“Selain Anak Agung Bagus Sutedja, ada 6 gubernur lainnya diberhentikan di tengah jalan. Proses pemberhentian diawali berbagai aksi unjuk rasa segenap komponen masyarakat dengan tudingan para gubernur itu terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah Presiden Soekarno diturunkan dari jabatan melalui kudeta merangkak Presiden Soeharto,” tandas Aju.
Kenam gubernur lain yang dituding PKI adalah Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
Tujuh Gubernur Soekarnois, kata Aju memang pendukung setia ideologi Pancasila besutan Presiden Soekarno sebagai implementasi ideologi sosialis yang diterapkan sesuai alam dan budaya Indonesia. Sebuah ideologi yang berbenturan keras dengan ideologi liberalis kapitalis barat dimotori Amerika Serikat hingga tahun 1991.
*diskusi dan launching buku akrya Ajun (wartawan Sinar Harapan) “Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966”
Tjilik Riwut dan J.C. Oevaang Oeray, tidak mengalami nasib lebih tragis, berkat bantuan dan perlindungan politik rekan seperjuangan, Fransiskus Conradus Palaoensoeka, asal Putussibau, Kalimantan Barat.
F.C. Palaoensoeka, setelah G30S 1965, dekat dengan kalangan militer dan Presiden Soeharto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 1949 – 1988, tokoh integrasi Timor Timur, staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN), 1975 – 1982.
Tjilik Riwut wafat pada 17 Agustus 1987, bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI, setelah menderita penyakit hepatitis dan dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Jenazah Tjilik Riwut dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pemerintah RI kemudian menetapkan Tjilik Riwut sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1998
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)