[Pustakaloka] Antologi Cerita Pendek Lobakan – Kesenyapan Gemuruh Bali ’65

Pengantar untuk kumpulan cerpen LOBAKAN (2009)

LOBAKAN SEBAGAI PELITA JALAN SEJARAH

I Gusti Agung Ayu Ratih*

Bali dan 1965

Cerita-cerita kecil yang terkumpul dalam antologi ini bersuara seperti alunan suling yang menyelinap tajam di tengah jeda gemuruh gong kebyar. Masing-masing cerita berusaha menembus pembisuan menahun yang tidak kasatmata, terkelabui oleh gerak piawai masyarakat Bali untuk menapis mana yang pantas disajikan kepada para pelancong dan mana yang tidak. Para penulis, terutama yang pernah atau masih tinggal di Bali, mungkin sudah sering mendengar cuplikan-cuplikan cerita tentang tragedi 1965 lewat perbincangan sehari-hari. Mungkin juga mereka secara khusus mencari sumber cerita setelah mendengar atau membaca tentangkekejaman yang terpendam ini. Akan menarik untuk membincangkan bagaimana masing-masingpenulis memperoleh cerita.


Apapun, munculnya antologi ini patut dihargai sebagai salah satu langkah awal untuk melunasi ‘hutang sejarah’12 yang bertimbun: mempertanyakan dan mengungkap mengapa dan bagaimana tragedi memilukan itu bisa terjadi. Bercerita tentang masa lalu tidak seharusnya ditafsirkan sebagai upaya menguak luka-luka lama atau menyulut dendam kesumat, seperti yang ditakutkan kalangan tertentu. Dalam kenyataannya luka-luka itu tidak pernah sepenuhnya pulih, dan seperti bisul tua menunggu pecah, sedikit saja disentuh, timbulkan perih. Tanpa ruang-ruang aman dan nyaman untuk berbincang secara terbuka tentang suatu tragedi dan dampaknya bagi kehidupan kita di masa kini, kita semua justru menjadi ‘tawanan masa lalu.’13 Setiap kali satu kaki berniat melangkah ke depan, kaki yang satu tertahan di belakang. Atau, seperti digambarkan sastrawati Argentina, Luisa Valenzuela, orang bisa saja merasa sudah berjalan di tanah surgadengan luapan kebahagiaan sampai ia mencapai satu titik bertanda bahaya: ‘Awas, ranjau darat.’


Antologi ini juga berharga karena setiap penulis berusaha menjelajahi pengalaman memanusia orang-orang yang selama ini digambarkan secara karikatural sebagai setan-setan biadab, pembunuh jendral, atau pengkhianat negara. Apakah mereka menjadi korban pada saat operasi pembersihan berlangsung, atau menanggung beban menahun akibat operasi tersebut, mereka tampil sebagai manusia-manusia biasa yang memiliki rasa, kenangan, dan cita-cita. Mereka bukanlah segerombolan makhluk liar tak berwajah dan tak bernama yang hanya tahu mengusung panji-panji PKI atau komunisme, melainkan individu-individu yang mampu merasa cemas, rindu, marah dan kecewa. Mereka adalah bagian dari keluarga kecil dan besar yang beribu, berbapak, bersaudara, berpasangan, dan beranak-cucu. Dan, ketika mereka dicerabut dari satuan-satuan terkecil dan terhangat itu yang tertinggal adalah ketakutan. Selama bertahun-tahun ketakutan itu diberi nama ‘bahaya laten komunisme’ oleh penguasa untuk mengembang biakkan ketakutan yang lebih luas, untuk mencegah sejarah korban bicara.


Kisah-kisah di dalam antologi ini sedikit banyak menggambarkan bagaimana masa lalu yang tak terbicarakan sudah mengepung kehidupan bukan saja korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat pada umumnya. Ada kebisuan yang memekakkan dan membatasi kemungkinan berimajinasi tentang dunia dan kehidupan yang lebih baik. Alhasil, yang dominan adalah bayangan tentang kematian. Mereka yang menghadapi kematian tubuh mencoba memilih cara mati yang paling terhormat, seperti digambarkan dalam ‘Bantiran’, ‘Warisan’, dan ‘Tumbang’. Sementara yang hidup dalam kematian jiwa mencari jalan menuju moksa melalui ketaatan terhadap ritual, seperti ‘Dadong’ dan ‘Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh’, setia menunggu maut menjemput untuk menebus sesal dalam ‘Laki-laki Tua yang Ingin Mati’, atau melerai rindu dengan berbicara pada yang sudah tiada dalam ‘Menanti Tantri’ dan ‘Silsilah Merah’. Bahkan yang berada di pihak pemenang atau pelaku pun tak mampu lepas dari ingatan tentang pembantaian. Rasa benar yang dibangun melalui propaganda hitam tentang pentingnya membela negara dari ancaman pengacau terkalahkan oleh rasa salah setelah menghabisi yang tak berdaya. Kakek-kakek dalam ‘Ia Menangis di Depan Televisi’ dan ‘Pedang Samurai di Bawah Tempat Tidur’ hidup menunggu mati karena tak sanggup menanggung karmapala.

Screen Shot 2021-10-30 at 12.53.01 PM

[Pustakaloka] Sebuah Rekonsiliasi Batin

Resensi Warih Wisatsana

Belum lama ini, tepatnya pada 17 November 2009, diadakan diskusi buku Lobakan: Kesenyapan Gemuruh Bali ’65 di GoetheHouse, Jakarta. Dalam diskusi tersebut, Dharma Santika Putra mengatakan bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku Lobakan itu sebagai karya sastra yang gagal. Alasannya karena “beratnya beban yang harus dipikulnya di dalam merebut lembar-lembar sejarah kemanusiaan di Indonesia bahkan mungkin juga dunia” (Putra, 2009).

Saya menilai pernyataan Dharma Santika itu sebagai sebuah pernyataan yang arogan dan gegabah. Apa dasarnya mengatakan cerpen-cerpen yang menyuarakan peristiwa pembantaian massal di Bali pada 1965 itu sebagai karya yang gagal? Adakah karya sastra yang gagal? Bukankah W. Sikorsky (1970) memberi makna baru pada karya-karya Ronggowarsito, Padmosusastro, Muhammad Musa, dan Willem Iskandar tanpa memposisikannya sebagai karya yang gagal? Bukankah Agung Dwi Hartanto (2008) menempatkan Marco Kartodikromo ke tempat terhormat dalam sejarah sastra Indonesia meskipun kolonial Belanda menghinanya sebagai “bacaan liar”? Bukankah filolog-filolog juga memberikan makna baru pada naskah-naskah lama? Kenapa Dharma Santika mengatakan karya sastra itu gagal?

Tampaknya Dharma Santika menggunakan kacamata kuda dalam mengapresiasi karya sastra. Ia tidak berusaha mengaitkan karya itu dengan konteksnya, sehingga muncul penilaian semacam itu. Saya menduga bukan karya itu yang gagal, melainkan Dharma Santika yang gagal menafsirkan cerpen-cerpen yang ditulis Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, Putu Fajar Arcana, Putu Satria Kusuma, Sunaryono Basuki K.S., Gde Aryantha Soethama, T. Iskandar A.S., Soeprijadi Tomodihardjo, Fati Soewandi, Ni Komang Ariani, Kadek Sonia Piscayanti, Dyah Merta, May Swan, dan Happy Salma dalam buku Lobakan itu.

dipetik dari 1965 : Perspektif Korban – Asep Sambodja

Lobakan untuk Hindari Amnesia Sejarah – kompas.com

Merenungi Tragedi 1965/66 di Bali Melalui Karya Sastra – balebengong

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s