Kesaksian Pipit Rochijat dan Narasi Novel S Jai “Kumara : Kisah Sang Kekasih” Seputar Pembunuhan Massal 1965-66 di Lingkungan Pabrik Gula Ngadirejo – Kediri

AM I PKI OR NON-PKI? Pipit Rochijat

(Translated with an Afterword by Ben Anderson)

Saya PKI atau Bukan PKI? Pipit Rochijat

Pipit Rochijat menulis kesaksian pribadi ketika peristiwa pembunuhan massal terjadi di Kediri melalui “Saya PKI Atau Bukan PKI?!“ dimuat dalam majalah „Gotong Royong,“ Maret 1984, yang diterbitkan oleh PPI Berlin, Jerman Barat. Dan kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Inggris lalu dimuat di majalah „Indonesia“ terbitan Cornell. Wawancara oleh redaksi kerja budaya berikut mencoba menggali lebih jauh kesaksian tersebut

 

Wawancara : Pipit Rochijat tentang pembunuhan Massal 1965

*saksi mata pembunuhan massal di Kediri

 

DIALOG INTISARI – KEMANUSIAAN SAAT GEGER 1965

 

kumaracover-359x500 (1)

3dfcc-252c252c252c.jpg

 

 

 

S Jai Menangi Lomba Novel Etnografis

beritajatim.com 22 Mei 2013

 

Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang ditempuhnya itu, lanjut Jai, dirinya mengumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah. Atau setidaknya berlanjut dalam kontroversi. Yakni sejarah kelam 1965, misalnya.

“Pada novel saya ini, saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut. Melainkan, saya bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak, apalagi mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya,” tandas pria yang beberapa saat lalu juga memenangkan sayembara Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang.

*********

……maka Kumaradari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta.

Sebagai sebuah karya yang saya maksudkan selaku biografi, saya berutang budi, pikiran dan hati pada seseorang: Pipit Rochijat—seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat—yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-surat saya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan saya menulis cerita ini.

Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu saya telisik untuk memperkaya tulisan saya. Bahkan melalui beliau saya mendapatkan transkrip wawancara Arief W Djati—dan oleh sebab itu saya berterimakasih pada intelektual ini—dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri. Hanya saja, sebagai sumber dari inpirasi, saya musti berterimakasih kepada banyak orang lagi yang memberikan perjalanan hidupnya itu pada saya.

Terakhir, sebagai sebuah karya sastra, pada Kumara tidak ada pesan dari saya. Soal pesan dan kesan itu saya pasrahkan nantinya pada pembaca. Saya hanya bisa katakan, Kumara ditulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia. []

 

Selengkapnya Tentang “Kumara”, Karya Saya yang Memenangi Sayembara Novel Etnografis Itu

 

 

wawancara

  1. Jai, Pemenang Sayembara Novel Etnografis:

“Saya Hanya Bercerita, Tanpa Bumbu Peri Kemanusiaan”

(Sumber: Majalah Alur, DKS edisi 011/ September 2013)

 

Sebelum menulis tentu Anda lebih dulu riset. Mengapa tokoh-tokoh Anda ini Anda anggap penting?

Ya. Sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—saya banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang. Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja, atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya.  Mereka adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional. Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka—termasuk oleh Geertz.

selengkapnya http://www.watchindonesia.org/

simak 1800 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

 

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar