Coba sebutkan, kawan, apakah ada perempuan lain yang dibekap di dalam penjara 13 tahun tanpa kesalahan kecuali karena dia begitu mencintai suaminya. Di markas Operasi Kalong, di belakang gedung Bank Indonesia, awal 1966 aku sebagai tahanan bertemu dengan dia sebagai tawanan di situ. Dia digiring ke situ bersama lima anaknya, yang terkecil masih merah. Kesalahannya, yang kuketahui, dia sering menemani suaminya datang ke Harian Rakyat untuk menulis editorial dan meminjamkan peniti kepada suaminya itu untuk membersihkan huruf e atau o atau p dari daki. Kesalahannya yang lain, dia sering membersihkan kacamata suaminya itu ketika sang suami sedang mandi. Kesalahannya yang paling keji untuk Orde Baru bahwa Tarni acapkali memegangi tangga ketika sang suami hendak menjangkau buku di rak yang menyundul langit-langit. Dia berangkat dengan meninggalkan amal kecil yang membuat mata dan hidungku yang nyaris jompo terasa hangat. Aku menangis untukmu…
(Martin Aleida)
‘Sungguh, Mama tak pernan menangis. Senyumnya manis. Selalu manis. Darinya kami belajar tegar,’ tulis Svetlana tentang ibunya yang dipublikasikan di buku ‘Tragedi Kemanusiaan 1965-2005’.
Ketegaran Tarni luar biasa. Ia tak pernah menyesal mencintai dan menikahi Njoto, meski harus menanggung risiko menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun. Anak-anaknya pun kini mengucap nama ayahnya dengan nada bangga. Svetlana pun kembali menggunakan nama Rusianya. Sementar Bimo –putra bungsu Svetlana yang baru dikhitan ketika saya datang- dengan antusias mendengar neneknya mendongeng tentang kakeknya. ‘Ia memanggil kakeknya dengan Bung dan selalu bertanya kapan pelajaran di sekolahnya akan sampai pada kisah Bung Njoto,’ cerita Svetlana tentang si buyung.
Dan Tarni tersenyum, meski sampai kini ia tak pernah tahu di mana sang Bung dikubur. Ia hanya tahu bahwa suaminya dibunuh secara diam-diam oleh sebuah kekuasaan yang menganggap PKI sebagai suatu ancaman.
Soetarni Ditahan bersama Tujuh Anaknya – historia.id
Soetarni ditahan di markas Kodim pasca G30S. Tujuh anak turut bersamanya. Yang bungsu berusia tiga bulan.
Kenangan di Jalan Malang – tempo
Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama sembilan tahun. Empat anaknya juga lahir di rumah itu. “Rumah itu punya arti penting bagi kami,” kata Soetarni…… kepada Tempo.

Aku tak tahu sejak kapan, bagaimana, mengapa, dan untuk apa kami berada di sana. Aku cuma ingat, beberapa waktu sebelum kami berada di tempat itu, kami sempat sibuk menyambut kedatangan Mama dari rumah sakit. Ia membopong adik terkecil kami – yang baru saja dilahirkan. Kata Mama, adikku itu perempuan, Butet namanya. Aku tak tahu kenapa nama begitu itu diberikan kepada adik kecilku.Yang kutahu, kami semua gembira menyambut kelahiran dan kedatangannya, meskipun Bapak tak ada. (dari Kompleks itu bernama Kodim – Svetlana Dayani)
Kami sekeluarga mendekam di penjara selama 3 bulan, kemudian tinggal bersama keluarga ibu dan senang karena bisa bersekolah kembali. Sayangnya rasa senang dan lega bisa hidup normal hanya berlangsung sebentar. Ibu kembali dijemput tentara dan dibawa pergi. Kembali masuk penjara. Kali ini hanya si bungsu yang dibawanya karena dia ingin kami yang lain tetap bisa bersekolah. Semenjak itu saya pun harus menjadi pengganti ibu di usia saya yang ke 12. Memang kami tinggal bersama keluarga ibu, dirawat dan disekolahkan dengan baik. Namun tetap saya merasa bertanggung jawab mengurus adik-adik. Sadar tak mampu menjadi seperti ibu, saya berusaha keras agar setidaknya bisa jadi contoh bagi adik-adik. (dari SECUIL CERITA SEBONGKAH ASA – Svetlana Dayani)
simak selengkapnya
Kompleks itu bernama Kodim – Kompilasi Kesaksian Svetlana Dayani, Puteri Pimpinan PKI Njoto
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)