ilustrasi dari cover buku Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan Ruth T. McVey
*Pemberantasan Buta Huruf oleh Gerwani cabang Gambir Ranting Halimun, 1962. Berdasarkan foto asli koleksi Oey Hay Djoen
TK Melati, Wujud Komitmen Gerwani Memberantas Buta Huruf – tirto.id
Kajian 1
Esai ini menguraikan bagaimana Gerwani menjalankan kegiatan-kegiatan pendidikannya di lapangan. Saya memfokuskan perhatian pada kegiatan pendidikan Gerwani bagi kaum perempuan melalui pendidikan kader, penyelenggaraan kursus PBH, berbagai kursus keterampilan, dan juga pendidikan bagi anak-anak melalui TK-TK Melati. Dari deskripsi tentang kegiatan-kegiatan pendidikan Gerwani di lapangan saya menarik kesimpulan tentang gagasangagasan Gerwani atas pendidikan untuk kaum perempuan. Esai ini disusun berdasarkan sejumlah wawancara kisah hidup (life-history interview) yang saya lakukan terhadap kader tengah dan rendah Gerwani, serta terhadap guru-guru TK Melati3 . Ada dua alasan mengapa saya memilih untuk berangkat dari tuturan mereka dan bukannya dari dokumen-dokumen tertulis yang ada. Pertama, Gerwani tidak pernah merumuskan secara jelas gagasannya tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, pelaksanaan program pendidikan Gerwani banyak bergantung pada interpretasi para kader rendah dan tengah atas program-program yang diputuskan oleh pusat, pemahaman mereka atas kebutuhan masyarakat di wilayah masing-masing, dan juga pada inisiatif dan kemampuan mereka untuk menyelenggarakan kegiatan.
Kajian 2
Titik Balik Gerwani, From Hero to Zero – Theodora J. Erlijna
Pada 1950, Indonesia baru keluar dari situasi perang. Pemerintah menetapkan peningkatan dan perluasan pendidikan sebagai prioritas pembangunan bangsa[6]. Pendidikan dianggap sebagai prasyarat dasar untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial di Indonesia[7]. Gerakan perempuan yang sejak paruh pertama abad 20 berpengalaman melakukan gerakan pemberantasan buta huruf, segera melibatkan diri dalam proyek nasional ini dengan membangun ratusan, bahkan mungkin ribuan, taman kanak-kanak (TK) dan kursus-kursus pemberantasan buta huruf (PBH)[8]. Gerakan perempuan menambahkan kepentingan mereka yaitu, memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak di dalam tujuan gerakan pendidikan nasional.
Gerwani, sebagai bagian dari gerakan perempuan, terlibat dalam gerakan pendidikan nasional itu. Seperti dikatakan oleh Andhika, “Pemberantasan buta huruf itu memang pekerjaannya [Gerwani]. Sampai di gunung-gunung itu ada” (Blitar, 8/12/00). Gerwani mengklaim telah mendirikan 1.478 TK Melati[9] di berbagai wilayah di Indonesia. Namun lebih dari sekadar memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak, Gerwani memaknai keterlibatan mereka sebagai perwujudan dari hak yang sama bagi perempuan dan laki- laki untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat dan menentukan arah kehidupan berbangsa.
Arah yang ingin dituju Gerwani adalah menuntaskan akar dari kebodohan dan kemiskinan kaum perempuan sendiri, yaitu feodalisme dan sisa-sisa kolonialisme. Oleh karena itu, mereka tidak hanya berhenti pada menyelenggarakan TK dan kursus PBH, tapi juga melakukan aksi-aksi pembelaan terhadap kaum tani dan buruh, dan bersama-sama dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya menuntut undang-undang perkawinan yang lebih demokratis. Mereka juga menuntut pencabutan Inlandsche Gemeente Ordonnantie No. 212 yang melarang perempuan menjadi kepala desa.
Arsip Organisasi
Arsip Pedoman Bekerdja – Gerwis (1950)
Arsip Peraturan Dasar Gerakan Wanita Indonesia (1954)
simak pula
[kompilasi] Mozaik Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia, GERWANI dan Penghancurannya
[kompilasi] Mozaik Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia, GERWANI dan Penghancurannya
Kompilasi Tinjauan Buku / Resensi Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia – Saskia E. Wieringa
Jaringan Internasional Gerwani dan Dinamika Keanggotaannya Dalam Women’s International Democratic Federation (WIDF)
simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)



Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)