Eksil 1965 di Praha Eyang Yono (Soegeng Soejono) : Mereka Menghormati Saya Sebagai Indonesia

*”Mereka Menghormati Saya Sebagai Indonesia” saya salin dari judul tulisan Martin Aleida hasil wawancara dengan Eyang Jono dalam  buku TANAH AIR YANG HILANG. Terima kasih Bang Martin untuk ijin pemuatan dokumentasi perjalanan/perjumpaan di Ceko-nya
 
 
Soegeng Soejono akrab dipanggil Eyang Jono tak saja teman yang sangat baik bagi para pelancong Indonesia karena ia mengenal semua pelosok Praha, ia juga relawan untuk mengajar bahasa Indonesia bagi warga Ceko, eyang dan mentor bagi mahasiswa Indonesia di Praha. Dan juga memahami segala masalah diaspora Indonesia di Ceko dan masih gemar makan dengan tangan langsung (tanpa sendok garpu – simak di liputan TV Babylon ketika ia sedang asyik makan nasi opor)
 
“Saya sudah 54 tahun tinggal di Praha, jadi saya tahu semua masalah diaspora Indonesia di sini,” ia berkata saat pertama kali bertemu di sebuah festival budaya Indonesia restoran Vnitroblock, Praha, tiga pekan silam.
(demikian tulis Zen Hae penulis yang sedang residensial di Ceko)
 
 
 
Diskusi kecil tentang Tanah Air Yang Hilang yang berlangsung di Praha Selasa 7 November 2017.



Anak muda Indonesia di Praha menyapanya sebagai Eyang. Kalau Anda membaca Tanah Air Yang Hilang, dia muncul di halaman tengah. Saya memanggilnya Bung Jono. Buku saya itu tersebar di Praha bukan melalui peluncuran atau diskusi tapi lewat Bung Jono. Tadi malam kami mampir di restoran Garuda, di tengah Praha. Dia tunjukkan buku itu dan dia minta suami istri yang bekerja di restoran itu, “bacalah buku ini buktikan apakah saya bohong.” Karena suami istri bekerja tak sempat membacanya dengan cepat, sang suami memotret bagian Bung Jono di buku itu. Pagi ini sang suami melapor sudah membacanya. Asyik. Ingin hadir dalam diskusi yang akan berlangsung malam ini.
Kemudian muncul lagi dua anak muda berpasangan. Bung Jono meminjamkan buku itu dengan syarat harus dikembalikan kalau sudah beredar. Dan buku itu tentu akan kembali kepada Bung Jono karena ada tanda tangan dan ucapan terima kasih saya yang telah menyediakan ruang tamunya untuk saya melewatkan dua malam di Praha
(Martin Aleida 7 Nopember 2017)
 
 
 
 
 
 
Saya ingin bercerita lagi tentang Bung Jono yang menjadi salah satu bintang dalam Tanah Air Yang Hilang. Putranya yang kedua seorang geolog. Sang putra terlibat dalam riset geologi di Kutub Selatan. Pulang-pulang sang anak yang belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia, dengan menepuk dada lapor kepada sang Ayah. “Saya bangga sebagai orang Indonesia sudah menginjakkan kaki di Kutub Selatan,” kata sang anak. Menyembunyikan rasa bangga seorang ayah pada prestasi anaknya di dalam hati, dengan bercanda Bung Jono menyambut dengan mengatakan. “Ah, nak, cuma setengah Indonesia.” Dia berkata begitu mengingatkan sang anak tentang Ibunya yang adalah seorang perempuan Ceko. Bung Jono, buat saya adalah duta kecil Indonesia
yang membawa saya blusukan di lorong kota Praha yang molek. Dia adalah sedikit dari lelaki Indonesia yang bisa mempertahakan keluarga campuran, sampai nyaris setengah abad. Toleransi itulah kata kuncinya. Dia memasak, mencuci piring, menyapu, apa saja, kalau istri sedang mengajar di luar. Begitu pulang istri tak ada alasan untuk merepet, begitu katanya. Suatu waktu Bung Jono sendirian di tengah perempuan teman-teman seprofesi istrinya. Di antara perempuan dan guru itu ada yang nyeletuk pada Istri Jono. “Saya pingin punya suami seperti pasanganmu ini. Bisa melakukan apa saja membantu istri.” Istri Bung Jono menimpali: “Boleh kau pinjam seminggu biar kamu tau rasa.” Hahaha Merdeka Bung! (Martin Aleida 8 Nopember 2017)
 
 
Soegeng Soejono – Babylon ČT – 30.05.2015
 
Ia lelaki tua yang gesit, penuh humor dan gemar memotret. Di kalangan kaum diaspora Indonesia ia telah mencapai maqam terhormat: “eyang”. Malam itu, misalnya, ia membiarkan dua gadis muda asal Indonesia yang bekerja sebagai pelayan restoran mencium punggung tangan kanannya–seperti kiai dan seniman feodal di negeri yang telah ia tinggalkan. Sebagai eyang ia menjadi tempat curahan hati dan perasaan dan pemberi jalan keluar untuk mereka yang sedang bermasalah. Tidak jarang untuk semua itu ia mesti merogoh kocek sendiri. Semua itu ia lakukan semata-mata karena alasan kemanusiaan–bukan demi “sorga yang dijanjikan”.
 
“Saya sudah 54 tahun tinggal di Praha, jadi saya tahu semua masalah
diaspora Indonesia di sini,” ia berkata saat pertama kali bertemu di
sebuah festival budaya Indonesia restoran Vnitroblock, Praha, tiga pekan silam.
 
 
Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia. Soejono sempat kaget ketika mengetahui aku mengenal Iskandar. Nada suaranya naik, terdengar bahagia bisa mendengar kabar kawan lama. “Tolong salamkan ya padanya, dia itu kawanku, seingatku dulu dia pernah sakit,” kata Soejono lewat sambungan telepon denganku sambil tertawa kecil.
 
Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apapun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja.
 
Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan ‘screening’, demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.
Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.
 
“Itu alasan politis. Rezim itu punya doktrin, ‘siapa yang tidak ikut saya adalah musuh saya’, tidak ada demokratisasi, tidak ada argumen. Argumentasi mereka, ‘siapa yang tidak menyokong Orde Orde Baru adalah orang komunis’,” kata Soejono kepadaku. “Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme.”
 
 



(Tempo, 22 Januari 2006)
 
 
 
Eyang dan ‘Mentor’ Bagi Mahasiswa Indonesia Yang Studi di Ceko
 
Dialah malaikat tanpa sayap kami di negeri yang kami adalah minoritas, dimana perbedaan budaya dan gaya hidup yang luar biasa berbeda tapi dia membuat kami mengerti akan perbedaan, memahami akan rasa sayang, menghargai apa yang telah kami miliki, menikmati hidup ini dengan senyum. Begitu banyak pelajaran hidup yang kami dapatkan darinya, tanpa nasihat tanpa menghakimi tanpa merasa paling benar dia mengajarkan kami cara melewati hidup, mengajari kami cara menghargai hidup kami yang singkat ini, dia memebuat kami menyadari betapa bernilainya orang tua keluarga sahabat dan negara kami.
 
 
 
Staying in Europe for almost five months gave me the chance to learn some of its history as well: the world war, renaissance, baroque, romanticism and so on. I also met some wonderful people from Indonesia. One of them is Soegeng Soejono whom I called ‘Eyang’. He is a very generous and passionate person although he is now 77 years old. He always told me his story about his experience when he was sent to Czech Republic (which was Czechoslovakia back then) by the first president of Indonesia, but he couldn’t come back unexpectedly to Indonesia for 35 years because of the new era government. He has inspired me so much.
 
 
 
One of my younger sisters has just finished a year of study in that beautiful city. She wanted to introduce us to of her mentor. That mentor happened to be a 79 year old Indonesian men. “He once said
to me that he was exiled from Indonesia many years ago. Ever heard that movie Surat Dari Praha? He said he is one of the inspiration of the main character.” My sister added.
 
 

 
Bookmark and Share

Kisah Soegeng Soejono, Eksil 65 di Praha – Part 1/2 – kanal youtube mahasiswaPL (Mahasiswa Indonesia di Polandia)

Saat magang di Praha, kita ketemu dengan sosok eyang Soegeng Soejono, mahasiswa yang dikirim keluar negeri tahun 1960an untuk belajar dan membangun negeri.Di umurnya yang masih 20an tahun saat itu, eyang tidak tau kalau beliau tidak dapat kembali ke Indonesia lagi untuk puluhan tahun lamanya.Ini interview kita tentang kisah hidup eyang, selamat menyaksikan.

Soegeng Soejono – Part 2/2 : mahasiswa yang diasingkan seumur hidup | Surat dari Praha | Eksil 1965 – kanal youtube mahasiswaPL

JANGAN PANGGIL AKU PAHLAWAN : SOEGENG SOEJONO – Karya Instalasi VINCENT RUMAHLOINE (Karya Terbaik Bandung Contemporary Art Awards 2019) #Eksil65

simak pula Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965

simak pula Kompilasi Kisah-kisah Para Eksil 1965

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o
13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o
13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)

Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)

Tinggalkan komentar