cover foto disalin dari artikel BBC Indonesia G30S: Cerita penyintas 1965 yang ‘diasingkan’ di kamp khusus tapol perempuan Plantungan, ironi ‘hidup di alam bebas tapi terkungkung kawat berduri’ (dari arsip Sri Nasti Rukmawati – Putri Mia Bustam)
10 orang diantaranya Dra. Bra. Murtiningrum Ny. Sutanto, Mia Bustam, Sumarni, Roswati, Kusna, dr. Sumiyarsi Siwirini C, Christina Sumarmiyati, Rusiyati, Nurtjahja Murad.
Tempat bagi Mereka yang Dianggap Keras Kepala – serat.id
Tercatat 45 orang yang dianggap susah dibina, kembali ditahan di penjara Bulu
Adapun Mamik merasa lega ketika ditahan di penjara Bulu karena mayoritas penjaganya merupakan wanita. “Hal ini tentu saja ada segi positifnya. Di sana tidak ada lagi pemerkosaaan yang dilakukan oleh oknum-oknum militer laki-laki, sehingga kami bisa merasa lega. Kami terlepas dari rasa takut dihamili,” tulis Antonius Sigit Suryanto
Mamik mengisahkan bahwa ceramah atau indoktrinasi yang didengarkannya pada intinya berisi seruan “Bertobalah dari hidup sebagai seorang pemberontak, pelacur, atheis dan perusak rumah tangga orang,” tulis Antonius Sigit Suryanto.
Pak P turun dari mes dan mengambil tempat berdiri dihadapan kami. Lalu ia mengucapkan pidato singkat.
“Kami para pembimbing Ibu-ibu,” katanya, “telah berusaha sekeras-kerasnya untuk memperbaiki dan mengubah mental Ibu-ibu. Namun rupanya usaha itu tidak berhasi. Ibu-ibu masih tetap dihingagapi pikiran-pikiran sesat dan bersikap tidak sesuai dengan Pancasila”.
Pikirku sambil mencibir dalam hati, “Huh, bisa-bisanya dia omong tentang Pancasila! Bagaimana sikap dan kelakukannya sendiri?!”.
Lanjut Pak P, “Maka dengan terpaksa kami memisahkan Ibu-ibu dari yang lain, agar tidak bisa mempengaruhi mereka yang masih bisa diperbaiki.”
Kami tidak terharu, tidak pula sedih. Malah merasa lega dan gembira. Ke mana pun kami akan dibuanga, mati kami tidak sepet lagi melihat ulah komandan dan para cecunguknya.”
dari Memoar Ketiga Mia Bustam – Dari Kamp ke Kamp (halaman 310)
Untuk ke dua kalinya penjara pengasingan Plantungan dikunjungi oleh tamu asing dan kali ini kunjungan dari seorang Dokter sebagai wakil dari International Red Cross. Namanya saya lupa walaupun pada waktu itu saya diijinkan hadir dalam pertemuan dengannya. Pertemuan diadakan di ruang tamu-besar, dan yang hadir tidak hanya kami bersama dokter tersebut tapi juga komandan Mayor Prayogo beserta para petugas lainnya. Selama dalam pertemuan bapak komandan dan para petugasnya duduk terpisah tapi tidak berjauhan dengan kami. Sepertinya komandan tersebut memberikan kelonggaran kapada kami yang duduk bergabung dengan tamunya. Dalam percakapan antara kami diawali dengan pembicaraan secara umum tapi dia juga menanyakan mengenai beberapa kebutuhan se hari-hari, seperti obat-obatan, kasur, sendal dan lain-lain yang pernah dikirimkannya. Memang kami menjawab dengan jujur dan seadanya bahwa kami belum menerima kiriman-kiriman tersebut. Selanjutnya suasana pertemuan tetap santai dan kadang-kadang kami tertawa sukaria.
Satu hari setelah kunjungan pertemuan, bapak komandan menunjukan sikap tidak senang terhadap kami bahkan kadang menunjukan sikap marahnya. Kami mulai merasa bahwa hasil pertemuannya rupanya tidak memberi kepuasan terhadapnya. Tiba tiba dia mengadakan pengontrolan ke semua blok. Sa’at beliau mendatangi dokter Sumiarsih, terlihat menunjukan sikap marahnya. Bapak komandan langsung mengeluarkan peringatan-peringatan keras, serta menuduh Dokter Sumiarsih memberi pernyataan hal-hal tidak benar kepada tamunya. Setelah itu kami dipanggil untuk berkumpul di Aula, dan di tempat itu bapak komandan masih tetap mencurahkan kemarahannya kepada kami. Sekali lagi dengan nada kemarahannya dia menuduh dr. Sumiarsih, dra. Murtiningroem dan saya yang berasal dari Jakarta sebagai dalang memberi informasi tidak benar kapada wakil International Red Cross. Selanjutnya dinyatakan bahwa ada keputusan mengenai pemindahan sebanyak 45 orang ke penjara Bulu-Semarang.
disalin dari Wawancara dengan Ibu Rusiyati – Oleh Kerry Brogan Disunting oleh MiRa
Sejak 1975, para tapol menjalani tes psikologi untuk memeriksa kadar ideologi mereka. Ada tujuh level screening, kata Amur*, untuk melihat kemampuan para tapol beradaptasi atau mengubah pemahaman mereka dari “pemahaman ekstrem kiri ke pemahaman ideologi Pancasila”.
(* Amurwani Dwi Lestariningsih)
Ia menuturkan, dalam tes psikologi yang dilakukan pada 1976, ada 45 tapol perempuan yang digolongkan sebagai “die hard” dan dilabeli sebagai “K”.
“Die hard itu masih memegang paham yang kental, ideologinya masih ideologi kiri. Jadi 45 orang itu diedukasi lagi, mereka dipindahkan, tidak lagi di Plantungan tapi di Penjara Bulu di Semarang.”
Saskia Wieringa, antropolog Universitas Amsterdam di Belanda yang telah puluhan tahun meneliti tentang Peristiwa 65, mengatakan tes psikologi yang dilakukan di Plantungan dan Pulau Buru, tak ubahnya seperti yang dilakukan terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK).
“Mereka dites, mereka diindoktrinasi supaya mereka tidak menjadi kelompok kiri lagi, tapi menjadi Pancasilais dan pendukung Soeharto.”
“Itu tes sampai sekarang masih digunakan, umpamanya di dalam proses-proses KPK. Tes dalam KPK itu mereka belajar dari tes yang diadakan di dalam indoktrinasi di Pulau Buru, di semua kamp pengasingan,” ujar Saskia.

Dalam menghadapi tugas-tugas pengamanan Pemilu 1977, 45 orang yang digolongkan sebagai kelompok diehard tersebut perlu direlokasikan ke Inrehab Bulu di Semarang untuk pembinaan lebih lanjut. Pada 20 Desember 1976, mereka yang dianggap sebagai kelompok ‘diehard’ dipindahkan ke Penjara Bulu Semarang. Mereka yang masuk kelompok antara lain adalah Ny. Sutanto, mantan angoota MPRS; Dr. Sumiyarsi, yang dikenal sebagai ‘dokter Lubang Buaya”; Mia Bustam, ahli dekorasi, pelukis, ahli tulis indah dengan tinta emas; Sumarni, anggota DPR dari Cilacap; Roswati, wartawan istana; dan Kusna, anggota Serikat Buruh Unilever. Laporan menyebutkan bahwa ke-45 orang ini merupakan tahanan politik yang keras kepala. Mereka juga dinggap berbahaya, yaitu suka memceah belah, membuat keributan dan tidak kooperatif.
disalin dari buku Sejarah Gerwani: Kisah Tapol Wanita Dari Kamp Plantungan – Amurwani Dwi Lestariningsih (halaman 258)

selengkapnya kujungi link ini Amnesty International Prisoners of the the Month
berikut adalah kompilasi kisah-kisah hidup beberapa TAPOL ‘diehard’
Mia Bustam Dari Kamp ke Kamp : Sebongkah Ingatan di Punggung Gelombang*
Plantungan – Pembuangan Tapol Perempuan : Kisah dr. Sumiyarsi Siwirini C Yang Dituduh (Difitnah) Sebagai ‘Dokter Lubang Buaya’
Plantungan – Pembuangan Tapol Perempuan : Kisah dr. Sumiyarsi Siwirini C Yang Dituduh (Difitnah) Sebagai ‘Dokter Lubang Buaya’
Taman Bunga Plantungan : Kisah Rusiyati Wartawan Kantor Berita Antara Yang di-TAPOL-kan Selama 13 Tahun *Penjara Bukit Duri – Kamp Plantungan – Penjara Bulu
Perempuan Yang Tertuduh : Kisah Christina Sumarmiyati * Penyintas ’65 Yang Tak Kunjung Meraih Keadilan (Ibu Mamik)
tentang Dra. Bra. Murtiningrum periksa Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan -historia.id
simak pula
Penghancuran Gerakan Perempuan, Orde Baru dan Historiografi Sejarah Perempuan
Penghancuran Gerakan Perempuan, Orde Baru dan Historiografi Sejarah Perempuan
Melawan Lupa – Penghancuran Gerakan Perempuan, Kemunculan Orde Baru, dan Pemasungan Gerakan Perempuan Pada Masa Orde Baru
Melawan Lupa – Penghancuran Gerakan Perempuan, Kemunculan Orde Baru, dan Pemasungan Gerakan Perempuan Pada Masa Orde Baru
Fitnah dan Dusta Keji di Balik Legenda Lubang Buaya (dan GERWANI sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan) I Genosida 1965-1966
Fitnah dan Dusta Keji di Balik Legenda Lubang Buaya (dan GERWANI sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan) I Genosida 1965-1966
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)