Kisah-kisah Sindhunata Dari Kamp Pulau Buru dan Perjumpaannya Dengan Pramoedya Ananta Toer Tahun 1977

Dari kumpulan kisah yang ditulisnya dari Pulau Buru, Sindhunata mengungkap bahwa manusia sangat mendambakan kebebasan. Bagi para tahanan di Pulau Buru, kebebasan berarti dipulangkan ke Jawa. Pulang ke tempat asal dan berkumpul dengan para keluarganya (hal. 19). Meski mereka telah dianggap bebas oleh tentara, namun kebebasan versi tentara itu sama sekali bukan kebebasan yang didambakan oleh para tahanan. “Di sini tidak ada kawat berduri atau senapan. Mereka Bebas,” kata Letkol Karyono (hal. 7). Jelas sekali bahwa makna kebebasan bukan sekedar bebas dari rantai atau belenggu, atau kungkungan kawat berduri dan todongan senapan. Kebebasan adalah saat manusia bisa tinggal di tempat yang diinginkan dan menyatu dengan keluarga yang dicintainya.

Kebebasan yang belum bisa terwujud menyebabkan manusia berangan-angan bahwa dirinya bebas. Setidaknya dalam benaknya merasa pernah bebas. Sindhunata menggambarkan dengan sangat indah tetapi trajik tentang kebebasan dalam angan-angan ini. Dalam artikelnya “Pulang ke Jawa”, ia menggambarkan bahwa para tahanan mulai menyiapkan diri untuk bermimpi saat malam tiba dan lampu listrik sudah dipadamkan. Mereka menyiapkan diri untuk “pulang” bertemu dengan anak dan istrinya. Bermimpi tentang kebahagiaan yang dirasakannya. Namun saat pagi tiba, atau bahkan sering juga tengah malam saat mereka terbangun kebebasan dalam angan-angan itupun direngut kembali oleh kenyataan. Kerinduannya akan anak-anak yang dicintai diwujudkan dengan menamai binatang-binatang dengan nama anak-anak yang dicintai. Ada anjing, kucing, sapi dan kerbau yang diberi nama Lucy, Larasati, Susi dan nama-nama anak-anak lainnya. Para tahanan politik ini memperlakukan para binatang seperti memperlakukan anak-anak mereka. Kerinduan kepada anak-anaknya ditumpahkan dalam bentuk perlakuan saya Kerinduan kepada anak-anaknya ditumpahkan dalam bentuk perlakuan saya kepada para binatang. “Kami buat begitu, hanya sekedar untuk mengingat anak-anak kami yang sangat kami rindukan,” kata Moestopo salah seorang tahanan politik (hal. 9).

dari tinjauan buku Dari Pulau Buru ke Venesia – Handoko Widagdo

arsip foto Kompas Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, tahun 1977 oleh Sindhunata

KENANGAN PARA PEWARTA – Majalah Tempo

Sindhunata dan Max Lane adalah dua dari segelintir orang yang memungkinkan karya-karya Pramoedya diterbitkan, bahkan mendunia

https://majalah.tempo.co/read/iqra/119288/kenangan-para-pewarta

Dalam contoh kisah liputan, wartawan 67 tahun,  kelahiran Kota Batu, 12 Mei 1952 ini,  juga menampilkan karya reportasenya di Pulau Buru,  menayangkan ulang foto karyanya, saat sastrawan Pramoedya Ananta Toer sedang mengetik di sana – dan kemudian kondang dengan novel tetraloginya. Tubuhnya masih nampak tegap.

Perlu keberanian dan nyali bagi wartawan era 1980-an untuk ke Pulau Buru dan mewawancarai tahanan politik rezim represif Orde Baru.

dipetik dari Sindhunata Bukan Kita – Dimas Supriyanto / trenzindonesia

Elsewhere he has remarked that his work as a journalist has taken him to places priests seldom visit – one notable case in point being his visit in 1977, as a 26-year old Kompas journalist, to the political prisoners exiled on the distant island of Buru, where he was able to bring reassuring messages to Pramoedya Ananta Toer from his family. Pramoedya seems to have responded warmly to this man “with long hair and light-coloured skin,” about the same age as his oldest daughter. They discussed Pramoedya’s situation, and wider issues of literature and politics, and Sindhunata left with a recorded message for Pramoedya’s family.5 

disalin dari Sindhunata: An Indonesian Writer in his Context – Simon Rae dalam Archipel Journals

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar