Jejak Solidaritas dan Persahabatan Presiden Yayasan France Libertes Danielle Mitterrand (istri mantan Presiden Perancis Francois-Mitterand) Dengan Eksil dan Tapol ‘1965’

simak sosoknya wikipedia Danielle Émilienne Isabelle Mitterrand (née Gouze; 29 October 1924 – 22 November 2011)

simak selengkapnya PESAN MADAME DANIELLE MITTERRAND KEPADA IBU SULAMI (KETUA YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 65/66)

foto-foto dari dokumentasi YPKP 65

Kali Simping, Orang Kampung dan Mdm Francois-Mitterand…..

Tak pernah terbayangkan sebelumnya sungai dekat desa tempat masa kecil saya dikunjungi mantan Ibu Negara Perancis, Ny. Danielle Mitterand. Ia bersama beberapa aktivis HAM mengunjungi sungai itu pada 2 Februari 1999, delapan bulan setelah lengsernya Suharto menyusul aksi demonstrasi mahasiswa dan aksi pembantaian barbau rasial di sejumlah kota besar di Indonesia. Kelompok lain yang hadir bersama mereka adalah puluhan mantan TAPOL peristiwa 1965.

Sungai itu bernama Kali Simping, yang berhulu di kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah. Kali Simping mengalir dari utara ke arah selatan, bertemu dengan sebuah sungai besar, Kali Dèngkèng, di sebelah selatan Kabupaten Klaten…….

*****

Apa yang menarik untuk dicatat dalam kaitannya dengan pertanyan para rombongan tentang ―apa yang terjadi di Kali Simping pada 1965-1966 – adalah testimoni Suyitno pada bulan-bulan awal penahanannya di Klaten, sebuah kota yang berada dia antara Yogyakarta dan Surakarta, atau hanya berjarak 10 km dari jembatan itu. Dia bercerita bahwa setiap malam beberapa tahanan politik diminta meninggalkan sel dan tidak pernah kembali lagi. 

Rumor yang beredar di kalangan para tahanan adalah mereka dibunuh di suatu tempat di luar kota. Menurut apa yang dia dengar, Kali Simping merupakan salah satu ladang pembantaian para tahanan politik itu.

*****

Sembari mendengar pengakuan itu, para rombongan, termasuk Ny, Mitterand dan rekan-rekannya dari Perancis, yang mengerti jalan cerita lewat terjemahan lisan seorang eksil politik Indonesia yang telah berstatus warga negara Perancis, yaitu Bpk. Umar Said (atau André Aumar, nama Perancisnya), terlihat antara “percaya dan tidak percaya”. Mereka percaya kisah tadi benar secara faktual, tapi tidak percaya bahwa di Indonesia pernah terjadi sebuah tragedi masa lalu yang berdarah semacam itu. Kini mereka baru sadar itu merupakan masa lalu yang terlupakan, tidak seperti kasus di Kamboja selama Rejim Pol Pot berkuasa. Di sana, masa lalu yang berdarah itu telah dituangkan dalam ratusan buku dan artikel. (Alasannya sudah jelas: dalam kasus Indonesia, para korban adalah orang-orang komunis, atau siapa saja yang bisa jadi punya hubungan dengan organisasi-organisasi komunis; sedangkan untuk kasus Kamboja, orang-orang komunis justru merupakan pelaku. Jadi, dari sini bisa diduga, pengungkapan kekejaman yang terjadi di Kamboja merupakan bagian dari propaganda anti-komunis yang ditebar Barat, sementara bungkamnya masyarakat Barat terhadap kasus yang sama di Indonesia mungkin karena mereka diam-diam menyetujui pembantaian itu).

Saya tidak tahu apa yang ada dalam benak rombongan dari luar negeri itu, yakni Ny. Mitterand dan rekan-rekannya, ketika mereka kembali pulang setelah mengunjungi Kali Simping. Saya dan kawan-kawan sedesa juga tidak berharap banyak dari kunjungan mereka itu. Tetapi, kami harus berterimakasih karena kunjungan mereka telah mendorong kami “untuk mulai mengingat:: melihat masa lalu Indonesia dari desa kami. Dengan demikian, paling tidak kami telah membangun-ulang narasi sejarah “nasional” dari “bawah”. Narasi boleh jadi berbeda, dalam artian tidak merepresentasikan pengalaman-pengalaman hidup kami, jika orang beralih posisi. 

Mengutip istilah dalam literatur poskolonial, rekan-rekan sedesa saya di atas telah menulis sejarah “dari pinggir”. Meski begitu, manakala setiap orang membangun klaim semacam itu, lantas pertanyaan yang muncul: dimanakah “pusat”-nya? 

simak selengkapnya

MENILIK MASA LALU INDONESIA DARI DESA: SEBUAH LAPORAN NARATIF – Budiawan

artikel  asli  Seeing the Indonesia‟s past from my village: A narrative report – Budiawan

Non-commercial filmmakers, meanwhile, have generally been motivated by direct interactions with survivors or human rights activists, and supported by cinema communities. Lexy Rambadetta, the director of Mass Grave (2001), has concentrated on social justice issues—especially the 1965/66 tragedy—since the fall of Soeharto; he learned of the opportunity to record the exhumation of PKI followers’ bodies in Kebumen, Central Java, after meeting some former members of Gerwani (a women’s organisation associated with PKI). According to Lexy, the issue of 1965/66 remained sensitive in the early 2000s. However, many survivors began asserting their identities. Lexy met Sulami, Sulastri, Sumarni, and Putmainah—all survivors of 1965/66—as well as several former Gerwani members. Through conversations with them as well as some feminists, he learned to criticise the singular truth of 1965/66 (and patriarchal culture in general) and that Gerwani had never performed the ‘Dance of Fragrant Flowers’ (Tarian Harum Bunga). Learning of an exhumation from Sulami, he travelled to Kaliwiro Village, in Wonosobo, Central Java, to record the process.23

According to Lexy, this exhumation was sponsored by Danielle Gouze, the wife of former French President Francois Mitterrand.24

24 Interview with Lexy Rambadetta, 30 May 2018.

disalin dari The Treachery on YouTube: The Politics of Memory on New Media in Indonesia – Gilang Desti Parahita and Vissia Ita Yulianti klik https://doi.org/10.4000/archipel.1677

Film Dokumenter Mass Grave, Digging Up The Cruelties (An Indonesia’s Forgotten Barbarism) – Penggalian Kuburan Massal Wonosobo

Galeri Foto : Mass Graves – Location : Hutan Situkup, Kampung Dempes, Kaliwiro, Wonosobo

dua kisah dari penggalian kuburan massal Wonosobo

Sri Muhayati (Moehajati) Penyintas ’65, Sang Pemenang Kehidupan…….

Kisah Ibnu Santoro Dosen Ekonomi Universitas Gajah Mada Lulusan Universitas Winconsin Yang Dieksekusi dan Dikuburkan di Kuburan Massal Situngkup Wonosobo

Dalam jangka lama sekali Umar Said menjalin hubungan yang erat dengan organisasi France Libertés, yang dipimpin Madame Danielle MITTERRAND, yang telah mengadakan pertemuan dengan Pramoedya Ananta Toer dan Joesoef Isak, dan ibu Sulami dari YPKP di Paris.

Dalam tahun 2000 Umar Said ikut dalam delegasi Madame Danielle MITTERRAND yang berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri pertemuan di Tangerang  dengan banyak eks-tapol yang berdatangan dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan NTT. Delegasi ini juga menemui para eks-tapol di Jogya.

Selama 37 tahun di Paris Umar Said sering ikut dalam bermacam-macam kegiatan dari berbagai golongan  (Prancis dan bukan Prancis) yang bergerak di bidang HAM, untuk membela demokrasi dan untuk kebebasan. Selama bertahun-tahun ia memelopori ikut sertanya stand Indonesia dalam Fête de l’Humanité, pesta besar tiap tahun yang diselenggarakan oleh Partai Komunis Prancis, untuk menyuarakan perlawanan terhadap rejim militer Suharto.

Tentunya, semuanya ini banyak sedikitnya juga diketahui oleh sejumlah  tokoh di Prancis, termasuk pejabat-pejabat tinggi  yang dari golongan kiri dan sosialis ( yang duduk dalam pemerintahan). Namun, bahwa Umar Said sejak lama berhaluan politik kiri dan penentang rejim militer Suharto tidaklah merupakan halangan baginya (bersama istrinya) untuk diundang untuk malam musik dan jamuan makan  di Istana Elysee yang dihadiri oleh ratusan orang yang dianggap sahabat. Waktu itu hanya Umar Said dan istrinya adalah orang Asia yang kelihatan di antara para undangan. 

Bagi Umar Said, sebagai salah satu dari begitu banyak korban rejim militer Suharto,  peristiwa ini merupakan indikasi bahwa,  pada dasarnya, sebenarnya pemerintahan di bawah Presiden MITTERAND bersama tokoh-tokohnya mempunyai simpati terhadap golongan kiri yang menjadi korban dari berbagai politik rejim militer di bawah Suharto. Sikap tokoh-tokoh tinggi golongan sosialis terhadap Umar Said selama puluhan tahun merupakan bukti tentang fenomena ini.

dipetik dari Latar belakang mengapa Umar Said dianugerahi Medali Kota Paris

Lalu sampailah kesalah satu peristiwa paling penting di restoran itu,  mengisi dan berkomentar di buku tamu. Bung Umar Said mengambil buku tamu dan menunjukan daftar tamu yang pernah berkunjung selama beberapa tahun terakhir sejak restoran berdiri. Saya diperlihatkan berbagai komentar dari para tamu yang beberapa di antaranya adalah tokoh-tokoh penting. Lalu ia  berhenti pada sebuah nama, Danielle Mitterrand, istri PM Perancis Francois Mitterrand dari partai sosialis, yang dikenal dengan keramahan dan dukungannya pada berbagai gerakan revolusioner di berbagai belahan dunia.  Danielle Mitterrand mendirikan sebuah yayasan “French Liberties”  yang bergerak dalam bidang solidaritas kemanusiaan dengan banyak negeri. Kabarnya,  Ia bahkan memberikan solidaritas kemanusiaan pada Kuba yang saat itu di blokade oleh Amerika Serikat. Saya beruntung sempat mengunjungi lembaga ini yang sekretariatnya  menghadap menara Eifel di Paris.  Menurut Umar Said,  istri perdana mentri Prancis  tersebut adalah salah seorang yang  memberikan dukungan pada  kegiatan para eksil di Prancis.

dieptik dari Mengenang Perkenalan dengan Umar Said – Wilson

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar