cover : buku Panta Rhei : Tidak Ada Pengorbanan yang Sia-sia, Air Sungai Digul Mengalir Terus oleh Tatiana Lukman (Putri M.H. Lukman).
Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialis di Negeri Kita – M.H. Lukman
M.H. Lukman, Hikayat Seorang Anggota Dewan* – Muhidin M Dahlan
Lukman-lah satu-satunya dari anggota politbiro yang mendapatkan ajaran langsung dari Boven Digoel, sebuah “universitas” yang “menggembleng” moral komunis angkatan pertama di Hollandia untuk mau sujud pada kolonialisme atau memilih tetap tegak menantang dengan risiko di-“Tanah Tinggi”-kan. Di “Tanah Tinggi” Digoel, Lukman menghabiskan masa remajanya (sejak umur 9 tahun) bersama keluarga besarnya yang notabene “keluarga haji” dari Tegal.
Dari Digoel, selain mendapatkan nama “Mohammad Hatta”—karena kekaguman Kiai Moechlas, ayah Lukman, pada sosok hoofdredacteur “Perhimpoenan Indonesia” dan “Daulat Ra’jat” yang juga kena interniran—Lukman juga mendapatkan “moral komunis”. Bahwa, orang komunis setia melawan kekuatan apa pun yang menghisap manusia dan menjaga moral keluarganya untuk tak hidup bermewan-mewah.
Dari Haji Moechlas yang masuk Digoel pada 1929, Lukman mendapat pandangan bahwa agama tak menghalangi seorang Muslim menjadi komunis karena agama tidak menghalangi seseorang berkomitmen dan telibat dalam perjuangan kaum miskin.
M. H. LUKMAN: JALAN SEDERHANA DAN MORAL KOMUNIS TANPA KORUPSI – Jasmerah Bersama Muhidin M. Dahlan
Jejak Sepatu dan Didikan Boven Digoel – serat.id
Di tengah kesibukan menjadi penggede PKI, Lukman tetap menjunjung moral keluarga. Walau menjadi Wakil Ketua DPR GR dan Menteri bukan berarti keluarganya menikmati kemewahan pejabat negara. Dan tentang ini Tatiana menceritakan kembali soal bagaimana kemarahan Lukman saat diketahui putrinya belajar menyetir mobil bersama sopir pribadi Lukman yang dipanggil Om Djen. Akibat informasi yang disampaikan sang sopir Lukman pun menasihati Tatiana dengan kalimat, “Emangnya kamu anak borjuis ? Mobil itu bukan mobil kita, mobil rakyat !”
Selain itu ada pengalaman saat anak-anak MH Lukman meminta agar bisa makan di restoran, sesuatu yang dianggap mewah namun kemungkinan wajar bagi keluarga pejabat tinggi sekelas Lukman. Saat tuntutan itu dialamatkan pada sang ayah, Lukman pun menjawab, “Oh, kalian mau makan di restoran ? Yah boleh saja, minta nggih sama Ibu. Biar Ibu bikinkan makanan dan nanti kalian bawa ke restoran. Kemudian kalian makan di situ”.
Selain sebagai wakil Ketua DPR GR dan Menteri (tanpa portofolio) tak menjadikan keluarga Lukman bercukupan, hingga suatu ketika sang Isteri terpaksa menjual celana panjang drill demi menggantinya dengan ayam untuk lauk keluarga. Sebagaimana dituturkan putri sulung Tatiana hidangan mewah dalam makan jika terima pensiun mbah putri Kadirun serta acara ulang tahun keluarga. Menu keseharian adalah tahu, tempe dan sayur mayur.Sang isteri pernah menyampaikan curhat soal ketiadaan perubahan walaupun suaminya menjadi penggede, “Ayo coba kau yang memutar uang belanja supaya biar cukup sebulan. Kepengin aku tahu. Dikiranya gampang apa ? Biar aku yang pergi rapat ke DPR.
Hidup M. H. Lukman, Pemimpin PKI Yang Tumbuh di Pembuangan Digul – tirto.id
Trikoyo Ramidjo dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah (2009) menulis soal Lukman dan kawan-kawan kecilnya yang berani memperingati Pemberontakan PKI 1926. Di hari peringatan itu, Lukman dan kawan-kawannya berulang-ulang menyanyikan lagu-lagu perjuangan macam Dua Belas November, Satu Mei dan Enam Jam Kerja. Kontan saja aparat kolonial membubarkannya.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati berhamburan di tanah […] Anak-anak perempuan menangis […] Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang serdadu Belanda, walaupun mereka berdua belum dewasa mereka berdua dijebloskan ke dalam tahanan,” tulis Trikoyo.
Hak Jawab Tatiana Lukman Terhadap Artikel di Tirto.id
[unduh] KISAH-KISAH DARI TANAH MERAH [CERITA DIGUL CERITA BURU] – TRI RAMIDJO
simak PERAYAAN DI SEKOLAH (halaman 58-62) – Kisah-kisah Bersama Lukman di Digul oleh Tri Ramidjo
simak pula
Trio Aidit-Lukman-Njoto bergerak makin gencar. Pada 15 Agustus 1950 mereka menerbitkan lagi Bintang Merah, majalah teori PKI yang sempat tutup usai Madiun Affair. Karena majalah inilah kelompok Aidit lalu disebut sebagai Kelompok Bintang Merah. Dua hari kemudian, bertepatan dengan ulang tahun Proklamasi, Njoto dan kawan-kawan senimannya mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Usaha-usaha itu tidak sia-sia. Kelompok Bintang Merah akhirnya berhasil naik ke pucuk pimpinan PKI, menggeser tokoh-tokoh tua yang kalah progresif. Pada 7 Januari 1951, CC PKI mengumumkan susunan politbiro baru yang terdiri dari Alimin, Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman.
dikutip dari “Usai Peristiwa Madiun, Kelompok Aidit Gerilya Membangun Kembali PKI” – tirto.id
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)