Judul Buku : Lentera Batukaru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965
Penulis : Putu Setia
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak : 2019Tebal : vi + 258 halaman
ISBN : 978 602 481 143 3
“Saya betul-betul tak paham apa yang terjadi. Dua hari saya mengungsi di kebun, tidur di pondok bersama dua anak yang terus menangis menanyakan ayahnya. Untung masih ada seorang mantri suntik yang bertugas di desa ini membawakan beras untuk dimasak. Saya pulang ke desa setelah diberi tahu kelihan dinas kalau saya tak kena garis, apalagi anak-anak masih kecil. Yang kena garis cuma Bli Mastra saja. Itu pun pasti ada orang jahat yang melaporkan macam-macam…”
Saya melipat kembali surat itu. Yang saya bayangkan kemudian bukan soal ngaben. Bukan soal bagaimana memanggil roh ayahnya Kerti. Yang saya bayangkan dan ini sangat mengganggu pikiran saya: “Jadi Kerti itu tahu kalau ayahnya meninggal dunia tanpa tahu di mana dikuburkan?”Kejam betul….
Lentera Batukaru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965 merupakan kisah kekerasan yang menimpa keluarga kecil di lereng Gunung Batukaru, Bali. Mereka tiba-tiba saja dicap ikut organisasi terlarang. Kerabat keluarga malang ini, yang juga larut dalam berbagai pergolakan, menuliskan memoar kegetiran itu dengan pendekatan jurnalistik. Ia tak cuma merekam politik keruh pasca-1965, tetapi juga kekerasan politik jelang pemilu 1971. Putu Setia, penulis cerita ini, yang sekarang menjadi pendeta Hindu, akhirnya mengubur kisah kepedihan yang tenang dengan menyalakan lentera kedamaian lereng Batukaru yang sejuk.


#HIGHLIGHT – Pustaka Bentara “Buku Lentera Batukaru karya Putu Setia” di BBB
Menyalakan Lentera, Menyembuhkan Luka – YOSEPH YAPI TAUM (harian kompas)
Potret kehidupan politik di tahun 1965-1967 yang banyak disebut para ahli sebagai ill-understood period ini digambarkan dengan terang oleh Putu Setia. Dengan sudut pandang seorang anak kelas III SMP yang polos, ada banyak informasi sejarahyang tersaji di dalamnya. Ketika itu pedoman atau ajaran Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) harus diikuti.Di sekolah pun unsur Nasakom sedapat mungkin dipertahankan. Siswa-siswa SMP diminta ikut terjun ke politik denganmenjadi anggota organisasi onderbouw partai. Putu sendiriberafiliasi ke organisasi Gerakan Siswa Nasional Indonesia(GSNI) karena warga kampungnya tergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Selain GSNI yang sangat dominan disekolahnya, ada pula Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI)yang menjadi onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Malapetaka: September dan Oktober – Bandung Mawardi (koran sindo)
Malapetaka itu selalu teringat setiap September dan Oktober. Putu Setia memiliki pengalaman buruk, berikhtiar ingin melupa tapi sulit. Ia sampai di keputusasaan: “Memang, sebaiknya kepedihan yang terkait dengan peristiwa Gestok, G-30-S, Pemberontakan PKI–apa pun namanya lagi–seharusnya disudahi. Saya pun tak ingin mengenangnya lagi. Lupakan.” Kalimat-kalimat itu mengandung putus asa, setelah Putu Setia menggunakan puluhan halaman mengisahkan malapetaka terjadi di Bali. Di buku berjudul Lentera Batukaru, ia justru mengenang dulu untuk mengajak ke “melupa” gara-gara dampak malapetaka 1965-1966 masih terasa sampai sekarang. Tragedi-tragedi masih menimpa meski sejarah perlahan digugat dengan tumpukan bukti dan argumentasi.
Upaya Rekonsiliasi dengan Trauma Masa Lalu – Fathia Nurul Haq [media indonesia]
Kenangan Kelam di Batukura – Lestantya R. Baskoro (koran tempo)
simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)