*dipetik dari Carmel Budiardjo
**foto dari buletin Sinar Dian
Apa yang terutama mengganggu dari Kalong adalah jumlah kader komunis yang saat itu bekerja untuk Angkatan Darat. Tetapi ada lebih banyak keberanian yang hampir tak bisa dipercaya. Salah seorang yang menonjol menurut saya adalah Sri Ambar, seorang anggota federasi serikat buruh SOBSI dan seorang aktivis perempuan terkemuka. Selama sembilan bulan setelah Oktober 1965 ia berhasil menghindari penangkapan , tetapi suaminya tertangkap dan rumahnya dikepung serta dirusak oleh gerombolan pemuda. Saya pertama kali mendengar mengenai Sri ketika saya dipindah ke Likdam. Ia datang ke sana dari Kalong kira-kira setahun sebelumnya. Kisah-kisah tentang Sri menjadi legenda. Para penjaga pun bercerita tetang dirinya dengan perasaan kagum. (Carmel Budiardjo)
*dipetik dari bab Ruang Penyiksaan Kalong buku memoar Carmel Budiardjo Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, dalam bab ini Carmel mengisahkan kembali pengalaman penyiksaan yang luar biasa keji yang dialami Sri Ambar. Termasuk juga kisah 2 putrinya dan ibunya yang ditangkap, diintimidasi dan disiksa demi memaksa Sri Ambar bertekuk lutut
Ya. Tentu banyak orang yang bisa kita jadikan contoh. Cuma kita tidak tahu nama mereka. Tapi saya tahu dua contoh. Waktu pengadilan Sudisman saya masih ingat banyak saksi dari PKI, dari atas sampai bawah. Banyak sekali dari golongan atas yang sebenarnya memalukan sekali kesaksiannya. Mereka jelas-jelas mau mencoba mencuci tangan, melarikan diri dari tanggung-jawab sebagai atasan.
Tapi ada dua orang yang sikapnya bagus. Yang pertama Sri Ambar dari Gerwani. Dan yang paling mengesankan itu seorang anak Cina yang masih muda. Saya tidak ingat namanya. Dia menjadi kurirnya Sudisman waktu dalam persembunyian. Anak muda itu orangnya polos, berani, sopan, dan tidak pernah mau bertekuk lutut terhadap pengadilan. Tentu dia bukan orang yang penting, bukan orang yang dikenal namanya. Tetapi sikapnya hebat.
(dipetik dari wawancara Ben Anderson selengkapnya BEN ANDERSON TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL-65
Kisah Getir Aktivis Gerwani dan Sidang Subversif – cnn indonesia
Sejak 1 Oktober, Sudjinah dan Sulami hidup nomaden. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain bersama jaringan kelompok kiri, sembari mengorganisasi buletin Pendukung Komando Presiden Sukarno.
Sudjinah dalam bukunya mengatakan, dia mengorganisasi buletin untuk memberikan informasi dan mengingatkan masyarakat bahwa Presiden Sukarno saat itu masih berkuasa dan merupakan kepala pemerintahan yang sah.
“Menerbitkan buletin dengan informasi agar masyarakat tidak terhasut dan tetap mendukung Bung Karno,” kata Sudjinah.
Aktivitas Sudjinah dan Sulami bekerja bawah tanah bertahan 18 bulan. Pada Februari 1967, Sudjinah tertangkap, kemudian Sulami menyusul tertangkap lima bulan kemudian, Juli 1967.
Dua aktivis perempuan lainnya, Sri Aisah Ambar Rukmiyati dan Suharti Harsono, juga tertangkap. Mereka aktivis buruh yang bekerja sama melakukan gerakan bawah tanah mendukung Sukarno.
Sulami, Sudjinah, Suharti, dan Sri Ambar lantas diseret ke pengadilan dengan tudingan subversif. Mereka dituduh berupaya menjatuhkan kekuasaan yang sah.

Baca juga Tokoh Gerwani, SOBSI, dan BTI yang Ditangkap Karena Membela Sukarno – tirto.id
Ketika pecah peristiwa berdarah di pengujung bulan September 1965, Sulami mengaku segera meninggalkan semua pekerjaannya dan mulai hidup berpindah-pindah sembari melakukan kerja-kerja bawah tanah.
Menurut penelusuran Wieringa, kerja bawah tanah memulihkan kekuasaan Sukarno yang dilakukan Sulami dan kawan-kawannya sangat rapi sehingga sering luput dari pantauan tentara. Ia bertugas membawa dan menyelundupkan pamflet yang dicetak oleh Sri Ambar untuk diberikan kepada Sudjinah. Mereka kemudian mendistribusikan salinan pamflet itu dengan sangat terorganisasi.
“Kami selalu membela Presiden, maka ketika pihak militer terutama Jenderal Soeharto berusaha mendongkel Bung Karno, kami berusaha membelanya,” kata Sudjinah kepada Wieringa (hlm. 437).
simak pula
Sulami eks – Sekretaris Jenderal II Gerwani, Perempuan Pejuang Yang Tak Pernah Menyerah
Terempas Gelombang Pasang : Soedjinah, Wartawati, Pimpinan Gerwani dan Pendukung Bung Karno
Sri Ambar di Neraka Dunia – riwayat perjuangannya Windrajati Soekowardojo
Sinar Dian Edisi 005 Desember 2015 (halaman 10-17)



Kita baca sedikit apa kata Ita F. Nadia, sebagai penghimpun dari kisah-kisah perempuan Indonesia yang lolos dari penderitaan kebiadaban rezim Orba, sbb:
“Awalnya adalah sebuah foto rontgen ‘X-ray” dari Ibu Sujinah di tahun 1995, yang ditunjukkan kepada saya, dan catatatan dokter yang memeriksanya: Fraktur di tengkorak kepala, tulang pinggang dan dada akibat benda tumpul”. “Itu tubuh saya”,kata ibu Sujinah pelan. Tiba-tiba airmatanya menggenang di kedua pelupuk mata, dan tatapannya jauh. Tapi kemudian beliau berkata: “Sudahlah yang lalu biar menjadikan sejarah hidup saya”.
Demikian ktata-kata Ibu Sujinah, yang sesudahnya mengusik perasaan saya. Berhari-hari saya tidak bisa tidur memikirkan foto rontgen itu, dan saya berkeyakinantelah terjadi suatu peristiwa kekerasan yang dahsyat pada Ibu Sudjinah. Apakah hanya Ibu Sudjinah sendiri yang mengalaminya?
“Saya mulai mencari tahu lebih dalam pada Ibu Sujinah, tapibeliau diam. Pertanyaan-pertanyaan yang mencoba mengungkap pengalaman kekerasan masa lalunya, selalu dijawabnya dengan: “Berat. Aku sendiri lupa. Kalau kamu ingin tahu bagaimana kami ketika diinterogasi, tengoklah keadaan ibu Sri Ambar.” Begitulah nasihat Ibu Sujinah. Dan suatu pagi masih di tahun 1995, dengan diantar almarhum mbah Harti, saya mengunjungi ibu Sri Ambar. Almarhumah mbah Harti ialah Suharti, mantan anggota DPRD JawaTengah dari Fraksi BTI (Barisan Tani Indonesia). Almarhum suaminya, Harsono Ali Markaban, juga salah seorang anggota DPPBTI dan anggota DPR-GR (DPR Gotong Royong). Sebutan “mbah” untuk mbah Harti adalah sapaan kekeluargaan, yang diberikan anak-anak saya kepada beliau, yang pada tahun-tahun terakhir telah menjadi bagian kehidupan keluarga kami.
“Memasuki rumah ibu Sri Ambar yang sederhana, saya bertemu dengan seorang eks-aktivis SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) tahun 1960-an yang memperjuangkan persamaan hak buruh perempuan. Seorang perempuan bertubuh rapuh! Ia menatap kosong, seakan kehilangan memori. Menurut diagnosa rumah sakit, ibu Sri Ambar mengalami retak tempurung kepala yang berat dan pergeseran otak akibat penganiayaan. Oleh karenanya beliau menjadi kehilangan memori dan luka-luka dalam tubuh, yang mengakibatkan ibu Sri Ambar menderita berbagai penyakit. Beliau tidak bisa menceriterakan kembali pengalaman hidupnya. Ibarat satu sosok tubuh yang tinggal bernapas namun sedjatinya tidak lagi hidup. Untung bersama saya ada almarhum mbah Harti, yang di masa lalu menjadi saksi proses penyiksaan terhadap ibu Sri Ambar dan Ibu Sujinah.”
dipetik dari Perempuan Indonesia – Ibrahim Isa
Tapi terlampau mudah berbicara tentang “maaf” ketika kita mengenang apa yang dilakukan terhadap Sri Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang perempuan-perempuan yang ditahan rezim Soeharto sejak 1966.
Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal Oktober 1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibawa ke sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.
Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang mengkhianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri Ambar tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai: bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan digantung pada pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan, ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba menutupkan kembali luka dengan tangannya. Acep pun memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan Sri Ambar. Perempuan setengah baya itu pingsan.
Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka. Dalam kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah Markas Besar Angkatan Darat.
Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke tempat interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak berbicara. “Ibu jangan bilang apa-apa!” teriak kedua anak itu, “Biar kami tanggungkan ini!”
Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya yang tua didatangkan ke ruang interogasi itu-ibu yang mengatakan bahwa Sri Ambar memang anaknya dan bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun. Orang tua itu segera jadi tahanan politik.
dipetika dari Maaf – Goenawan Mohamad
simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)