[Situs Genosida 1965-1966] Jejak Senyap Kekerasan Politik dan Budaya di Banyuwangi

 

 
 
 
 
Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah: Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi -Tesis Master Hanif Risa Mustafa
Kekerasan arus bawah dalam pergolakan 1965 memberikan pengaruh sosio-psikologis dan memori sosial politik yang kuat dalam masyarakat Banyuwangi. Terdapat beberapa karya musik Banyuwangi yang mencoba merekam peristiwa pergolakan 1965, seperti lagu tetese eluh karya Yons DD yang menggambarkan kesedihan akibat tindakan kekerasan yang terjadi. Sampai saat ini pengaruh dari kekerasan arus bawah mewariskan stigma kiri yang belum pudar dalam masyarakat Banyuwangi. Studi ini mengkaji secara historis kekerasan arus bawah dan warisannya pada masa pergolakan 1965 di Banyuwangi. Pembahasan difokuskan pada dua hal pokok, yaitu kekerasan dan stigma. Pertanyaan pokok penelitian ini ialah mengapa kekerasan arus bawah dalam pergolakan politik 1965 di Banyuwangi terjadi. Untuk memperoleh jawaban atas permasalahan tersebut, maka menggunakan metode sejarah. Sumber yang digunakan meliputi surat kabar, foto, dan telaah refrensi yang dipadukan dengan wawancara lisan. Temuan pada tesis ini bahwa kekerasan arus bawah (1) adalah produk elit politik lokal Banyuwangi, (2) membentuk masyarakat marjinal di Banyuwangi. Tesis ini menyimpulkan bahwa kekerasan arus bawah merupakan kekerasan terhadap kaum komunis karena adanya kepentingan politik jangka panjang NU dan Militer. Untuk mempertahankan kepentingan ini diciptakan stigma terhadap pengikut komunis dalam bentuk monumen
Abstrak, pendahuluan, kesimpulan (bagian lainnya tidak tersedia secara online)
 
 
 
 

STIGMATISASI TERHADAP TIAP JENIS SENI PERTUNJUKAN DI BANYUWANGI: DARI KREATIVITAS BUDAYA KE POLITIK

Hervina Nurullita

 

 

Merah Berpendar Di Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Tegangan Politik 1965 dan Orba – Ikwan Setiawan

 

Di balik semua dinamika kesenian dan industri budaya Banyuwangen pasca 65, menurut kami, terdapat satu realitas historis yang tidak boleh dan tidak bisa dipungkiri, yakni kontribusi para seniman/sastrawan Lekra. Lagu-lagu merekalah yang menjadi pioner dari perkembangan pesat musik Banyuwangen pada masa Orba dan menjadi inspirasi bagi para seniman masa kini. Merekalah sejatinya para pahlawan budaya bumi Blambangan, meskipun mereka tidak pernah ingin disebut pahlawan. Bolehlah rezim berusaha mematikan “Cahaya Merah” dari ‘tanah Minak Jinggo’, tapi Cahaya itu akan terus berpendar seperti Bang-bang Wetan yang terus saja menyinari sang Bumi, sebelum kiamat tiba. Meskipun, pada masa-masa kontemporer, Cahaya itu harus berhadapan dengan “rayuan manis” para pemodal yang semakin perkasa. (dipetik dari Bagian 4 artikel ini]
 

Menara Ingatan

 

“Kakek saya hilang menjadi korban tragedi 65” ungkap Yennu Ariendra membuka pertunjukan. Dari atas panggung, seniman kelahiran Banyuwangi itu tampak memiliki keberanian penuh dalam mengisahkan narasi personal dan domestik. Pada 1968, kakeknya yang diisukan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dijemput 2 orang tentara dan tidak pernah kembali lagi. Peristiwa sejarah kelam dan penghilangan paksa ini, dahulunya “tabu” untuk dibicarakan apalagi kembali diperistiwakan. “Keluarga tertutup dan sensitif. Tapi itu justru membuat saya penasaran,” tuturnya.
Kisah Yennu di atas menjadi penanda awal peristiwa panggung sekaligus gagasan pijakan pertunjukan. Sejak tahun 2008, ia menggali tema sejarah kelam Indonesia ini sebagai di dalam proyek musik kontemporer. Baru kali ini ia berani menguak dan menghidupkan ingatan-ingatan kelam tersebut.”
 
Berpijak dari penggalian sejarah kelam di Indonesia, memungut dan mengumpulkan memori yang berserak di ujung timur Pulau Jawa melalui “Menara Ingatan”. Semangat Gandrung lambang ketegaran yang tiada pernah pupus, menjadi jiwanya…
 
 
menara ingatan
 

Play List Video Musik Youtube – Menara Ingatan

 

 
 
 

Saya terperanjat, sebab lagu yang saya nyanyikan bertahun-tahun lalu baru menyingkap rahasianya. Empat tahun sudah lewat sejak saya pertama berkenalan dengan lagu Podho Nginang, dan kali ini ia kembali mengganggu tidur saya.

Kotak arsip saya bongkar, partitur aransemen saya baca ulang. Lirik lagu tersebut makin menguatkan dugaan saya. Jelas, lagu itu tak ditulis pada masa penjajahan atau sebelumnya, melainkan pada masa “revolusi yang belum usai”.

Di ujung telepon, Yanu Kristiono tertawa kencang. Guru musik saya semasa SMA itu membenarkan dugaan saya. Ia juga sempat mendengar bahwa lagu yang ia temukan secara tidak sengaja itu memang dianggap sepaket dengan Genjer-Genjer – karya komponis Muhammad Arief yang ditulis pada masa pendudukan Jepang dan dibredel karena dianggap lekat dengan citra Partai Komunis Indonesia (PKI)


 

 

 

 
Podho Nginang mulai menit 7

‘Dance of the Missing Body’ : Mengenali Tubuh Menari dan Sejarah Kekerasan

 

Seperti halnya dengan Yennu Ariendra, Rachmi Diyah Larasati lahir dan tumbuh di Banyuwangi dalam lingkungan Islam NU di Banyuwangi. Rachmi mengalami kehilangan orang-orang yang dicintainya karena tuduhan terlibat PKI. Seorang tantenya juga dikenakan wajib lapor. Dyah yang belajar teknik tari dari neneknya juga mendengar kisah neneknya tentang apa yang terjadi di lingkungannya tentang teman-temannya penari neneknya yang berbagi teknik ini yang kemudian dihilangkan dalam peristiwa genosida 65 ini. Sehingga kemudian dalam karier akademik dan kerja kreatifnya sebagai koreografer dan penari memori itu terus membayangi dan mewarnai perjalanannya.
 

“Dancing the Violent Body of Sound” by Diyah Larasati  (choreographer and cultural theorist)  and Guerino Mazzola  (free-jazz pianist/composer and mathematician)

 

 
sila simak lebih lanjut di
 
 
 
 
 
simak pula
 

 

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

 

 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

 
14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
Bookmark and Share
 
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
 
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
 
 

Tinggalkan komentar