“Every time I work with them I feel that I am working with my mother”* : Agung Kurniawan Dari Dunia Milik Kita, Gejolak Makam Keramat Hingga Sri : Sebuah Biografi dalam 65 Kata (*dari The Jakarta Post) 

Agung Kurniawan: Humanizing humans through art – The Jakarta Post

In July last year at UGM, Agung staged a play titled Gejolak Makam Keramat(Sacred Grave Unrest) in a bid to heal the traumatic memories of 1965 survivors as well as to make the young generation aware of the tragedy, which he said had structurally and geopolitically changed the face of Indonesia from socialism to capitalism. 

For him, the survivors are like his mother. “Every time I work with them I feel that I am working with my mother,” said Agung, who has never been threatened or attacked for supporting the survivors, although the 1965 issue is still taboo.

He also put on a show titled Sri: Sebuah Biografi dalam 65 Kata (Sri: A Biography in 65 Words) in August last year as a pre-opening event at Museum MACAN in Jakarta. 

The show retold the true story of survivor Sri Wahyuni, a famous singer who was jailed without trial for five years for unclear reasons in Semarang, Central Java.  She was accused of being affiliated with the Indonesian Communist Party (PKI) as she worked at Melati kindergarten, which was founded by the now-defunct leftist artists association Lekra.

Aged 87, Sri is one of around 20 remaining survivors in Yogyakarta. They have a group named Kiprah Perempuan (Women’s Action), and hold arisan or social gatherings once every two months, in which Agung also participates.  

Before finding out about that group, Agung took part in the making of Dunia Milik Kita (The World Belongs to Us) in 2016, the first album of Dialita, a choir made up of the relatives of survivors of the 1965 tragedy.

He said if people deem the 1965 survivors weak, they are wrong. For him, they are wonder women who are mentally and physically strong and they have taught him to not easily give up. 

Tentang September Something

Salah satu projek ini adalah “September Something”, yang digagas pada 2004, melibatkan  seniman muda beberapa di antaranya adalah Anang Saptoto, Hendra Harsono, Faturrohman “Indun”, Prihatmokky, Sadat Laope, Sari Handayani & Pitra Ayu, Janu Satmoko, Rudi Dharmawan, Edwin “Dolly” Ruseno, , Uji Handoko, Iwan Effendi,  dan Gede Krisna. 

Sebagai inisiator projek ini, Agung menyebut: “Proyek seni visual ini berupaya untuk melihat persoalan ”pemban taian/trauma 1965” dari sudut pandang generasi yang lahir pada masa ‘puncak keemasan orde baru’. Proyek seni visual ini berangkat dari semangat bahwa seni rupa yang berparadigma a la Fine art tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya pilihan bagi seniman muda, karena itu secara tidak langsung itu adalah upaya depolitisasi sistimatis terhadap disiplin seni. Oleh karena itulah proyek seni semacam ini perlu diadakan terus menerus.” 

disalin dari MENJADI SUBVERSIF MENCARI ALTERNATIF: Praktik Seni Agung Kurniawan – Alia Swatiska

Album Paduan Suara Dialita : Dunia Milik Kita

Eksekutif Produser: Agung Kurniawan

Produser: Wok The Rock

“Gejolak Makam Keramat” – Teater Tamara *Teater Tamara (Tak Mudah Menyerah) adalah Teaternya Ibu-ibu Penyintas ’65 Yang Tergabung Dalam KIPPER (Kiprah Perempuan)  

AGUNG KURNIAWAN [Sri Sebuah biografi dalam 65 kata] by bekèn creativeducation

Jalan Panjang Ekspresi Karya Agung Kurniawan – Hamada Mahaswara [sarasvati.co.id]

Dua tahun terakhir (citatan admin, artikel ini ditulls tabun 2017), Agung giat menggeluti persoalan tragedi 1965 meskipun ia telah memulainya sejak proyek September Something hampir satu dekade silam. Proyek ini menggugah seniman seperti Iwan Effendi dan Uji Hahan Handoko untuk menelusuri sejarah pahit dan tragedi yang menimpa keluarganya. Dalam pertunjukan Dialita (Dunia Milik Kita), ia mengajak ibu-ibu eksponen tahanan politik untuk mementaskan kembali lagu nasional dan lagu yang dahulu dinyanyikan dalam bui.

Terakhir dalam Gejolak Makam Keramat, Agung mengadaptasi naskah Leng yang menceritakan problem sosial tentang penggusuran makam keramat untuk pabrik, sebagai bentuk kekuatan kapital yang dapat menekan struktur sosial di bawahnya. Permasalahan ini masih aktual sampai sekarang, bahkan dengan upaya yang lebih masif. Konsep dari pertunjukan adalah teater semaan yang memiliki bentuk menyimak teks atau membaca teks.

Pada pertunjukan ini penonton sebagai kunci pertunjukan, yaitu menjadi aktor ke-14. Pertunjukan ini diperankan oleh Teater Tamara (Tak Mudah Menyerah), beranggotakan ibu-ibu lanjut usia yang melalui sejarah panjang politik Indonesia. Dalam proyek yang terakhir, kekuatan besar Agung terletak pada keberaniannya berkolaborasi dengan subjek yang memiliki latar belakang kompleks dan kondisi fisik yang tak lagi bugar.

simak pula kisah Sri Wahyuni (Bu Nik)

Sri Wahyuni (Bu Nik) : Disasar Karena Menari *simak “Cucuku” Frau featuring Kohler Clarinet Quartet dan “Rawa Pening” Kroncongan Agawe Santosa Berdasar Lagu Yang Ditulis Bu Nik #Penyintas65 

1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s