Merayakan Hari Ibu dan Kongres Perempuan Indonesia (3)
oleh : Agung Ayu Ratih
Dr. Soetanti dan ibunya, Siti Aminah binti Marah Umar, atau lebih dikenal dengan nama Ny. Mudikdio, mungkin adalah dua perempuan yang paling ditakuti oleh pemerintah Suharto. Ketika Soetanti dan ibunya tinggal dengan keluarga mereka di daerah Pondok Pinang selepas mereka dari tahanan — antara pertengahan 1970an sampai 1980an — rumah keluarga tersebut rutin diawasi militer atau polisi. Setiap bulan September akan ada satu jip berisi prajurit bersenjata yang menjaga jalan masuk ke rumah tinggal mereka. Ketika Ny. Mudikdio meninggal dunia pada 1984 helikopter berpatroli di langit sekitar Pondok Pinang. Ketika Soetanti terserang stroke dan harus dirawat di ICU, orang-orang yang menangani perawatannya didatangi aparat dari Kodam V Jaya untuk diinterogasi. Mereka curiga ada pihak asing yang membiayai perawatan ibu lansia tak berdaya ini. Fantasi aparat negeri ini tentang “bahaya laten komunisme” benar-benar mencengangkan.
Soetanti lahir di Sungai Liat pada 1 November 1923. Ayahnya, Raden Mas Mudikdio, adalah putra Bupati Tuban Koesoemodigdo yang terkenal berpikiran maju dan mendorong anak-anaknya untuk belajar setinggi mungkin. Keluarga ini kerabat dekat Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoadiningrat, yang menikah dengan Kartini. Ibunya, Siti Aminah, lahir dari keluarga tuan tanah terpandang di daerah Deli. Menurut kisah orang setempat keluarga ini “tanahnya di ujung jari”. Kemana mereka menunjuk, di situlah tanah mereka. Namun, Mudikdio dan Siti Aminah memilih jalan yang berbeda. Sejak muda mereka sudah tertarik dengan gerakan melawan penjajahan dan tidak terlalu memikirkan penimbunan kemilikan. Mereka selalu hidup sederhana dan siap berbagi apa saja yang mereka miliki dengan orang kebanyakan.
Keluarga Mudikdio hidup berpindah-pindah karena kepentingan pergerakan dan perang. Mudikdio pernah bekerja di kantor bea cukai di Bangka, Medan dan Pontianak. Setelah Soetanti lahir, mereka pindah ke Yogyakarta. Mudikdio menjadi guru sekolah menengah Muhammadiyah. Siti Aminah, si “kembang Medan”, yang berdarah campuran Minang-Deli, mengganti baju kurung dan celananya dengan kebaya dan kain batik wiron. Saat keluarga ini tinggal sementara di kediaman Bupati Rembang, Siti Aminah belajar menjadi perempuan Jawa yang sempurna, lewat cara berpakaian dan berbahasa krama inggil. Sampai akhir hayatnya ia dikenang sebagai perempuan yang sangat sedikit bertutur dan berkebaya dengan rapih, bahkan saat ditahan di LP Bukit Duri sekali pun.
Siti Aminah tampaknya sudah mulai tertarik dengan kerja-kerja organisasi perempuan sejak ia bertemu Mudikdio di Medan. Tapi baru di Semarang dia aktif menjadi penggerak Fujinkai saat pendudukan Jepang. Setelah perang kemerdekaan usai, Siti Aminah tampaknya terlibat dalam Komite Nasional Indonesia, entah di daerah atau di pusat. Kemalangan menimpa dirinya tatkala suaminya yang saat itu menjabat sebagai Komisaris Polisi ditembak dalam peristiwa Madiun 1948. Tragedi ini tidak menyurutkan ketertarikannya pada dunia politik perempuan. Dengan nama Ny. Mudikdio, sejak awal pendirian Gerwani ia selalu terlibat sebagai pengurus. Ia sebenarnya sudah mengurangi kegiatannya di Gerwani saat Gestok terjadi. Tapi karena ia khawatir akan keselamatannya, ia memutuskan untuk mengamankan diri di kantor aparat keamanan. Alhasil ia ditahan 11 tahun. Usianya ketika itu 62 tahun.
Berbeda sekali dengan ibunya, Soetanti tumbuh sebagai gadis yang lincah, ceplas-ceplos, dan berani. Kerabatnya menganggap itulah cerminan gadis-gadis yang besar bersama pergerakan nasional. Tanti suka belajar dan memang cerdas. Setelah menamatkan sekolah menengah berbahasa Belanda MULO ia ingin masuk sekolah kedokteran. Sayangnya Pak Mudikdio tidak punya cukup uang. Ia lalu meminta bantuan sepupu terdekatnya, R.M. Susalit, putra tunggal Kartini. Tanti pun berhasil masuk sekolah kedokteran di Surabaya, NIAS.
Waktu perpeloncoan ia dapat nama panggilan mengejek “Bolletje” karena mukanya bundar dan tubuhnya gempal. Di kalangan teman-temannya ia masih dipanggil Bolle. Saat menjadi mahasiswi kedokteran ini rupanya ia jatuh cinta pada pemuda Aidit. Walaupun Tanti tidak terlalu tertarik pada dunia politik dan kehidupannya sebagai anak ningrat di sekolah elit sangat berbeda dengan kehidupan Aidit yang penuh dengan ketidaktentuan dan marabahaya, mereka memutuskan untuk menikah.
Sebagai istri Aidit, hidup Tanti dan anak-anaknya memang tidak mudah. Sampai Aidit menjadi menjadi ketua partai dan wakil ketua MPR Tanti sering harus berpisah dengan Aidit karena berbagai teror terhadap gerakan kiri atau komunis berulangkali memaksa suaminya mencari jalan menyelamatkan diri. Mereka pernah tinggal di rumah berlantai tanah di Gondangdia, lalu di perkampungan di daerah Galur, Tanah Tinggi. Mereka harus mengungsi karena perkampungan itu suatu hari terbakar. Tapi Tanti tidak hilang semangat. Ia dikenal sebagai “dokter rakyat” yang selalu siap mengobati dan merawat pasien siapa saja yang datang ke rumahnya. Ia rutin mencek kesehatan orang-orang yang tinggal di kampungnya.
Antara 1958-60 Tanti dikirim untuk studi spesialis radiologi di Uni Sovyet. Dalam keadaan mengandung ia membawa serta putrinya tertua, Ibarurri, yang disusul putri kedua, Ilya. Ia melahirkan anak kembar, Irfan dan Ilham saat sedang menyelesaikan studinya. Setelah kembali di Indonesia ia mengajar di Fakultas Kedokteran UI, praktek di RS Cipto Mangunkusumo dan poliklinik rakyat di kantor Gerwani. Gairah belajarnya tak pernah surut. Ia berangkat lagi ke Pyongyang, Korea Utara, untuk mendalami studi akupuntur. Sepulangnya dari Korea, belum sempat ia jalankan ilmu barunya, ia sudah harus menyelamatkan diri. Rumahnya dihancurkan, suaminya menjadi buron, lalu tewas, anak-anaknya terpaksa dititipkan ke kerabat-kerabat dekat yang berbaik hati menawarkan pengasuhan. Setahun setelah ia bersembunyi ia tertangkap dan dipenjarakan selama 14 tahun.
Setelah dibebaskan pada 1980 dengan bantuan teman-teman lamanya di sekolah kedokteran Tanti berhasil mendapatkan izin praktek kembali. Ia melanjutkan kerja-kerjanya di sejumlah klinik yang siap menampungnya sampai ia meninggal dunia pada 1991. Ia tidak pernah bertemu lagi dengan kedua putrinya yang bersekolah di Moskow dan dipaksa mengelana dari satu negeri ke negeri lain tanpa status kewarganegaraan yang jelas.
Saat kami sedang mencari cerita tentang Ny. Mudikdio, secara kebetulan kami menemukan kutipan cerita berikut:
“Ny. Moedigdo, sebagaimana suaminya, adalah komunis malam. Dia menjabat Ketua Umum Gerwani dan diringkus pada epiloog Peristiwa G30S.” (Julius Pour, Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang)
Sudah terlalu lama kita terkungkung dalam narasi yang sarat dengan prasangka dan ketakutan tak berdasar semacam ini.
Suatu siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.
Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. “Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja,” kata Hasan, kini 85 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.
Soetanti-yang disapa “Bolletje” (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya-datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan “kuliah” soal politik dan keorganisasian.
Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.
selengkapnya Kisah Cinta: Meminang Lewat Sepucuk Surat – TEMPO Edisi Khusus
Arsip Ny Mudikdio Dalam Congress of the Women’s International Democratic Federation, Vienna, 1-5 June 1958
periksa disini
Mrs. Mudikdio was the vice- chairwoman of GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia, Indonesian Women’s Movement) and head of the Indonesian delegation, to the 4th WIDF Congress, that was held in Vienna, 1-5 June 1958. In this report, Mrs. Mudikdio [also spelled Mudigdio and Mudigdo] drew attention to the conditions of peasant women in Indonesia and called for a WIDF-sponsored seminar dedicated to helping peasant women and female workers. Mrs. Mudigdio also reported on GERWANI’s activities in reforming Indonesia’s marriage law at the time. KEYWORDS: 1958, 4th WIDF conference, Female workers, GERWANI, Indonesia, Law reform, Marriage law, Mudigdo, Mudigdio, Mudikdio, Peasant women, Vienna, WIDF (sumber alexanderstreet.com)
Kesaksian Nani Nurani Tentang Ibu Mudikdio Dari Penjara Bukitduri
Beruntung di Bukitduri pula ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasional yang dapat menjadi gurunya, ibunya, pelindungnya. Ia belajar bahasa Inggris dari Ibu Carmel Budihardjo, keterampilan dari Ibu Masye Siwi (tokoh Gerwani), Ibu Salawati Daud (walikota perempuan Indonesia pertama dari Makassar dan anggota DPR), dari Ibu Mudikdio (anggota DPR, mertua DN Aidit), ia bahkan belajar mengaji lanjutan dan menafsirkan isinya dari tokoh sepuh ini. Dari Ibu Mudikdio yang disapanya dengan Embah Mudik, tokoh yang sangat ia hormati, tempat banyak belajar menjadi tabah dan kuat. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang pergaulan dan interaksinya dengan Mbah Mudik yang memperlakukan dirinya seperti anak bungsunya, tempat ia mencurahkan isi hatinya dan mengadu. Di samping itu ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh seperti dokter Tanti Aidit, Suharti Suwarto (tokoh Gerwani), juga dengan sejumlah tapol “Lubang Buaya” yakni yang pernah ikut latihan sukwan ganyang Malaysia 1965 yang mendapat tuduhan amat berat dan mengerikan sebagai penyiksa para jenderal yang mengalami siksaan fisik dan mental tiada tara ketika mereka berumur belasan tahun.
(kesaksian Nani Nurani dari Penjara Bukit Duri dipetik dari resensi Harsutejo untuk buku “Penyanyi Istana Suara Hati Penyanyi Kesayangan Bung Karno”)
Sekitar Peristiwa Madiun adalah masa sulit bagi Soesalit. Sepupu Soesalit, Raden Mas Moedigdo yang menjabat komisaris polisi, dihukum mati karena ia dianggap komunis. Moedigdo adalah ayah dari Soetanti, yang belakangan menikah dengan Ahmad Aidit alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI terakhir. Hubungan baik Moedigdo dan Soesalit dilanjutkan oleh putri dan menantunya: Soetanti dan Aidit. Iwan Aidit, salah seorang putra Aidit dan Tanti, bahkan memanggil Soesalit dengan panggilan “Eyang.”
Baca selengkapnya di artikel “Sejarah Hidup Soesalit, Anak Kartini yang Dekat dengan Kaum Kiri”, https://tirto.id/F7r
Keluarga Besar Aidit: Sesudah Malam Horor itu – TEMPO Edisi Khusus
simak pula
Memoar dan Kesaksian Ibarruri Putri Alam (Putri D.N. Aidit)
Kesaksian Ilham Aidit : Terasing di Negeri Sendiri
Simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)