“….saya ditelanjangi dan saya disuruh naik ke atas meja. Saya berdiri telanjang dan mereka menyalakan korek api lalu membakar alat vital saya. Saya hanya bisa menjerit dan menangis. Kemudian mereka mengangkat meja itu dan menggulingkannya. Saya terbanting ke lantai. Mereka menarik badan saya, memepetkannya ke dinding, lalu saya dijepit dengan sebuah sepeda. Saya tidak bisa apa-apa selain menangis dan menangis….”
(kesaksian alm Christina Sumarmiyati)
Menyeberangi Sungai Air Mata berbicara tentang ketidak-adilan HAM di awal berdirinya Orde Baru, kebenaran yang semestinya diungkap dan dikenang sebagaimana diungkapkan oleh Paul Ricoeur, “Kita harus mengingat karena mengingat adalah sebuah kewajiban moral.”[1] Tak hanya itu, buku ini pun mengupas upaya rekonsiliasi yang dibangun oleh sejumlah pihak dalam upaya pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang, sayangnya, tak kunjung mekar sebagaimana mestinya. Semua itu dibingkai dalam refleksi teologis Kristen yang sarat akan iman dan harapan dalam pekatnya penderitaan, khas Yesus Kristus yang disusun dari pengalaman mereka dan untuk mereka, para survivor, yang memperoleh kekuatan dari naungan iman kepada Yesus sendiri. Buku ini menyadarkan kita, bahwasanya kita hidup di sebuah negeri air mata, negeri yang berdiri di atas tangis derita jutaan nyawa tak berdosa, yang mesti kita sertakan selalu
Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol’65 Dan Upaya Rekonsiliasi
Marilah kita terus berkisah”, demikian tulis Elie Wiesel, “semua yang lain bisa menunggu. Marilah kita berkisah- itulah tugas utama kita.. sehingga kita ingat betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan kejahatan yang mengepung dari berbagai penjuru. Marilah kita berkisah sehingga para eksekutor tidak dibiarkan menjadi pemilik kata terakhir. Kata terakhir adalah milik korban. Terserah pada para saksi untuk menangkapnya, membentuknya, menyebarkannya, dan mengkomunikasikannya kepada yang lain.” (hal. 380)
Itulah yang kiranya dilakukan Antonius Sumarwan bersama beberapa temannya di dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata, Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi. Suatu buku yang dengan detil mendeskripsikan sekaligus mengajukan analisis terhadap pengalaman korban peristiwa negatif pasca G30S/1965.
Memang, salah satu tindakan yang paling sulit dilakukan oleh manusia adalah menghadapi trauma masa lalu yang pernah mencengkramnya, memasungnya, dan membuat dia seolah-olah menjadi tak berdaya lagi. Walaupun sulit dan penuh dengan duri, hal ini tetaplah mutlak diperlukan, karena hanya dengan dihadapilah suatu trauma akibat peristiwa negatif di masa lalu bisa direlakan.
Teman, Teruslah Bercerita! – Reza Antonius Alexander Wattimena
Kant pernah menulis bahwa “bertindaklah selalu sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia, baik dalam dirimu, maupun dalam diri segenap orang lain, selalu sekaligus sebagai tujuan, dan tak pernah semata-mata sebagai sarana” (Kant, Metaphysics of Morals, hal. 36). Artinya, setiap orang, siapapun dia, apapun latarbelakangnya, harus dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak pernah boleh digunakan sebagai alat bagi tujuan lain di luar orang itu sendiri.
Membaca buku tulisan Sumarwan ini, dan membandingkannya dengan kutipan yang langsung saya ambil dari tulisan Kant tersebut, hati saya jadi teriris rasanya. Narasi yang ada di dalam buku ini merupakan tanda bahwa kita selama ini masih memandang manusia sebagai alat untuk pencapaian kekuasaan, alat pembenaran tindakan kejam, sebagai alat untuk melanggengkan otoritas yang sebenarnya tidak sah, dan tidak pernah boleh menjadi sah selama darah dan daging manusia adalah harga yang harus dibayar.
Menyeberangi Sungai Air Mata – Yulianus Febriarko
Pada bagian ketiga, Romo Marwan menyuguhkan kisah para korban dengan kontekstualisasi pada hidup sehari-hari di zaman sekarang. Kita disuguhi semacam renungan tentang nasib para korban pada zaman ini yang masih butuh untuk didengarkan. Meskipun peristiwa itu sudah lewat lebih dari 42 tahun, para eks tapol dan keluarganya masih dianaktirikan oleh pemerintah dan masyarakat sampai sekarang. Berbagai tindakan diskriminasi masih terjadi mulai dari sulitnya mencari pekerjaan sampai pada urusan menguburkan tulang belulang para korban pembantaian karena cap PKI masih menempel pada diri mereka. Ditulis juga tentang sebuah usaha rekonsilisasi nasional yang telah diupayakan namun gagal di tengah jalan. Permintaan maaf telah dilontarkan, namun untuk sebuah rekonsiliasi, permohonan maaf saja belum cukup. Ia harus diselimuti pertobatan yang radikal dari institusi-institusi atau orang-orang yang menyadari diri pernah berlaku sebagai penindas kemanusiaan.
Menempuh Jalan Rekonsiliasi Bersama Korban – AFTHONUL AFIF
Dalam catatan pengantarnya untuk buku ini, St. Sunardi dengan penuh simpati menempatkan buku ini seperti organisme yang mampu bertutur dengan lembut, penuh refleksi dan simpati, meskipun informasi yang disajikannya juga membawa kepentingan ilmiah. Menurut Sunardi, buku ini menjadi menarik karena dua hal. Dari satu sisi, buku ini muncul dari permenungan teologi. Teologi telah menjadi jalan untuk memasuki wilayah yang luas. Teologi menjadi jalan untuk menjadi lebih sensitif. Teologi bisa berjalan dengan cara ini sejauh teologi berkaitan dengan tanggung jawab. Jika teologi berkaitan dengan Tuhan, Tuhan di sini dipahami sebagai titik temu antara realitas ketuhanan dan kemanusiaan. Bila buku ini lebih banyak berkisah daripada menstigmatisasi atau berargumentasi, harus dilihat sebagai cara untuk menentukan medan teologi di zaman sekarang. Medan ini penting untuk menciptakan horizon baru bagi orang-orang beriman pada zaman sekarang.
Dari sisi lain, buku ini telah memberikan tawaran pada ilmu-ilmu lain untuk bekerjasama. Buku ini menawarkan penulisan sejarah atau kisah tidak secara kering, melainkan dengan keterlibatan penuh. Setiap praktik keilmuan memang terkait dengan ideologi. Buku ini lebih radikal menunjukkan pada nilai, dan nilai yang diajukan adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi adalah nama lain dialektika. Jadi ada proses. Secara tidak langsung buku ini menunjukkan bahwa stereotipe yang kita punyai selama ini lahir dalam proses. Buku ini mengajak sebuah proses baru yang lazim disebut rekonsiliasi.
simak pula
Mendengarkan Suara Saksi dalam Sajak-sajak Joseph Sali (Mantan Tapol ’65) – Antonius Sumarwan SJ)
Dalam kasus tragedi ’65, kesaksian para korban sering kali tidak hanya dibuat bisu dalam arsip, bahkan masih banyak pihak yang menginginkan kesaksian mereka ini terhapus dari catatan perjalanan bangsa Indonesia dan peziarahan kemanusiaan. Supaya generasi muda memperoleh pandangan yang lengkap dan imbang tentang masa lalu, dan karenanya menjadi kritis serta bijaksana, kesaksian yang dibungkam ini perlu disuarakan dan upaya penghapusan perlu dilawan dengan menuliskannya. Joseph Sali, salah satu korban tragedi ’65 yang pernah dibuang ke Pulau Buru, menuliskan kesaksiannya dalam bentuk sajak. Sajak-sajak ini tidak hanya meminta orang agar mendengarkan, melainkan juga berseru agar orang bertindak untuk melantangkan kebenaran dan menegakkan keadilan, bagi para korban dan demi masa depan bangsa Indonesia.
Berputar-putar selama bertahun-tahunMenit menjadi jam dan jam menjadi tahunTiada yang berubah. Tiada yang dapat berubah.Semua hanya berputar-putar dan membawamu ke titik awal.Semua hanya berputar-putar dan membawamu ke titik awalpetikan lirik lagu Turning dalam artikel Antonius Sumarwan, SJ Penyelesaian Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) 1965: Semua Harus Bergerak
Editor: Yoseph Yapi Taum dan Antonius Sumarwan, SJ
simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)