Perang Dunia II dan perjuangan menuju kemerdekaan di Indonesia memiliki efek lokal yang signifikan. Tokoh bernama Buang Duran merupakan cucu dari pemimpin Witihama terdahulu yang menjadi guru sekolah Katolik sebelum pindah ke agama Islam. Kemudian ia membentuk kelompok untuk menolak kembalinya Belanda di Indonesia Timur sesudah perang. Oleh karena itu, ia dipenjara oleh Belanda. Setelah dilepaskan, ia membentuk gerakan kaum tani Marxis di tahun 1946 yang disebut ‘Persatuan Kaum Tani Indonesia’. Belanda memenjarakannya lagi di tahun 1947. Republik Indonesia melepaskannya pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada awalnya ia bekerja di militer untuk menulis laporan tentang unsur-unsur yang berhubungan dengan orientasi kolonialisme. Ia mencatat adanya unsur feodalisme pada mantan pemimpin Witihama, Kelake Kei (ayah Haji Muktar), dan pemimpin kuat lainnya di Adonara Timur yang memiliki ikatan politik dan pernikahan dengan Kelake Kei. Ia akhirnya memimpin pemberontakan Persatuan Kaum Tani Indonesia pada tahun 1950–1951 dan berakhir dengan pertumpahan darah. Ia akhirnya dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Indonesia. Ia dibebaskan dari penjara pada tahun 1965. Namun, tak lama setelah itu ia ditangkap lagi oleh tentara di Adonara sehubungan dengan peristiwa G30S PKI pada tahun 1965 dan akhirnya dieksekusi (Barnes 2003).
Dipetik Keragaman dan Persatuan Masyarakat di Witihama, Adonara1 Robert H. Barnes
R.H. BARNES
Fransiskus/Usman Buang Duran Catholic, Muslim, Communist
Terjemahan amatir dalam bahasa Indonesia klik disini
atau klik alternatifnya disini
Pada suatu hari di bulan September tahun 2000, ketika saya sedang berjalan melewati sebuah pondok di Witihama, Adonara, Indonesia[1], saya di panggil untuk berbicara dengan beberapa pria yang sedang meminum tuak. Diantara mereka ada seorang pria berusia belasan tahun yang di kenal sebagai Ama Lawe. Mereka mengajak saya bergabung dan diskusi pun sampai pada pembicaraan tentang seorang pria bernama Buang Duran. Dalam pembicaraan ini, Ama Lawe menyebutkan bahwa dia bisa saja menyebut saya sebagai seorang komunis. ‘Semua orang asing adalah komunis dan berniat mengalahkan kapitalime’. Pernyataan yang sangat tidak diduga ini tentu saja mengejutkan saya, karena di Indonesia yang saya kenal sejak tahun 1969, tak seorang pun pernah berbicara tentang komunisme secara terbuka, topik yang tidak boleh dibicarakan di tempat umum sejak peristiwa kekerasan pada 30 September 1965, ketika tujuh jendral di bunuh di Jakarta oleh tentara pemberontak yang di percayai sebagai gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Insiden ini kemudian menurunkan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dan menandai dimulainya kediktatoran militer oleh Soeharto, yang diikuti dengan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang-orang yang di duga Komunis pada tahun 1965, 1966 dan 1967. Sampai pada tahun 1998, setelah jatuhnya rezim Soeharto, pemerintah terus mengawasi masyarakat melalui badan-badan keamanan dan mata-mata, dan siapapun yang membuat pernyataan politik yang tidak disukai pemerintahan Soeharto akan di penjarakan. Sejak tahun 1998, saya telah mengikuti diskusi-diskusi politik yang lebih terbuka dengan orang-orang Indonesia terkait penghapusan organisasi ini. Meskipun demikian, komentar ini tetap tidak terduga. Ama Lawe kemudian bercerita bahwa ia biasa menjadi anggota dari Persatuan Kaum Tani Indonesia (PKTI).
SECULAR, RELIGIOUS AND SUPERNATURAL – AN EASTERN INDONESIAN CATHOLIC EXPERIENCE OF FEAR
(Autoethnographic Reflections on the Reading of a New Order-Era Propaganda Text)
Justin Laba Wejak
Doctor of Philosophy Thesis 2017
This study of the Eastern Indonesian Catholic experience of fear and its connections with the Indonesian mass violence of 1965-66 has its origins in two personal encounters with fear in Indonesia in 2004. The first was the fear I sensed in the local people on the Eastern Indonesian island of Adonara when I asked them questions about Buang Duran, a local leftist leader who was murdered in 1966. The second was my own spontaneous fear reaction when I first discovered the text that forms the focal point of this thesis in a Jesuit library in Yogyakarta, an experience I still vividly recall.
artikel resume
KETAKUTAN 1965 SEBAGAI KETAKUTAN MASA KINI: MENELAAH KETAKUTAN SEKULER, AGAMA DAN SUPRANATURAL
Justin L Wejak
simak pula