Yang Paling Hebat Dalam Hidup Adalah Keberanian Untuk Mengingat – Nuraini Juliastuti
(kata pengantar buku Dari Dunia Dikepung Jangan dan Harus)
Hersri, Trauma dan Amnesia Sejarah – Dr. Riwanto Tirtosudarmo (Tinjauan Buku)
Hersri dan Pram, sekedar untuk menyebutkannya sebagai contoh dari kaum intelektual yang dengan kegigihannya bisa bertahan dari gulag Orde Baru dan saat ini melalui tulisan-tulisannya menyodorkan narasi sejarah dari dunia yang selama ini dibekap menjadi sangat penting bagi orang-orang seperti saya yang memiliki ingatan tipis tentang peristiwa 1965 dan sejarah yang mengitarinya.
Tulisan-tulisan dari kaum intelektual seperti Hersri dan Pram, juga Tejabayu; betapapun mungkin intonasinya yang keras dan getir, dengan sedikit empati dan simpati yang masih tersisa di diri kita, seharusnya kita terima dengan hati yang lapang. Kita, dan orang-orang seperti saya, yang berada di simpang kanan jalan adalah orang-orang yang disadari atau tidak disadari berada di sisi mereka yang menang, mereka yang berhasil menumbangkan Bung Karno dan meskipun tidak ikut berlumur darah telah berperan dalam penyingkiran dan pembungkaman ribuan, mungkin jutaan orang-orang seperti Hersri dan Pram.
Betapapun kuatnya kemampuan empati kita masih tak akan mampu merasakan sakitnya telinga yang kemudian menjadi tuli karena dipukul popor bedil atau dimasukkan seekor jangkrik ke dalam lubangnya. Kesakitan, kepedihan, sufferings; adalah pengalaman yang paling riil kata Yuval Noah Harari. Bagaimana mungkin sebagai bangsa kita bisa tega membunuh sesama bangsa sendiri, memenjarakan dan mengasingkannya selama bertahun-tahun?
“Sejarah selain merupakan warisan juga adalah tandon atau reservoir. Dan dari tandon yang satu ini kita ambil api atau airnya, dengan membawa nyala atau pikulan air, untuk menciptakan tandon-tandon baru, sementara itu tandon yang lama tidak menjadi kering atau padam.” – Hersri Setiawan, dalam esainya Merebut Ruang Negosiasi-
Peluncuran dan diskusi buku Dari Dunia Dikepung Jangan dan Harus menjadikan karya tulis Hersri Setiawan sebagai tandon pengetahuan; sumber api pemantik ingatan dan sumber air pelepas dahaga imajinasi politik. Nuraini Juliastuti akan menyampaikan pandangannya tentang bagaimana tulisan-tulisan Hersri menjadi senjata dan azimat politik untuk mengetengahkan narasi sejarah tandingan dan proposal masa depan bagi gerakan kebudayaan. Tintin Wulia akan menyampaikan pembacaan atas cerita-cerita Hersri dalam kaitannya dengan ingatan, imajinasi, perlawanan, dan kebangsaan. Pembacaan ini akan ia jalin dengan cuplikan dari karyanya – di mana Hersri juga bercerita – A Thousand and One Martian Nights (2017), yang antara lain bersumber dari cerita-cerita yang terkumpul lewat #1965SetiapHari.
Persilangan gagasan kedua narasumber ini akan menjadi pijakan awal forum diskusi untuk membicarakan, antara lain, tentang paradigma sejarah politik mengingat(-ingat), orientasi gerakan kebudayaan rakyat pasca genosida 1965, serta medan kerja kolektif untuk menumbuhkan imajinasi politik baru.Ayo, sangat boleh dan mengapa tidak, kita bertukar pikiran dalam peluncuran dan diskusi buku Dari Dunia Dikepung Jangan dan Harus.-
Sila mendaftarkan diri melalui pranala bit.ly/kuncidikepung untuk mengikuti diskusi ini.
HERSRI SETIAWAN :DEBU SEJARAH PENYERU PEMERDEKAAN DARI KEBODOHAN DAN RASA TAKUT
[Kompilasi Resensi Tinjauan Buku] Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan
Studi ‘1965’ dan Kesaksian (Sejarah Keluarga) Ken Setiawan [*Putri Seniman Lekra dan Tapol Buru Hersri Setiawan]
Proyek Penelitian Sejarah Lisan ‘1965’ : In Search of Silenced Voices / Mencari Suara Yang di Bungkam – Hersri Setiawan
simak 1400 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)