klik DATA DETIL : KONFLIK LAHAN DI PADANG HALABAN
Berdasarkan “Kronologi Konflik Tanah Padang Halaban” yang diterbitkan ELSAM, pada tahun 1965, petani yang menggarap tanah di Padang Halaban dituduh sebagai anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi tani yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebanyak 119 orang tokoh desa yang dituduh terlibat BTI itu kemudian dihilangkan oleh TNI. Setelah itu, tanah diambil TNI dan berangsur-angsur berpindah tangan kepada Plantagen Aktiengeschlischaft (Plantagen AG).
Pada tahun 1968, Rasyim dan warga desa dikumpulkan di balai agung (sekarang disebut balai desa). Warga disuruh menyerahkan surat KTPPT dengan alasan akan diperbarui. Ternyata, setelah surat-surat itu diserahkan, warga diusir dari tanah yang mereka kuasai. Warga yang melawan, atau menolak menyerahkan surat KTPPT, akan dilabeli anggota BTI atau simpatisan PKI agar tindakan represif terhadap mereka mendapat pembenaran. Tahun itu juga terjadi proses tawar-menawar ganti rugi tanah, karena tanah akan dijadikan perkebunan karet dan sawit oleh perusahaan Plantagen AG. Proses ini tidak disepakati seluruh warga. Akhirnya proses ganti rugi dipaksakan dengan todongan senapan tentara.
Upaya penggusuran dan pengusiran mendapat perlawanan dan protes dari warga setempat. Protes dan perlawanan itu berhenti sekitar tahun 1972, sejak rezim Orde Baru semakin kuat dan represif. Ikatan Korban Hilang (IKOHI) Sumatera Utara melaporkan bahwa terjadi intimidasi todongan senjata api laras panjang, pembunuhan, dan penghilangan orang secara paksa, selama periode 1969-1970. Komnas HAM pun menyebutkan, terjadi pelanggaran HAM berat yang dialami warga Padang Halaban, Labuhanbatu Utara. Sedangkan ELSAM melaporkan bahwa selama 1969-1972, terjadi penggusuran atas enam desa. Warga setempat direlokasi paksa dan dikonsentrasikan di area yang lebih sempit. Perkampungan di enam desa yang semula memiliki luas 3000 ha, diperkecil menjadi hanya 100 ha.

“Ketika peristiwa G 30 S itu terjadi tahun 1965. Aku masih SMA dan berumur 16 tahun. Masku bernama Salam diculik dan dua kakakku Sanaah dan Yusniati dipenjara. Dua suaminya hilang karena diculik. Bahkan kampungku di Padang Halaban, Labuhan Batu diratakan oleh negara,” katanya di Medan belum lama ini.
….
Tidak hanya Salam, abangnya, sedikit ada 98 orang hilang dari desa. Bahkan, ada ratusan orang ditahan lantaran terlibat dalam organisasi sayap PKI.
“Kedua kakaku ditahap dari tahun1965 hingga 1977. Ketika itu Sanaah kakak tertuaku berumur 35 tahun dan Yusniati masih berumur 30 tahun. Dulu organisasi sah-sah saja,” ujarnya
Ia cerita, Salam abang kandungnya dijemput tengah malam oleh belasan tentara. Kemudian menjalani kurungan penjara di Perkebunan Paninggoran, Labuhan Batu
“Aku pernah liat ketika antar nasi untuknya di Penjara Perkebunan Paninggoran, muka ya tidak karuan. Masku berbisik, bilang aku lebih baik mati, enggak tahan disiksa. Masku masih sangat muda punya anak satu. Disiksa habis-habisan,” katanya.
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com dengan judul Kumis Kehilangan Kampung Halaman yang Diratakan Pemerintahan Soeharto
simak Memoar Adi Suwardi alias Adi Kumis yang ditulisakan Astaman Hasibuan Emakku Sayang, Emakku Malang
*padang halaban disebutkan sebanyak 48 kali dalam memoar ini
Hantu-hantu Komunis dan Desa Yang Hilang : Puisi-puisi Astaman Hasibuan Dari Padang Halaban
Hantu-hantu Komunis dan Desa Yang Hilang : Puisi-puisi Astaman Hasibuan Dari Padang Halaban
mem-PKI-kan petani merampas tanah
Mencari Desa Hilang di Padang Halaban – Mongabay Indonesia
Namun pada 1968, mulailah terjadi rekayasa dari orang-orang tidak bertanggungjawab. Orang-orang itu menyebutkan tanah yang selama puluhan tahun dikuasai masyarakat berdasarkan surat pengakuan negara melalui KRPPT, akan diduduki sang pemilik. Dia dan warga desa dikumpulkan di balai agung–saat ini dikenal dengan balai desa–, sambil membawa surat KRRPT. Surat itu dikumpulkan, dengan alasan diperbaharui. Mereka ditipu. Setelah surat diambil, mereka diusir dan tanah. Siapa yang melakukan perlawanan, dianggap pemberontak negara dan dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Kalau gak mau kasih surat tanah itu, kita dianggap orang PKI. Gak ada yang berani, karena kalau melawan, akan digorok sampai mati, ” kata Mbah Rasyim, mengenang seraya menahan air mata. Tanaman mereka dirusak. Rumah dihancurkan.
Setidaknya ada 3.000 hektar lahan direbut, diambil paksa, dan diberikan pada perusahaan perkebunan dikenal bernama Plantagen AG (Plantagen Aktiengeschlischaft), saat ini menjadi milik PT Smart Tbk, grup Sinar Mas.
Cerita serupa disampaikan Syamsiah (76). Menurut dia, polisi dan tentara mengawal penghancuran rumah dan perusakan lahan yang sudah ditanamani palawija. Bulldozer merobohkan rumah. Ladang jagung, padi, dan tebu, juga hancur. Dia punya sekitar tiga hektar.
simak pula

unduh Penghilangan Paksa dan Kehancuran Organisasi Buruh Perkebunan Sumatera Utara 1965-1967 dalam buku Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia
[Situs Genosida] Jejak Jagal dan Suara Senyap Genosida Politik 1965-1966 di Sumatera Utara
[Situs Genosida] Jejak Jagal dan Suara Senyap Genosida Politik 1965-1966 di Sumatera Utara
Mem-PKI-kan Petani, Menjarah Tanah : Kekerasan dan Perampasan Tanah Pasca (Genosida) 1965-1966
Mem-PKI-kan Petani, Menjarah Tanah : Kekerasan dan Perampasan Tanah Pasca (Genosida) 1965-1966