Memahami Akar Masalah Dari Kekinian, dan Masa Lalu yang Dicincang & Dilupakan.. , Tentang Buku Ariel Heryanto “Identitas dan Kenikmatan; politik budaya layar Indonesia”

“Kekuatan buku ini adalah kajian lintas disiplin yang cair, yang dapat mengaitkan hal-hal yang tak terlihat berkaitan, seperti K-Pop dengan identitas Tionghoa dan gaya hidup islami, representasi kekerasan 1965 dengan premanisme dan tatanan politik formal. Buku ini menjawab kebutuhan akan pemahaman yang lebih kompleks tentang politik identitas dan budaya populer di Indonesia sesudah Reformasi. Buku ini perlu dibaca oleh mahasiswa, ilmuwan, dan pegiat budaya di bidang kajian budaya, kajian Indonesia, dan kajian Asia Tenggara. (Profesor Melani Budianta, Universitas Indonesia)

 

 

IdentitasdanKenikmatan-207x300

Sumber foto dan info buku simak : gramedia

https://ebooks.gramedia.com/books/identitas-dan-kenikmatan?buffet=1

 

****

 

“Apa yang kita temukan di buku ini bukan sekadar pembahasan perihal kekinian. Namun, kekinian itu dicari akar permasalahannya hingga jauh ke belakang, bahkan hingga masa sebelum kemerdekaan. Indonesia sebagai sebuah proyek yang belum selesai, menyitir Bennedict Anderson, benar-benar tampak pada buku ini.”Berto Tukan, “Mencerna Keindonesiaan via Budaya Populer”, Jawa Pos, 12/07/2015.

 

“Buku karya Ariel Heryanto ini mengangkat hal-hal yang luput dari perhatian dunia akademik itu. Lebih dari itu, isu-isu tersebut dibahas dengan pendekatan transdisipliner dan dikontekstualisasikan secara historis—tanpa berpretensi menulis sejarah—sedemikian rupa, sehingga berbagai fenomena mutakhir yang seakan-akan tidak ada presedennya pun menjadi bisa dijelaskan.”Dr Budiawan, “Budaya Layar dan Politik Identitas; Kaum Muda Urban Pasca-Soeharto”, Prisma, 34 (1), 2015: 124-127.

Tidak banyak yang mau mengakui bahwa patahan sejarah paling penting dalam jatuh-bangun Indonesia sebagai negara hadir pada peristiwa 1965. Buku Identitas & Kenikmatan menerangkan bahwa kita tidak akan kemana-mana sampai kita selesai dengan peristiwa pembantaian komunis dan terduga komunis tersebut.

Peristiwa September 1965 menjadi kunci penting di dalam sejarah Indonesia. Sulit membayangkan semua hal yang dapat terjadi hari ini tanpa mengingat lagi bagaimana peristiwa berdarah itu hadir. Bagaimanapun juga, politik identitas yang dibangun oleh Orde Baru berdiri di atas tulang belulang korban 1965 tersebut. Penolakan terhadap berbagai gerakan politik Kiri, penindasan etnis Tionghoa yang bertahun-tahun jadi kambing hitam, pada akhirnya bermuara ke satu peristiwa penting yang belum diselesaikan hingga sekarang. Ada sejarah yang vakum ketika bangun identitas Orde Baru itu runtuh, tapi kita tidak juga melihat kembali ke masa lalu, khususnya di peristiwa 1965. Akibatnya, jangan terlalu kaget melihat anak-anak muda zaman sekarang masih bisa mengglorifikasi Soeharto walau ia tidak lahir di zaman tersebut, atau ketika PKI yang sudah mati 50 tahun masih saja dinistakan jadi biang keladi gunung berapi meletus. Puing-puing Orde Baru yang tersisa masih dipungut secara tidak sadar oleh masyarakat (atau bisa saja secara sadar, untuk kepentingan tertentu).

Meskipun demikian, Ariel dalam bab Masa Lalu yang Dicincang dan Dilupakan tidak terlalu menyalahkan generasi muda yang tampak tidak tertarik dengan sejarah tersebut (dan dengan demikian justru melegitimasi narasi sejarah Orba). Menurutnya, selain itu luka dan masih simpang siur, tidak ada alasan khusus generasi muda harus secara masal tertarik kepada peristiwa 1965 (hlm. 135, 137).

Dalam kancah budaya layar seperti film, sebenarnya sudah banyak yang berusaha menandingi sejarah ‘resmi’ Orde Baru mengenai 1965. Misalnya film Pengkhianatan G30S/PKI. Hanya saja, masih ada usaha untuk melakukan ‘pelurusan’ narasi, atau klaim ulang atas sejarah Orde Baru oleh elit-elit politik dengan menyebarkan lagi ide-ide usang mengenai kejahatan PKI, dan lain sebagainya. Alasannya sederhana, toh tidak ada unsur yang benar-benar berganti di tampuk kepemimpinan elit politik saat ini (hlm. 125). Dengan demikian, yang terjadi justru adalah usaha elit politik untuk mempertahankan status quo yang bisa jadi cemas atau takut atas usaha menggugat narasi sejarah yang diproduksi Orde Baru (hlm. 126).

selengkapnya Menikmati Identitas, Mengidentifikasi Kenikmatan – Perdana Putri

 

Resensi Buku Ariel Heryanto – Identitas & Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia

 

 

 

Resensi buku Identitas dan Kenikmatan; politik budaya layar Indonesia

, terjemahan Eric Sasono, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015 (cetakan kedua 2015, cetakan ketiga 2018).

https://arielheryanto.com/2016/03/04/resensi-identitas-dan-kenikmatan-politik-budaya-layar-indonesia/

 

 

Simak pula kumpulan tinjauan buku edisi Bahasa Inggris buku ini : Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture, Singapore and Kyoto: NUS Press and Kyoto CSEAS Series on Asian Studies, 2014.

https://arielheryanto.com/2016/03/04/review-of-identity-and-pleasure/

simak pula

Artikel-artikel (Kajian) Ariel Heryanto Tentang Genosida 1965-1966 – Ariel Heryanto Articles on Indonesian Genocide/Massacre 1965-1966 

KULIAH ARIEL HERYANTO : GERAKAN GLOBAL KIRI DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN RI

simak 1500 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar