Karya sastra selalu mengiringi setiap perubahan sosial dan masyarakat. Walau pun jarang menjadi narasi besar dalam kehidupan, sastra selalu turut mewarnai, merefleksikan, memberi nilai pada kehidupan dan perubahan kehidupan itu sendiri.
Cerpen-cerpen yang disebutkan di atas tidak mengangkat tokoh-tokoh besar, para pelaku sejarah yang menjadi kanon. Seorang pegawai negeri kecil (Tamu), seorang pengkhianat yang resah di masa tua (Pesta Terakhir), para penghuni rumah loteng (Sejumlah Konon di Rumah Loteng), seorang penjagal dan keluarga yang menanggung malu (Kami Bongkar Rumah Kami) adalah mungkin tokoh-tokoh kecil yang cepat terlupakan kehidupan. Namun melalui cerpen-cerpen ini, kita diingatkan bahwa perjalanan bangsa pernah mengorbankan mereka. Karena pada dasarnya, sastra yang fiksi itu merefleksikan dan menyiratkan serta menyuratkan apa yang pernah, sedang dan akan terjadi.
Adapu cerpen-cerpen yang dikaji Berto Tukan, bisa disimak dibawah ini (kecuali cerpen Pesta Terakhir – LInda Christanty)
Tamu (Kompas, 20 Juni 2004) karya Ratna Indraswari Ibrahim
Kami Bongkar Rumah Kami (Suara Merdeka, 15 Juli 2007) karya Imam Muhtarom
Sejumlah Konon di Rumah Loteng (Suara Pembaruan, 15 Juli 2007) karya Agus Dermawan T
Berat Hidup di Barat (Kompas, 9 Mei 2004) karya sastrawan eksil Soeprijadi Tomodihardjo
“Peristiwa 1965 Mengubah Jalan Sejarah Bangsa Indonesia” | Ingat65
Berto Tukan (2015)
Berto Tukan (2015)
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)


Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)