Kehilangan (Penghilangan Paksa), Trauma, Pencarian, Memorabilia ‘1965-1966’ (Kisah Dadang Christanto, Rangga Purbaya, Tintin Wulia, Farid Stevy Sirin, Yennu Ariendra, Maharani Mancanegara, Agung Alit)

ilustrasi foto : Luweng Grubug. Luweng ini diduga kuat tempat kakek Rangga Purbaya dan kakek Farid Stevy Sirin dieksekusi / dilenyapkan

.

Cerita tentang pembantaian manusia membekas kuat di hati Dadang. Dia sendiri bisa dikatakan sebagai korban. “Ayah saya diangkut dengan truk pagi-pagi buta, sementara saya tidak mengerti apa-apa,” kata Dadang. “Sejak saat itu, saya tak pernah lagi bertemu ayah.” Peristiwa 1965 itu terus membekas dalam benak Dadang, hingga saat ini.

Lewat karyanya, seakan Dadang ingin bercerita tentang sejarah pahit masa lalunya. Ia ingin membuat orang-orang yang melihat karyanya merasakan keterlibatan emosi. They Give Evidence bukan sekadar dongeng mengerikan tentang pembantaian manusia. Ia menjadi hantu yang mengikuti perjalanan hidupnya.

disalin dari Dadang Christanto Bangun Studio 1965 Artspace di Australia – Alfred Ginting AUSTRALIA PLUS

Dadang Christanto1965 Artspace : Kehilangan, Trauma Hingga Protes dan Memorialisasi Genosida1965-1966 

Dadang Christanto : Genocide 1965-1966 [IN RED; DARAH ITU MASIH SEGAR JENDERAL]

Dadang Christanto : Indonesia Genocide and  Painted Black on Their Faces [Pameran Online]

Dadang Christanto : Genocide, Heads from the North and Buried in the Beach 

Heads from the North Karya Dadang Christanto, Memorial (Monumen Peringatan) Pembunuhan Massal 1965-1966 Di National Gallery of Australia Sejak Tahun 2004 

“Baru sekarang saya memahami konteksnya: bahwa harapan untuk menemukan kakek dalam keadaan hidup itu selalu ada. Inilah yang membedakan antara korban yang tewas dengan yang hilang.”

disalin dari Dimana Kakek? – Rangga Purbaya

[pameran online] Investigasi Boentardjo : Menarasikan Sejarah Melalui Seni. *Pencarian Rangga Purbaya Atas ‘Hilangnya’ Sang Kakek, Pengurus Barisan Tani Indonesia 

Rangga Purbaya : Surat Kepada Seseorang Yang Hilang/Letter To TheLost One (pameran online)

Before meeting the  #1965setiaphari community, Farid’s search for his grandfather was only based on clues from a relative’s dream. In the dream, his grandfather is standing shirtless, with his right pant leg rolled up to the knee. Farid and many in his family believe that the dream was some sort of code.

“Luweng Grubug fits all the codes in the dream. My father also felt the same way; he felt his father was there.”

disalin dari Collective strives to shine the light of truth on Indonesia’s 1965 tragedy – THE JAKARTA POST

Cerita tentang Mbah Sirin Kakekku, Farid Stevy : Setelah 55 Tahun Merindukan dan 11 Tahun Terakhir Mencari….. (*4.21 Video Music) 

Dari pengalaman personal dan sejarah keluarga inilah kemudian Rangga Purbaya dan Farid Stevy Sirin dengan dukungan kawan-kawan lain memulai proyek pemetaan nrasi tanding ‘1965’

PEMETAAN NARASI TANDING ‘1965’ – FAITH IN SPECULATION : AN OFFERING TO THE GOD OF PROBABILTY.. 

For Tintin the art works represent her own search for the truth behind the 1965-1966 atrocities, which anthropologist Robert Lemelson refers to as an Indonesian tragedy in his 2009 documentary movie.

Tintin is neither a historian nor an anthropologist, but her passion for the truth-seeking exercise, which she says is driven by the disappearance of her grandfather Liauw Liong Kee in the 1965 turmoil, constitutes awareness of the country’s new vision of Indonesian history.

dipetik dari Artist Tintin’s struggle to uncover the truth – the Jakarta Post

1001 Martian Homes : Permenungan dan Imajinasi Tintin Wulia IniBermula Dari ‘Hilangnya’ Sang Kakek di Tahun 1965 

Tintin Wulia Exhibition : Subtext – after Kawara’s Title, 1965 (2019) #1965setiaphari #living1965 

“Kakek saya hilang menjadi korban tragedi 65” ungkap Yennu Ariendra membuka pertunjukan. Dari atas panggung, seniman kelahiran Banyuwangi itu tampak memiliki keberanian penuh dalam mengisahkan narasi personal dan domestik. Pada 1968, kakeknya yang diisukan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dijemput 2 orang tentara dan tidak pernah kembali lagi. Peristiwa sejarah kelam dan penghilangan paksa ini, dahulunya “tabu” untuk dibicarakan apalagi kembali diperistiwakan. “Keluarga tertutup dan sensitif. Tapi itu justru membuat saya penasaran,” tuturnya.

Kisah Yennu di atas menjadi penanda awal peristiwa panggung sekaligus gagasan pijakan pertunjukan. Sejak tahun 2008, ia menggali tema sejarah kelam Indonesia ini sebagai di dalam proyek musik kontemporer. Baru kali ini ia berani menguak dan menghidupkan ingatan-ingatan kelam tersebut.”

Disalin dari Menghidupkan Bunyi Ingatan Kekerasan Dalam Narasi Gandrung – Ratu Selvi Agnesia

Menara Ingatan – Musik Kontemporer Yennu Ariendra

Kenangan, Ingatan dan Rekonstruksi Memori Keluarga, Karya Rupa Maharani Mancanegara (Interupsi Dalam Sejarah; Parodi Partikelir Penjara Koblen)

Dari ‘Zero Sum Game’ Hingga Hikayat Wanatentrem – Karya Rupa Maharani Mancanegara *kisah para Tapol ’65 di Pulau Buru termasuk juga kisah kakeknya

Ini rumah bapak saya yang diratakan massa pada peristiwa ‘65. Bapak saya, seorang guru, dibantai 25 Desember 1965. Rumah ini saya jadikan Taman 65 untuk memperingati peristiwa keji itu, sebagai Taman Melawan Lupa untuk orang-orang yang ingin belajar tentang hoax ‘65. Di Bali peristiwa ini makan korban 80 ribu orang, mengerikan. (teks dan cover foto Agung Alit – disalin dari Living1965setiaphari)

Memorial (‘Monumen Peringatan’) Taman 65.

Komunitas Taman 65 : Memorabilia dan Rumah Sejarah Ingatan Kita

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s