Resensi-Tinjauan Buku Menari di Atas Kuburan Massal / The Dance That Makes You Vanish : Rekonstruksi Budaya Indonesia Pasca Genosida karya Rachmi Diyah Larasati

simak pula

‘Dance of the Missing Body’ : MengenaliTubuh Menari dan Sejarah Kekerasan bersama Rachmi Diyah Larasati 

[Rekaman Bedah Buku] Menari di Atas Kuburan Massal – Rachmi Diyah Larasati & Dewi Arum – Development Study Club

 

dance of the missing body – kotakhitamforumyogya

 

 
 

16128817

The Dance That Makes You Vanish: Cultural Reconstruction in Post-Genocide Indonesia

Rachmi Diyah Larasati

ABSTRACT

Larasati elucidates the complex, often paradoxical relationships between the dancing body and the Indonesian state since 1965. In the brief period from late 1965 to early 1966, approximately 1 million Indonesians, including a large percentage of the country’s musicians, dancers, and artists were killed, arrested, or disappeared as then-general Suharto took control of the nation, implanting his “New Order” regime, which would rule for the next thirty years. Looking back on the New Order from the context of the present, Larasati interrogates the specific ways in which female dancing bodies have been dealt with by the state: vilified, punished, then replaced with idealized, state aligned bodies. Drawing on critical ethnography and the theorization of dance as methodological approaches, the book analyses the relationship of corporeal punishment and the political economics of display to cultural production in the context of East-West cultural exchange, tourism, state diplomatic “culture missions,” and world/ ethnic dance as defined by its peripheral relationship to Europe and the US. Within this framework, Larasati seeks to expand understandings of the moving, dancing body as deployed by state power: a dual-edged rhetorical strategy that enacts the erasure of historical violence, while simultaneously providing access to mobility and a certain space for the negotiation of identity and female citizenship.

*resume tiap bab

 

Ia menggunakan tubuh dan ingatan sebagai arsip yang hidup.
 
‘Pertama, saya ingin mendudukkan ingatan dan tubuh sebagai sebuah arsip. Materiality of remembering—bagaimana mewujudkan ingatan, secara simbolis dan politik’, ujarnya. ‘Kedua, mendudukkan wacana kebijakan negara sebagai sebuah ranah sosial dan politik yang dikaitkan dengan keberadaan tubuh, yang dilahirkan sebagai nilai estetik dan dogma negara,’ tambahnya.
 
 
 
Saya meneliti bentuk-bentuk seni yang diambil dari para penari yang dituduh punya hubungan dengan komunis. Banyak dari mereka yang dibunuh atau dipenjarakan tanpa pernah diadili. Bentuk-bentuk seni itu kemudian dilucuti dari keterkaitan politik dan sejarahnya, dan dimasukkan ke dalam kebijakan promosi pariwisata dan kurikula pendidikan formal. Pegawai negeri yang menarikan Gandrung Banyuwangi dalam suatu misi kesenian, misalnya, meski menari sangat bagus, makna tubuhnya berbeda, karena tak ada yang diperjuangkan.
 
Kategorisasi tari tak ada hubungannya dengan politik tubuh karena proses penyejarahannya sudah dipotong sejak masa itu. Yang terjadi adalah produksi replika yang mendukung projek amnesia dari negara. Tubuh yang dihilangkan dari penari-penari yang dihilangkan itu dilupakan dan digantikan oleh replika tubuh menari yang penuh pesona, bersekutu dengan negara melalui lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah daerah, dan ditempatkan di depan sebagai representasi ideal dari bangsa di pasar global.
 

 

Menari di Atas Kuburan Massal: Upaya Berbicara Balik dari Titik Nol (Amnesia) Sejarah

Ulasan buku Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pascagenosida karya Rachmi Diyah Larasati (INSISTPress, 2022)

Oleh: Cyntara, alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM; penari dan penulis lepas, tinggal di Bantul, Yogyakarta

 

 

Larasati’s focus is the horrific violence of 1965-66 and its aftermath. She explicates—from both an academic and a personal perspective—the multifaceted relationship between female dancers and the Indonesian state as Suharto took control of the country and then ruled for another three decades. Tn addition to being a professor of dance, Larasati is a classical dancer, one who performed as a member of the Indonesian Cultural Mission, a state-sanctioned dance troupe. Weaving memoir, history, and theory into a poignant narrative, she paints a compelling picture of the complex interplay between performance and the politics of memory, making the case that “the reconstruction of [national history and memory] serves to erase the extreme violence and chaos on which Suharto’s New Order state itself was founded” (p. xxi). State officials accomplished this, in part, by, first, recognizing that aesthetic practices are efficacious means of both communicating and influencing identity, embodied experience, and memory; and, second, by manipulating those practices to their own ends.

selengkapnya Shapiro-Phim, Toni in Indonesian Journal – ecommons.cornell.edu 

 

The Dance That Makes You Vanish also insightfully reveals Larasati’s own history as a member of a family stigmatized by association with the pre-1965 Indonesian political left. Furthermore, Larasati’s personal experience during a cultural mission to Cambodia enables her to engage in an original and revealing comparison of the significance of recreated traditional dance in that country and her native Indonesia.

selengkapnya Michael H. Bodden – University of Victoria, Victoria, Canada

 

As readers we thus eagerly anticipate that the chapters to come will offer new, detailed, experientially-grounded insights into two major issues—the impact of the 1965 repression on performers and their families, and the remoulding and appropriation of local art forms undertaken by the New Order state, analysed in general terms in the studies of scholars such as Philip Yampolsky, Greg Acciaioli and Amrih Widodo. Further, Larasati’s study promises to reveal unique insights into on as-yet unreported resist-ance to state control at the local level, and on wider international networks of critique and resistance. The inclusion of a chapter describing Larasati’s visits to Cambodia and drawing comparisons with the Indonesian situation suggests possible sharing of experience and critical strategies with Cambo-dian performers.

279345490_3253337214947487_8268574887046929820_n

periksa facebook Insist Press

“Tubuh-tubuh perempuan, tubuh-tubuh yang menari: di buku yang menghantui ini, tubuh-tubuh itu menghantarkan kita pada teror politik dan penghapusannya melalui penampilan budaya yang dibungkus rapi dan aman. Hantu-hantu para penari yang dilenyapkan dalam prahara pembunuhan massal antikomunis yang didukung negara itu berkilapan di depan kita, pergerakan mereka direplikasi secara persis oleh penggantinya yang telah ‘dibersihkan’ oleh negara. Memoar di buku ini berayun keluar dan memasuki kritik budaya; kita pun digiring menuju titik pelenyapan di mana kekuasan dan kekerasan mengoyak lorong mereka hingga menembus relung jiwa.” ANNA TSING, penulis buku Friction: An Ethnography of Global Connection

 
 
 
Kuliah Umum Buku “The Dance That Makes You Vanish. Cultural Reconstruction in Post—Genocide Indonesia.” oleh: Rachmi Diyah Larasati – Dikutip dari etnohistori.org
 
The Dance That Makes You Vanish. Cultural Reconstruction in Post–Genocide Indonesia (University of Minnesota Press, March 1, 2013) adalah sebuah buku yang mengupas bagaimana politik bentuk tari dan tubuh tari dimediasi sebuah sistem bernegara yang mengakibatkan penghilangan penari dalam konteks 1965 dan sesudahnya. Kajian estetik politik ini melihat diskriminasi tubuh tari melalui pemetaan pemahaman intensitas perbedaan pandangan politik sosial dan penggunaan agama untuk menjadikan kekerasan sebagai bahasa yang dilegitimasi sebagai alat pembentukan nilai baru dalam sebuah pergantian kekuasaan.
 
Berdasarkan metode etnografi, analisis materialisasi sejarah dan kesejarahan, Larasati mendudukkan kajian post colonial dalam mewacanai politik nasional dan lokal dalam hubungannya dengan konsumsi makna tubuh tari di dalam terjemahannya pada sistem hubungan internasional—(merumuskannya dengan metodologi penggolongan secara politik budaya dunia: seperti yang dilakukan oleh Edward Wadie Said dan Marta Elena Savigliano). Secara lebih jauh—Larasati menginterogasi materialisasi kesejarahan melalui pengalamannya sendiri ketika menari dalam perlindungan sistem kenegaraan (kesenian yang ter-institusi dalam misi-misi kesenian dan praktek kenegaraan) dibandingkan dengan ingatan pembelajaran “informal” dari tubuh-tubuh di sekelilingnya, dari sebuah desa yang “merah.”
Larasati memetakan keterhubungan kekerasan lokal-nasional secara ideologi yang ironiknya berbalik arah: Tubuh Tari dan Pelakunya, dianggap bermakna secara ideologi—sehingga legitimasi penggolongan kategorisasi tubuh-tubuh yang mampu mengancam negara, memberi ancaman terhadap stabilitas kenegaraan yang ditimbulkan (seperti kajian yang disebut: “replica” dan reproduksi oleh Walter Bendix Schönflies Benjamin dan Michael Taussig, “unruly body” by Michel Foucault, “witnessing”: Diana Taylor). Tetapi dalam pemetaan kasus 1965—dan sesudahnya ini, menjadi berbeda dengan berdasarkan pada pengalaman tubuh tari sebagai metoda archive itu sendiri, yang bisa berbicara dan memproduksi kesejarahan baru (Assia Djebar, Jean-Luc Nancy, Anna Lowenhaupt Tsing and Macarena Gomez-Barris, Gayatri Chakravorty Spivak).
 
Dengan menggunakan contoh-contoh ingatan yang dimediasi, termediasikan dan munculnya ingatan yang berbeda dan produksi materialisasi sejarah yang bertabrakan secara narasi. Larasati memfokuskan metodologi ingatan akan ruang, estetika dan politik kekerasan dalam masa Orde Baru dan sesudahnya sebagai ruang untuk memikirkan ulang etik dan sejarah. Memfokuskan penelitiannya pada masa 1965 dan sesudahnya, Larasati dalam buku ini mencoba melihat konsumsi estetik tradisional yang “indah” tidak menjamin pengertian kemanusiaan, karena politik pandang dan makna secara spekulatif ditandai dengan konteks sosial yang bisa direkonstruksi secara waktu dan ruang bagi pelaku. Maka, penggolongan keikutsertaan kesenian dan tubuh tari yang pernah dimusnahkan dalam ingatan baru, tidak menjamin perlindungan secara kewarganegaraan melainkan cenderung tercakup dalam sistem neoliberal baru.
IVAA | Etnohistori | Kotak Hitam Forum | PUSdEP Sanata Dharma
 
Rekaman Kuliah Umum Lengkap
 
 
 
 
 
 
 

Saturday University: Exploring Resilience in Dance in Java, Indonesia – Seattle Art Museum

In this two-way interview, Indonesian dancer and dance scholar Rachmi Diyah Larasati and American ethnomusicologist Christina Sunardi discuss the impact of the political genocide in Indonesia in 1965-66 on dance performance in Java. They will explore how experience and memory—both individual and social—influence bodily responses. As they trace the violent events of 1965-66 and focus on resilience, they discuss ways dance forms were altered in a post-1965 context to reinforce the new authoritarian government’s ideologies, and ways dancers resisted and maintained older practices, sometimes in hidden or altered forms, using their bodies as sites and holders of memory. 

simak pula

‘Dance of the Missing Body’ : MengenaliTubuh Menari dan Sejarah Kekerasan bersama Rachmi Diyah Larasati 

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

 

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Bookmark and Share

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s