Asmara Hadi: Pengusung Api Nasionalisme – koransulindo
Dikenal sebagai pengikut Bung Karno dengan garis politik nasionalis-radikal. Selain politikus, Asmara Hadi juga dikenal sebagai wartawan dan penyair andal
Asmara Hadi saat itu adalah anggota Komite Khusus DPP PNI, yang ditugaskan merancang rumusan baru ideologi partai. Karena itu, tepatlah bila ia mendesak pimpinan partai untuk kembali menilai kembali kedudukan partai dari segi ideologi partai. Kalau mau menjadi partai pelopor, katanya, “PNI harus melebur ideologi partai ke dalam organisasi partai, membuat peraturan yang lebih keras bagi anggota-anggota baru untuk mencegah masuknya orang-orang yang hanya memanfaatkan partai demi tujuan pribadi.”
Tapi, kritik Asmara Hadi dan kawan-kawannya sesama nasionalisme-radikal itu tidak diindahkan pimpinan PNI. Maka, kelompok ini kemudian mendirikan Partindo. Pendirian Partindo itu diumumkan pada 5 Agustus 1958. Sebagai Ketua Partindo ditunjuk Winarno Danuatmodjo, aktivis PNI yang pernah menjabat Residen Surabaya dan Gubernur Sumatera Selatan. Asmara Hadi menduduki posisi Wakil Ketua II.
Dalam pengumuman pendiriannya disebutkan bahwa partai ini merupakan kelanjutan Partindo sebelum perang dan berdasarkan “Marhaenisme yang sebenarnya”, yaitu yang didasarkan pada “Marxisme yang diterapkan untuk kondisi Indonesia”. Manifesto politik Partindo menelusuri perkembangan perjuangan Marhaenis dari masa sebelum perang, melalui revolusi dan “masa liberal”. Garis besar haluan manifesto mengikuti apa yang sebelumnya diambil para pemimpin pembaruan PNI, seperti Asmara Hadi dan (almarhum) Sarmidi Mangunsarkoro. Dikatakan bahwa meningkatnya “dominasi unsur-unsur borjuis dan liberal” dalam perjuangan telah menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusioner Marhaenis. Tugas Partindo adalah mengembalikan Marhaenis kepada tujuan-tujuan semula. (Rocamora, 1991: 273-274)
Menurut Joel Rocamora, dalam Nasionalisme Mencari Ideologi (LP3ES, 1991), meski tidak secara terbuka, Bung Karno mendukung pendirian Partindo. Garis politik nasionalisme-radikal yang ditetapkan Partindo sesuai dengan keinginan Bung Karno masa itu. Apalagi, di masa-masa itu, Bung Karno merasa kecewa dengan gerak konservatif PNI dibawah pimpinan Soewirjo.
The party leadership’s failure to confront Indonesia’s political crisis in a coherent way also had severe consequences for internal party politics. During the years of Suwirjo’s leadership (1956-1960), chaos pervaded the party’s provincial network. In East Java, one group of party activists openly criticized their provincial leadership. In South Sumatra, and in North and South Sulawesi, dissident factions set up their own provincial committees. Top party leaders, such as Iskaq Tjokroadisurjo and Sartono, were known to hold critical views on Suwirjo’s compromises with Sukarno and the Army.
The result was a growing challenge to the party leadership, manifested when some left-wing leaders broke away to form a new party, Partindo, in August 1958. Though the new party did not attract many PNI members to its ranks, it presented an effective critique of Suwirjo’s leadership which had important repercussions within the PNI. Widely publicized statements by Partindo leaders at the time of the split criticized the PNI leadership for the discrepancy between itsrhetoric and its actions. Partindo leaders, in particular Asmara Hadi, questioned the PNI’s professed dedication to the cause of the rakjat Marhaen (the common people), since the party refused to act against the landlords, big businessmen and corrupt politicians within its own ranks. Partindo proposed a redefinition of the PNI ideology Marhaenism, which would link it directly to Marxist class analysis. The Partindo attack followed the lines of Sukarno’s general offensive against the party system and served further to weaken PNI resistance.
disalin dari THE PARTAI NASIONAL INDONESIA 1963-1965 J. Eliseo Rocamora [ecommons.cornell.edu] *halaman 149
Winarno Danuatmodjo Ketua Partindo ‘1958’
Semasa masih aktif di Partai Nasional Indonesia ia berturut-turut menduduki posisi Residen dan Gubernur (terakhir Gubernur Sumatera Selatan 1955-1957) selain terpilih menjadi anggota Konstituante
Semasa Bergabung dengan PARTINDO ia terpilih Asisten Urusan Sipil pada Musjawarah Pembantu Pimpinan Revolusi
simak
selain Asmara Hadi dan Winarno Danuatmodjo pendiri Partindo ‘1958’, tercatat Winoto Danuasmoro yang kemudian diangkat menjadi anggota DPR tahun 1960 dan Sekretaris Pribadi Sukarno
Menelusuri Kisah Mbah Winoto, Sekretaris Pribadi Sang Proklamator di Purworejo – jogjatribunnews
Menurut Daniel Lev, OTT jelas dipengaruhi pemikiran Bung Karno. Kemarahan Sukarno terhadap kolonialisme, keinginan Bung Karno untuk menentang intervensi asing, impian untuk mempersatukan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan kepribadiannya, hingga komitmen untuk melangkah menuju masyarakat adil dan makmur menarik perhatian OTT.
Lewat beberapa pertemuan dan diskusinya dengan Asmara Hadi, OTT berhasil diyakinkan untuk masuk ke Partindo, setelah organisasi ini dihidupkan kembali pada 7 Agustus 1958. Asmara Hadi adalah penyair dan orang dekat Bung Karno. Baru sebentar menjadi aktivis Partindo, OTT kemudian diorbitkan sebagai salah satu ketua muda. OTT juga menjabat sebagai ketua Gerakan Tani Marhaen, sekalipun ia minim pengalaman di isu-isu seputar pertanian.
Namun demikian Partindo juga tidak lepas dari kritik pedasnya. Salah satunya adalah kecenderungan terjadinya pengelompokan-pengelompokan anggota di dalam tubuh partai. Menurutnya, ada golongan yang menepuk dada sendiri sebagai ‘Marhaenis Sejati’ lantas menilai orang lain sudah luntur kerevolusionerannya. Tidak sedikit juga dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai ‘nasionalis murni yang progresif’ dan melabeli kelompok lain sebagai ‘kekiri-kirian.’
Bagi OTT, pengkotak-kotakan ini hanya sebagai kedok dan ambisi segelintir pihak yang berupaya menciptakan friksi dan polarisasi di dalam tubuh partai. Ironisnya, kelak orang-orang Partindo ini juga lah yang menyeret OTT ke pengadilan Orde Baru. Para mantan koleganya tersebut berperan menjebloskan OTT ke penjara atas berbagai kesaksian palsu yang diberikan.
disalin dari Sejarah Hidup Oei Tjoe Tat, Loyalis Bung Karno hingga Akhir Hayat – tirto.id
Menteri dan Dubes Asal ‘Partindo’ Yang Kemudian Dilindas Soeharto
(ditangkap-dipenjarakan atau kehilangan kewarganegaraan-menjadi eksil)
Armunanto, Menteri Pertambangan; Soetomo Martopradoto, Menteri Perburuhan; Oei Tjoe Tat, Menteri Negara
S Tahsin, Dubes Mali; A.M. Hanafi Dubes Kuba
Warisan Menteri Soetomo Martopradoto
Beberapa tahun sebelum akhirnya Soekarno ditumbangkan orde baru, Menteri Tenaga Kerja, Soetomo Martopradoto, mengeluarkan Peraturan Menteri yang cukup progresif yakni Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang syarat kesehatan, kebersihan, serta penerangan dalam tempat kerja.
periksa Menggagas Perubahan UU Keselamatan Kerja
Kisah Putri Menteri Pertambanga Armunanto terdampar sebagai Eksil di Jerman Timur
periksa Jejak Eksil di Mancanegara
perikasi Laporan Amnesty International 1977 tentang TAPOL
(*periksa indeks kata Partindo disebutkan sebanyak 14 kali terutama muncul dalam Pledoi Oei Tjoa Tat dalam APPENDIX III(b) Defence Plea of Oei Tju Tat 3 March, 1976
IMPLEMENT TRISAKTI, THE CROWNING GLORY OFREAL INDEPENDENCE
halaman 128)
kompilasi kiprah surat kabar Bintang Timur (afiliasi ke Partindo) dan Lembar Kebudayaan Bintang Timur ‘Lentera’. Tercatat nama-nama S Tahsin, Armunanto, Hasyim Rachman, Pramoedya Ananta Toer, Rukiah Kertapati, Tom Anwar , Augustin Sibarani pernah berkiprah disana dan kemudian dilibas orde Suharto pasca g30s
Jejak Surat Kabar Bintang Timur dan Lembar Kebudayaan Lentera
Jejak Surat Kabar Bintang Timur dan Lembar Kebudayaan Lentera
simak pula
Penyingkiran dan Pemenjaraan 21 Menteri Loyalis Sukarno Pasca G30S dan Supersemar
‘Mutilasi’ Marhaenisme : Pembersihan Ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno
Simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)