The army transported the PKI leaders and activists out of South Blitar to Jakarta and other cities in Java for detention and eventual trials, many years later, for subversion. Unlike the summary executions of 1965-66, this time the New Order regime was concerned to promote itself as law abiding in its ongoing commitment to fighting communism. One political prisoner, Pudji Aswati, was formerly a teacher and a member of the Indonesian Women’s Movement (Gerwani). After ten years of waiting, she was tried in 1978 and sentenced to 15 years’ jail for her role at South Blitar. The judge paid no regard for the ten years she had waited in the Malang Women’s Prison in East Java. Her husband, Gatot Lestario, who formerly served as secretary of the South Blitar base, was sentenced to death and executed in July 1985. Relatives had cared for the couple’s two children from 1967, when the two went on the run to South Blitar. Finally, Pudji was released in 1989, gravely ill with cancer. She lived her last remaining years with her former fellow inmates, also leftist women activists, and enjoyed visits with her children and grandchildren.
disalin dari 1968: A Crushing Defeat for the Indonesian Left – Vannessa Hearman
As noted above, Lestario’s documentation of prison life was a source of unending interest to his correspondents. For example, Peter Brown was curious as to how Lestario survived in prison, as he explained, “I was interested in the spiritual side of this, how does a man who has been seventeen years in prison and was still facing a sentence of death, what were his thoughts, what are his interests and so on.”105 Lestario wanted his correspondents to become politically active on Indonesian-related causes. He urged them to support his clemency plea to avoid execution. 106 He consistently maintained that he and his wife were imprisoned “for only having differences of political view with the [military] rulers” of Indonesia.107 In response, the Quakers wrote petitions and letters to the Indonesian government. For example, on April 20, 1984, the Browns sent a petition to the Indonesian government signed by 279 Quakers, asking for the release of Lestario and Pudjiaswati on humanitarian grounds.108
Writings of an Indonesian Political Prisoner
Gatot Lestario
The following excerpts come from the diary of Gatot Lestario, and from letters he wrote to supporters overseas. They are taken from unpublished material in London, courtesy of Carmel Budiardo, who also translated the diary excerpt. The text of letters remains in the English original, with grammar untouched. Accused of being an activist in the East Java branch of the Indonesian Communist Party, Gatot Lestario was arrested and charged. He conducted his own defence at his trial in Blitar in 1978. He was executed by firing squad in 1985.
bad 12 dari buku Flowers in the Wall: Truth and Reconciliation in Timor-Leste, Indonesia, and Melanesia – Webster, David
[kompilasi] Surat-surat Gatot Lestario : Asa Hingga Eksekusi & Solidaritas Internasional Hingga Melampaui Kematiannya
“Dari pengalaman saya […] saya tahu banyak tentang kehidupan di penjara. Jika saya penulis seperti Anda, mungkin saya dapat mengarang cerita tentang kehidupan di penjara […] kesedihan dan kesenangan seorang narapidana. ” – Pudji Aswati, seorang narapidana politik dalam surat yang ia tulis pada 25 April 1983.
dalam bahasa inggris
How Women’s Letters Led to Global Fund for Political Prisoners
Personal letters provide an important window for historians to see the powerful emotional connections built between letter writers.
Catatan Bocah Blitar Selatan
(Ditulis kembali oleh Harsutejo dari transkrip yang dibuat oleh Dewi Ratnawulan berdasarkan kisah narasumber Mbak Santi)
hari-hari pengapku
di balik terali sepi
mencengkam bersama kawan
hari nanti yang cerah
hidup seluruh kami berikan
engan luka dalam derita
menunggu dan menanti lagi
detik dan jam tanpa harapan
jauh dari cinta rindumu
dalam pembuangan hukuman mati
’lah dipatok maut pasti
kehangatan berlimpah
ibu hidup mengabdi
nanti lebih bercahya
hati dan pikiran
luka dengan derita
bertahun kami dambakan
kebebasan kemanusiaan murni
semua di negeri ini
hidup berlanjut luka
derita terbalut
ayahmu
cita hari nanti
dalam sanubari
bijak bestari kebebasan
tanpa pengabdian
(‘Surat Untuk Anakku’ oleh Pudji Aswati 1968).
Puisi itu menyentuh perasaanku, ditulis oleh ibuku ketika berada dalam penjara. Puisi ini kubaca beberapa tahun sesudah kedua orangtuaku telah tiada. Puisi itu tercantum dalam buku harian bapak The Last Year of Gatot Lestario yang ditulisnya ketika mendekam di penjara Pamekasan, Madura. Ketika aku teringat orangtuaku, buku ini menjadi curahan hati. Begitu banyak kenangan indah tentang mereka, juga kenangan sedih, sering membuat air mata meleleh menangis dalam hati. Ketika kami masih berkumpul, hidup kami sangat bahagia. Hampir setiap minggu kami diajak rekreasi. Kami terkadang juga diajak ketika mereka bertugas ke daerah-daerah. Sampai tiba badai yang memporak porandakan keluarga dan kebahagiaan kami.
Bapakku aktivis PKI, ibu salah seorang pengurus Gerwani Jawa Timur. Bapak berasal dari Malang, ayahnya, jadi kakekku, pernah menjabat sebagai walikota Malang. Bapakbersekolah di Taman Siswa, Yogyakarta, ia tinggal mondok di rumah Ki Hajar Dewantara. Sejak mahasiswa ia telah aktif dalam pergerakan. Ibu yang berasal dari Magelang, kakekku dari ibu pada masa penjajahan Jepang ditangkap dan meninggaldi penjara. Oleh pemerintah RI kakek diangkat sebagai salah satu Perintis Kemerdekaan karena kegiatannya dalam pergerakan melawan penjajahan. Orangtua kami bertemu waktu sama-sama bersekolah di Yogyakarta dan saling diperkenalkan oleh Ki Suratman, sesepuh Taman Siswa
baca selengkapnya di Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 Bagian Kedua (halaman 432-435)
simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Iklan