Komunitas Taman 65 : Memorabilia dan Rumah Sejarah Ingatan Kita

In loving memory: I Gusti Ketut Agung set up the Taman 65 (Park 65) space to honor his father, I Gusti Made Raka, who was killed in the 1965 Communist purge, and to give people the opportunity to discuss the incident.

slengkapnya Taman 65 & its fight to turn tables – The Jakarta Post

*simak kesaksiannya di film ini setelah menit 25

tentang film Semai Phala

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) telah mengubah kehidupan banyak pihak secara drastis. Banyak orang dianggap sebagai ‘penjahat’ hanya karena dianggap sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), walaupun sebelumnya, mereka dipandang sebagai kelompok intelektual, penggerak masyarakat, dan tokoh yang dihormati Setelah Rezim Orde Baru tumbang, sebagian dari korban berhasil bangkit dan menata ulang kehidupan mereka bahkan memegang peran penting di lingkungan tempat tinggalnya. Menurut hasil penelitian ISSI di tiga daerah yaitu Kota Solo, Kabupaten Pati, dan Provinsi Bali yang menjadi dasar pembuatan film Semai Phala, para penyintas Tragedi Pembantaian Tahun 1965 saat ini tak lagi menghadapi kesulitan dalam bergaul dengan masyarakat. Namun ironisnya, seperti tergambar dalam film dokumenter ini, saat masyarakat sudah menerima keberadaan para korban dengan sepenuhnya, justru Negara dan aparat keamanan baik polisi maupun militer kerap menghambat rekonstruksi sosial para korban Tragedi 65.

simak ebook Melawan Lupa : Narasi-narasi Taman 65 Bali

Terutama Bab 2 : Dinamika Komunitas

Taman 65 : Retak Tapi Tidak Pecah – Degung Santikarma

Mendiagnosa Keluarga Melalui Kekerasan Negara – Ngurah Termana

Taman 65 : Rumah Sejarah “Ingatan” Kita – Ngurah Karyadi

Hiruk Pikuk Taman 65 – Ribkah Alvania

Eksperimen Para Pengriwa – Agung Wardana

334928139_1245934906009474_3949063671842128525_n

Amor ing achintya korban 65 – Agung Alit
Peristiwa G30S/1965, menelan korban jutaan nyawa tak berdosa ditanah air.
Di Bali menelan korban 80 ribuan.
Di kampung kami, desa adat Kesiman jumlah korban yg dibantai sekitar 40 an orang. Di halaman rumah saya sendiri ada 4 orang termasuk ayah saya. Ada yg ditahan dua orang tanpa proses pengadilan. Diantara 4 orang korban yg dibantai, ada paman saya yg berusia 14 th. Barangkali dia korban termuda di Bali. Dan paman ini sama sekali tidak mengerti politik, dituding PKI, lalu bersama keempatnya disemblih para tameng/jagal. Mayatnya tak keruan dan tak kunjung datang entah dikubur atau dibuang dimana ?
Ayah saya seorang guru Sekolah Rakyat, dan dituding PKI. Jikapun dia PKI, bagi saya no problem, karena itu pilihan yang sah, lagi pula PKI pada waktu itu adalah partai politik yg sah, legal dan ikut Pemilu. Legal ataupun tidak legal, tetap tidak boleh membantai orang, tidak dibenarkan oleh sang pencipta kehidupan dan melanggar HAM.
Demikian juga dgn Ibu saya, dipecat sebagai guru dan pegawai negeri. Masih beruntung tidak dibunuh ataupun diperkosa.
Ingat, pada tragedi 65 banyak perempuan diperkosa dengan brutal oleh para jagal.
Rumah ayah saya diratakan massa. Tembok pilarnya diempug, kursi rotan dituwes bayonet, buku2 di rak dibuang berserakan. Sungguh biadab !
Peristiwa keji itu menjadikan rumah orang Bali yg konon relijius, isinya tameng/sang Pembantai dan yang terbantai. Keduanya sama sama korban propaganda ORBA dan para serdadunya.
Sejak kecil saya melihat dan mendengar berita bisik2 di keluarga, bahwa Ayah dibunuh karena ikut PKI.
Berita yg sangat sangat mengganggu, menghantui, dan selalu muncul mengundang tanya. Kok Ayah dibunuh ya? Kok bisa ya orang saling bunuh2an, katanya bersaudara ?
Kenapa juga ada yg mau menjadi tameng? Kenapa juga ada yg diam membiarkan keluarga dibantai?
Dan kenapa harus diceritakan sembunyi2, dan kenapa tidak berani berterus terang ?
Saya kesulitan jika ditanya, siapa orang tuanya ? Saya memilih berterus terang. Keterusterangan tentang ayah menjadikan saya ‘sembuh’, bebas dari beban unek2.
Saya tidak peduli harus menerima
stigma keluarga komunis, kiri atau tidak bersih lingkungan. Biarin aja !
Saya mengerti jika ada keluarga yang takut, atau enggan utk berterus terang. Bagi saya ini bukan soal berani dan takut, simpel aja soal benar dan kebenaran. Tiada gunanya menyembunyikan. Tiada yg lebih baik daripada berterus terang. Kejujuran bikin semuanya jadi gamblang !
Nah itu sebabnya pada tahun 2005 Taman 65 dibangun di halaman rumah ayah saya. Sebuah langkah kecil untuk keluar dari belenggu ketakutan yg irasional, sembari mengotak-atik sejarah 65 versi ORBA dengan para serdadunya yg penuh dusta.
Tujuan lain dari kehadiran Taman 65 tentu sebagai ruang dialog dan pembelajaran agar keluarga dan masyarakat luas melek sejarah, tidak dibohongi oleh sejarah versi ORBA yg manipulatif, menakut-nakuti, membodohi dan meracuni kesehatan, kewarasan hidup berbangsa dan bernegara.
Semoga saja Taman 65 bisa menjadi ruang bertegursapa para korban,baik tameng maupun keluarga yg dibantai, guna menumbuhkan sikap saling memaafkan sambil bersama2 memblejeti DUSTA peristiwa 65.
Amor ing achintya utk para korban 65. Semoga arwahmu menyertai upaya mendorong terwujudnya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran, yg maha penting untuk masa depan Indonesia yg gemilang, adil dan beradab.
Berhentilah mendustai generasi Jendral !
Screen Shot 2021-09-30 at 12.32.28 PM

6ff60-prison-songs-cover-buku-dan-album

sumber foto rappler indonesia

[kompilasi] Prison Songs (Nyanyian Yang Dibungkam) Membangun Jembatan Sejarah #1965 

  • album musik produksi Taman 65

Kebebasan Intelektual Generasi Millennial Bali : Membangun Budaya Kritis Ditengah Sensor dan Paranoia – I Gusti Agung Dewi Widyastuti

simak 1600 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s