuhan Cilacap. Sampai ke pelabuhan kami turun dan kembali dibariskan, dilakukan pemeriksaan ulang. Selama di di Banten boleh dibilang aku pribadi merasa diperlakukan secara manusiawi dalam arti tidak ada sikap penguasa yang memandang hina atau merendahkan derajat, meski tetap saja sebagai pekerja rodi. Kami disuruh jongkok dengan kedua tangan ditaruh di atas kepala, sipir penjara menghitung tapol dengan cara mengetuk-ketukkan tongkat rotan ke atas kepala kami seperti menghitung kambing di pasar hewan. Untuk teman-teman yang selama di Banten bekerja rodi di proyek Sawahluhur atau proyek Cisimeut, perlakuan yang mereka alami sama kasar dan tidak manusiawinya.

Petugas di Cilacap cukup berpengalaman dalam menangani tapol sejak 1965 sampai 1971 saat kami datang. Mereka memperlakukan tapol sebagai jenis makhluk antara hewan dan manusia. Disebut hewan tak berekor dan punya akal, disebut manusia, tak punya harkat manusia dengan makanan boleh disamakan dengan hewan. Di dermaga pelabuhan kami dibariskan lagi dan disuruh jongkok lagi, menunggu giliran diangkut berangsur-angsur dengan kapal kecil ke pulau yang tersohor di kalangan penjahat kakap. Sampai tiba giliranku bersama beberapa teman termasuk Ir Mamad Sumadiredja dan Ir Gondosumarmo, dua rekan dari proyek baja Cilegon. Kami mendarat di dermaga Sodong, Nusakambangan. Perjalanan berlang-sung singkat seperti menyeberangi sungai lebar. Semua bangunan di Nusakam-bangan tampak begitu jelas dari Cilacap, begitu pula sebaliknya. Kembali kami dibariskan dengan cara jongkok, dihitung ulang kemudian diperintahkan jalan kaki menuju penjara Gliger. Sesampainya di Gliger yang tak jauh letaknya, para tapol dimasukkan ke beberapa kamar besar, pintu dikunci. Kamar lembab dan pengap, mungkin karena dijejali terlalu banyak orang. Sekitar jam 14.00, datang petugas dengan membawa daftar nama, kami dipanggil satu per satu. Rupanya kami dipisah antara yang sarjana dan tingkat akademis dengan yang lain. Kami yang dipanggil dikeluarkan dari ruangan dan diperintahkan naik truk sambil menerima pembagian makanan dalam besek. Ketika besek kubuka makanan sudah basi.

Meninggalkan Gliger menjelang matahari mulai condong ke barat, melaju di jalan berdebu, berkelok-kelok mengikuti kontur pantai, di beberapa tempat ditumbuhi pohon kelapa. Kami sampai ke suatu tempat yang agak tinggi, mendaki dari pantai menuju bangunan yang di depan kiri kanannya terdapat pohon peneduh. Jalanan diberi batu pembatas batu kapur. Kami telah sampai di tempat tujuan, penjara Karangtengah. Prosedur masuk penjara pun kami lewati seperti yang pernah kami alami di Penjara Serang. Segala barang bawaan kami diperiksa, seluruh isi tas dikeluarkan dan dipilah-pilah, apa yang boleh dibawa masuk dan apa yang harus ditinggalkan di kantor. Barang-barang berharga, seperti cincin, jam tangan, uang harus dititipkan di kantor, dicatat dalam sebuah buku besar. Barang-barang berbahaya yang bisa dipakai untuk menyerang orang atau bisa dipakai untuk bunuh diri, seperti tali sepatu, pisau lipat, ikat pinggang, botol obat juga harus dititipkan di kantor.

Hari ketiga rombongan Banten dan Kebonwaru, Bandung dikumpulkan di los terbuka beratap seng untuk mendapat penjelasan Mimbap (Pimpinan Lembaga Pemasyara-katan) alias Kepala Penjara, akronim “enak diucapkan dan didengar” tanpa memikirkan kaidah bahasa. Penjelasan yang disampaikan menyangkut peraturan dan tata tertib penjara, kami sudah bosan mendengarnya, tetapi toh harus mende-ngarkan dan mengangguk setiap kali Mimbap bertanya, “Saudara-saudara faham?” Yang kedua penjelasan tentang status kami, tapol yang dipersiapkan untuk dikirim ke Pulau Buru yang akan hidup sebagai petani. Mimbap yang bernama Paimo itu perawakannya kurus kerempeng, berbicara bak pembesar di hadapan rakyat kecil yang martabatnya jauh lebih rendah darinya. Kami sudah terlalu sering menghadapi kepongahan semacam itu, baik dari petugas militer maupun sipil. Dia ingin menunjukkan kepada kami sebagai penguasa tertinggi di Karangtengah, nasib kami berada di tangannya.

Sebuah pulau kecil di seberang Cilacap dengan luas sekitar 124 km persegi atau kurang lebih lebar enam kilometer dengan panjang dua puluh satu kilometer. Pulau kecil ini begitu terkenal di kalangan narapidana kriminal, sebagai tempat paling ditakuti. Kalau di Amerika Serikat, mungkin penjara Alcatraz bandingannya, yang juga terletak di sebuah “pulau setan” di Teluk San Fransisco. Di tengah pulau berdiri bukit memanjang sebagai punggung, dengan pantai yang landai dan berpasir di bagian utara dan terjal di selatan menghadap ke Samudera Hindia. Tidak jauh dari penjara Karangtengah ke arah timur ada sebuah benteng kuno, konon peninggalan Portugis, walaupun tidak jelas kapan orang Portugis pernah mendarat dan bertahan di pulau ini.

Nusakambangan terpisah dari Pulau Jawa oleh selat selebar sekitar dua kilometer, tidak terlalu jauh bagi orang yang nekat melarikan diri dan mahir berenang. Kalau dibilang sekali masuk Nusakambangan orang tak bisa lagi lolos itu hanya mitos yang dibesar-besarkan. Di pulau ini terdapat sembilan penjara yang dibangun dalam kurun waktu berbeda, Permisan dibangun 1908, Nirbaya 1912, Karanganyar 1912, Batu 1925, Karangtengah 1928, Gliger 1929, Besi 1929, Limusbuntu 1935, Kembang-kuning 1950. Semuanya dibangun dimasa penjajahan Belanda kecuali Kembang-kuning.

Makan selama di Karangtengah sangat buruk, apalagi jika dibandingkan selama kerja rodi di Banten, bahkan dibanding jatah paling buruk yang kudengar di proyek Sawahluhur. Untuk para tapol dari DKI Jakarta jatah makanan di Nusakambangan sama buruknya atau lebih buruk dari kondisi penjara Salemba. Hal ini nampak dari penampilan fisik para tapol eks DKI Jakarta, secara umum lebih kurus bila dibandingkan dengan tapol asal Jawa Timur atau Jawa Barat yang sudah tergolong kurus. Pengalaman kami sendiri jatah makan di penjara selalu buruk, masih diperparah oleh budaya korupsi para petugasnya. Penjara Nusakambangan banyak memakan korban mati kelaparan di awal 1966. Apalah artinya nasi semangkuk kecil tidak padat, sepotong kecil telur rebus, tambah sayur berupa air asin tanpa isi. Pada suatu hari Minggu ada pembagian makanan berupa bubur kacang hijau yang terdiri dari air dengan sedikit gula, sedang butir kacang hijaunya hampir tidak ada. Seorang tapol dengan bercanda nyeletuk, “Butir kacang hijaunya pandai berenang, sulit ditangkap”. Canda ini berakibat buruk, ia diseret keluar dari antrian, dibawa ke kantor dan dihajar beberapa petugas. Inilah salah satu bentuk konkrit ucapan Mimbap, selama berada di Nusakambangan nasib kami ada di tangannya.

Dua macam penyebab meninggalnya tapol, karena siksaan atau karena kelaparan. Mati kelaparan pada hakekatnya sama artinya dengan mati disiksa karena kami dibuat lapar agar mati. Karena jatah makan yang begitu sedikit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan, maka para tapol harus punya inisiatif untuk mencari tambahan sendiri. Bagi mereka yang bekerja di ladang kadang bisa membawa pulang sekerat dua kerat singkong rebus lewat cara diam-diam. Untuk mencuri jagung agak sulit karena harus mematahkan jagung dari pokok tanaman, kalau terlalu banyak akan segera ketahuan. Paling mudah mencuri singkong, umbi singkong ada di bawah tanah, jika dari satu pohon tua diambil satu atau dua buah umbi kemudian segera ditimbun kembali bekasnya tidak nampak. Petugas bisa saja melihat tanah sekitar pohon menunjukkan bekas tapak cangkul, tetapi justru itu tugas para tapol merawat dan menyiangi tanaman. Efek yang ditinggalkan justru menunjukkan si tapol rajin merawat tanaman, padahal mencuri singkongnya. Masalah berikutnya bagaimana caranya membawa singkong yang sudah direbus di ladang tersebut bisa masuk ke dalam penjara untuk teman yang sakit atau yang tidak mendapat giliran bekerja di luar tembok. Tidak jarang saat pulang kerja digeledah di pintu masuk, jika ketahuan membawa makanan dari luar yang berarti mencuri, itu masalah besar. Tidak semua petugas galak, tak jarang mereka tutup mata. Kadang kami mencuri ayam atau kucing yang kami bawa ke ladang, dipotong dan dimasak, sisa-sisa tulangnya dikubur. Satu orang memasak, beberapa tapol disebar dengan jarak cukup untuk mengawasi daerah sekitarnya, memberi kode tertentu kalau ada petugas yang mendekat. Persiapan selalu diperhitungkan untuk hal-hal mendadak, karena asap api tidak mungkin disembunyikan. Di Banten aku sudah mencicipi daging ular yang lengket seperti lem sesudah dingin. Daging kucing berwarna keputihan dengan serat halus. Sutojo sudah berpengalaman menangani kucing ketika di penjara Surabaya.

Absen pagi rombongan dilepas petugas, kontrol biasanya dilakukan petugas menjelang istirahat jam 12.00 siang. Waktu kosong dari kontrol cukup panjang, cukup untuk membereskan seekor ayam sampai tinggal tulang belulang sekaligus menguburkan bekas-bekasnya. Menu lain yang populer bekicot ysng bisa kami temukan di banyak tempat terutama di ladang. Teman-teman mengolah bekicot begitu telaten dengan air kapur menghilangkan lendir, membersihkannya berulang kali baru merebusnya, lalu memberinya bumbu. Saat dihidangkan pertama aku sempat ragu, tetapi desakan perut lebih kuat. Beberapa teman meyakinkan bahwa bekicot termasuk makanan mewah di restoran di Paris. Soemartojo, tapol asal DKI yang pernah kuliah di Universitas Lomonosov, Moskwa, getol menganjurkan makan bekicot dengan menjelaskan kandungan gizinya

 

Jenderal Soeharto dan Golkar

Di Pundak Tapol

Pada suatu hari sebuah helikopter mendarat tak jauh dari penjara Karangtengah, Nusakambangan, membawa rombongan tamu dari Jakarta yang dipimpin Brigjen Soedjono Hoemardani, konon merupakan misi khusus Presiden Soeharto. Kedatangan mereka cukup merepotkan sejumlah tapol. Konon Jenderal Soedjono Hoemardani ini penasehat spiritual Presiden Soeharto dan menjadi orang kepercayaannya. Ketika itu sang utusan istimewa mengenakan pakaian adat Jawa lengkap, berkain panjang atau bebed dengan blangkon, begitu pula dengan rombongan pengiringnya. Kedatangan para tamu agung ini erat hubungannya dengan Pemilu yang akan diadakan dalam bulan Juli 1971.

Menurut para tapol yang mengantarnya, Brigjen Soedjono Hoemardani mendapat tugas dari Presiden Soeharto untuk pergi ke sebuah pulau kecil di sebelah selatan Nusakambangan, konon tempat tumbuh pohon Wijayakusuma. Untuk mencapai pulau kecil itu orang harus menyeberang dengan perahu. Nah, di sinilah tugas para tapol dalam menyukseskan Golkar dalam Pemilu. Beberapa tapol memikul perahu dari penjara Karangtengah sampai ke pantai selatan melewati hutan menempuh jarak kira-kira 8 kilometer. Hal itu hanya dapat dilakukan secara bergantian.

Apakah kunjungan ini merupakan usulan Soedjono Hoemardani atau keinginan Soeharto sendiri, hanya mereka berdua yang tahu. Menurut cerita, sejak jaman dulu raja-raja Jawa percaya jika mereka mempunyai suatu keinginan penting diutuslah seseorang ke pulau kecil ini untuk bersemedi dan berdoa sambil menantikan mekarnya bunga Wijayakusuma. Jika bunga mekar, maka keinginan sang raja akan terkabul. Presiden Soeharto yang “Raja Jawa” konon percaya akan dongeng semacam itu. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Brigjen Soedjono Hoemadani sukses melaksanakan misinya, melihat bunga Wijayakusuma mekar, ini pertanda keinginan Soeharto agar Golkar menang dalam Pemilu akan terlaksana. Kami tentu saja tidak tahu apakah benar bunga tersebut mekar karena tidak ada tapol yang ikut menyeberang. Kalau yang diseberangkan hanya seorang Soedjono Hoemardani tanpa pendamping, maka tak ada orang lain yang menjadi saksi mata. Alhasil semua harus percaya begitu saja sebagai yang dikatakan Pak Jenderal. Para tapol pengantar tidak boleh mendekati lokasi penyeberangan.

Soeharto yang seorang jenderal dan selalu mengandalkan logika dalam siasat perang dan pertempuran, dalam menghadapi Pemilu perlu juga rupanya mencari ketenangan dan kepastian pada “kesaktian” sekuntum bunga. Keesokan harinya para tamu kembali dengan helikopter ke Jakarta, perahu yang telah berjasa menyeberangkan utusan khusus presiden kembali ke Karangtengah naik pundak para tapol. Pikiran nakalku mengembang dalam benak, tak terbayang seandainya malam itu bunga Wijayakusuma tidak mengembang. Pemilu dibatalkan atau ditunda? Atau beranikah Soedjono Hoemardani melapor kepada Soeharto bunga tersebut tetap menguncup? Begitulah konon bunga mengembang artinya Pemilu akan dimenangkan Golkar. Tanpa harus mengutus Pak Brigjen, Golkar toh akan menang, berbagai cara telah ditempuh untuk itu termasuk menteror lawan-lawannya seperti sering dikeluhkan partai lain. Bentuknya bisa mencuri start kampanye, massa organisasi lain dibajak, kampanye organisasi lain dihambat dsb. Banyak hal sudah kami baca di koran, bagaimana Kokarmendagri melakukan intimidasi. Lalu pegawai negeri terkena ketentuan apa yang disebut “monoloyalitas”, hanya ada satu pilihan, mencoblos Golkar.

 



 
 
 
 
 
 

Pengetahuan Kecil dari Nusakambangan – Eka Kurniawan

Tapol termuda, pemahat patung mulut goa Nusa Kambangan – Wenri Wanhar

Di jagat seni rupa Indonesia, nama Gebar Sasmita tak asing lagi.
Pelukis beraliran realis ini adalah mantan tahanan politik (tapol) termuda
‘alumni’ Nusa Kambangan, yang juga seorang pemahat patung di mulut goa Nusa Kambangan.

Untold Story: Kisah Tapol PKI Nusakambangan No.3536

DJOKO MOERNANTYO

Kisah Pilu Pejuang ’45 Dituduh PKI, Dibui 15 Tahun diNusakambangan

Pak Sis, Burung Pos Radio Nederland – Prita Riadhini

Suharno, Mantan Tapol yang Kini Menjadi “Pahlawan” -St. Sutrisno

 
 
 
 
 

Simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

 

 
 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Bookmark and Share

Tinggalkan komentar