*dari judul artikel Aboeprijadi Santoso
BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim
Orde Baru.
pengantar untuk wawancara John Rossa oleh M Zaki Hussein
Prof. John Roosa: Identitas Bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965 (2012)
performance art Dadang Christanto
“Dari perspektif ekopol, genosida 65 itu bukan hanya sekadar patahan dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Genosida itu lebih tepat disebut sebagai pembalikan sejarah ke periode pra 17 Agustus 1945. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lainnya, maka pasca 1965 Orba adalah sebuah rezim yang didirikan di atas tumpukan tulang-belulang rakyat sebangsa yang dibunuhnya secara massal. Jika proklamasi mengamanatkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, dalam pengertian sadar akan hak-hak politik dan ekonomi-sosial-budayanya, maka pasca 65 kekuatan rakyat yang sadar politik dan teorganisir ini dibabat hingga ke akar-akarnya. Aktivitas rakyat cukup di lapangan ekonomi saja, lebih khusus lagi sekadar bekerja untuk cari makan. Jika proklamasi mencanangkan kemerdekaan dari ketergantungan pada pihak asing, rezim orba dengan sepenuh jiwa tunduk pada kepentingan negara-negara kapitalis maju. Bukankah ini persis seperti masa
kolonial pra 17 Agustus 1945? Inilah pembalikan sejarah itu.”
(Mengapa Sulit Minta Maaf? – Coen Husain Pontoh)
“…….kita tidak dapat melihat peristiwa tragedi 1965 ini secara sederhana. Problemnya tidak dapat disederhanakan semata-mata pada konflik antara kekuatan santri dan anti-komunis versus PKI dan pendukung Soekarno, di mana salah satu adalah korban dan yang lain adalah pelaku kekerasan. Pemahaman atas narasi sejarah yang memperlihatkan konteks makro pertarungan ekonomi-politik dan konteks mikro momen kekerasan 1965, menunjukkan kepada kita bahwa kita adalah korban. Hanya dengan memahami secara empatik bahwa sebagian besar aktor-aktor domestik yang terlibat dalam konflik adalah korban, di mana sebagian besar ormas menjadi korban dari manipulasi informasi sehingga dimanfaatkan untuk menjadi alat kekerasan oleh negara dan yang lain menjadi korban langsung dari kekerasan tersebut, maka jalan terjal berliku rekonsiliasi nasional dapat kita tempuh dengan alat-alat perjalanan yang kita butuhkan untuk merambahnya.”
(Peristiwa 65: Kita Adalah Korban – Airlangga Pribadi)
“Dengan melihat pembantaian massal tahun 1965 sebagai gerakan kontra-revolusioner juga akan mempermudah kita untuk mengerti bahwa gerakan ini adalah revolusi pada dirinya sendiri. Artinya, sekalipun merupakan ‘kontra-revolusi,’ pembantaian ini adalah sebuah revolusi. Dia melakukan reorganisasi kekuatan kelas sosial yang memiliki ideologinya sendiri. Semua kekuatan yang tidak berada dalam gerbong kelas dan ideologi kontra-revolusi yang diciptakan oleh militer Orde Baru harus diberangus dan diberantas habis. Demikianlah kita lihat bahwa kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang dipakai dan diperalat untuk membantai oleh militer kemudian satu per satu dipungkas dan dibabat habis. Itu pulalah yang dialami oleh kaum Nasionalis dan kaum Islam. Ketika Orde Baru mengkonsolidasi kekuasaannya, dengan segera dia menyasar kekuatan politik Nasionalis dan Islam. Regim Orde Baru menyingkirkan sama sekali mereka dari kekuasaan. Dalam hal ini, dilihat dari perspektif pembantaian massal, para korban dan para jagal mengalami nasib yang sama: tergilas oleh tank-tank militer
(Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner – Made Supriatma)
“Memang benar sekali, bahwa 1965 adalah titik dimulainya kekuasaan Orba dan fondasi dasar sebuah rezim fasis-militeris yang hendak mempertahankan sebuah kekuasaan jahat dari para Kapitalis Birokrat (kapitalis rente). Sebagaimana diketahui, Kapitalis Birokrat (disingkat Kabir) adalah sisa-sisa feodalisme di Indonesia yang akumulasi modalnya (kekayaannya) didasarkan pada kekuasaan politik, bukan pada praktek bisnis kapitalisme modern. Karenanya Kabir tidaklah dapat disebut sebagai kapitalisme modern. Dia adalah sisa-sisa yang masih kuat dari para penguasa feodal politik, yang berwujud kelompok militer terutamanya para Jendral; penguasa-penguasa berlatar belakang kekuasaan tradisional yang memakai agama atau adat atau privilese feodal mereka sebagai topeng penggenggam kekuasaan, dan para birokrat pengendali kekuasaan yang berkepentingan untuk mengorupsi kekayaan Negara secara aman. Bahkanpun preman atau bandit merupakan bagian feodalisme yang dipakai penguasa untuk melestarikan kekuasaan mereka. Semua ini mudah dijumpai dalam politik sehari-hari di Indonesia, karena terjadi setiap harinya. Karenanya, tidak heran bahwa sejak fenomena rezim Kabir itu ada di tahun 1950an, maka sampai kini rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi. Rezim Kabir terus berkuasa di Indonesia, mempertahankan kekuasaan fasis militerisnya dengan sedikit modifikasi reformasi kelembagaan maupun citra politik di tahun 1998, dan mempertahankan wacana 1965 sebagaimana yang telah dilakukan Soeharto dan komplotannya.”
(Kebiadaban Negara Kapitalis Birokrat Orde Baru: 50
Tahun Genosida 1965 -Bonnie Setiawan)
“……maka kekalahan permanen untuk PKI merupakan kemenangan yang besar bagi jejaring ekspansionis kapitalisme dan nekolim global serta komprador-komprador lokalnya – seperti faksi kapitalis bersenjata alias militer Indonesia. Penghancuran PKI adalah, mengutip cover majalah Time, ‘The West’s best news for years in Asia,’ yang dapat secara sistematis dan masif melemahkan perjuangan rakyat pekerja di berbagai lini[1] dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalisme global di Indonesia.
Tidak hanya itu, serangan terhadap perjuangan kelas di Indonesia dalam konteks tragedi 1965, juga bergerak di ranah politik pengetahuan. Sebagaimana disebutkan oleh Ruth McVey (1990), salah satu hal pertama yang dilakukan militer dalam prahara 1965 adalah menggerebek dan merampas arsip-arsip PKI, yang membuat mereka terkejut karena arsip arsip tersebut menunjukkan kemampuan riset PKI yang mendalam dalam analisanya sekaligus mengakar ke realita sosialnya rakyat pekerja. McVey juga memaparkan bagaimana PKI berusaha menjadikan pendidikan rakyat dan kader rakyat sebagai salah satu program utamanya.”
(Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas – Iqra Anugrah)
Penghancuran terhadap gerakan kiri merupakan kerugian terbesar bagi Indonesia. Sesaat setelah penghancuran PKI dan Soekarnois yang menjadi garda depan revolusi Indonesia oleh Soeharto pada 1965, modal asing kapitalisme merangsek masuk dan mengekstraksi sumber daya alam Indonesiamelalui undang-undang penanaman modal asing.
(Ancaman Fasisme, Pelurusan Sejarah dan Peran Penting Gerakan Kiri di Indonesia – Roy Murtadho)
“Akan tetapi pada akhirnya keadilan kelembagaan baru bisa dilaksanakan bila basis ekonomi ekonomi politik dari pertarungan politik juga berubah. Yakni kala kelompok yang lemah di masyarakat terorganisir solid dalam melakukan perimbangan kekuasaan mengimbangi kekuatan kalangan yang menguasai jaringan dan sumber daya ekonomi dan politik, termasuk kendali atasnegara. Fondasi inilah yang lenyap sejak akhir September 50 tahun lalu”
(Memahami September – Irwansyah)
karya Misbach Tamrin
admin menyusun artikel berdasarkan urutan penulis sesuai urutan abjad, dalam kompilasi ini termasuk artikel editorial, analisa, wawancara, resensi buku/film. sebagai penutup secara khusus kami tampilkan obituari – in memorium penyintas 65
Memutus Peristiwa 65 dengan Skema 1-5-1; Rekonstruksi Cara
Pandang Gus Dur
Aan Anshori (2015)
Masihkah Meragukan Maaf Gus Dur?
Aan Anshori (2014)
Menelisik Khazanah ArsipPeristiwa 65
Aan Ratmanto (2017)
1965 – Tahun Matahari Tenggelam: Sebuah Refleksi
Aboeprijadi Santoso (2015)
Malapetaka ‘65 yang Belum Usai
Achmad Choirudin (2012)
Ahmad Yunus (2010)
Tahun Hijriyah, 65, dan Usaha Mengawetkan Ketakutan
Ahmad Thariq (2017)
Peristiwa 65: Kita Adalah Korban
Airlangga Pribadi (2013)
Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6
Jenderal (Bagian-1)
Alfred D. Ticoalu (2015)
Dr. Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6
Jenderal (Bagian-2 Selesai)
Alfred D. Ticoalu (2015)
Amba Ingin Pulang tapi Takut Jadi Komunis
Alwi A. Ardhana (2013)
Ariel Heryanto (2014)
CATATAN KAWAN –Membuka Tabir Buku Sejarah Kita
Arif Saifudin Yudistira (2015)
Arman Dhani (2015)
Membuka Tabir di balik BukuPelajaran Kita
Arif Saifudin Yudistira (2015)
Ayu Diasti Rahmawati: 1965: Bukan Tentang Korban vs. Pelaku Saja, Tetapi Tentang Kita Semua (2016)
Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (bg 1)
Ayu Wahyuningroem (2015)
Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (bgn 2)
Ayu Wahyuningroem (2015)
Hegemoni Pengetahuan danKetakutan Pada Yang Liyan
Ben K. C. Laksana dan Rara SekarLarasati (2017)
Berto Tukan (2015)
Berto Tukan (2015)
Simposium 65 dan Rehabilitasi Kemanusiaan
Bonnie Setiawan (2016)
Kebiadaban Negara Kapitalis Birokrat Orde Baru: 50 Tahun
Genosida 1965
Bonnie Setiawan (2015)
Kejahatan 1965: Hostis Humanis Generis
Bonnie Setiawan (2016)
Simposium 65 dan Rehabilitasi Kemanusiaan
Bonnie Setiawan (2016)
Militerisme dan Histeria Anti-Komunis
Bonnie Setiawan (2016)
’65, Konflik Sumber Daya Alam,dan Agenda Gerakan
Bosman Batubara (2013)
Memento Dari Pulau ‘Purgatorio’
Budi Irawanto (2016)
Coen Husain Pontoh (2017)
Coen Hussain Pontoh (2016)
Wajah Lain Jagal
Coen Hussain Pontoh (2014)
David Tobing (2013)
Dea Anugrah (2013)
Akademisi Islam dan WarisanTragedi 65
Dharma Setyawan (2016)
Rekonsiliasi Nasional Peristiwa Pasca Gestapu Ala Guru
Sejarah
Diah Wahyuningsih (2015)
Baperki, Komunitas Tionghoa, danG30S di Kota Medan
Dian Purba (2017)
Mengapa Isu Komunisme MunculKembali Saat Ini?
Dicky Dwi Ananta (2016)
Ancaman Nalar Pada Film Pengkhianatan Gerakan 30 September
Eko Prasetyo (2017)
Saatnya Membaca: Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional
Eko Prasetyo (2017)
Pengkhianatan Kampus Dalam FilmSenyap
Eko Prasetyo (2014)
Memori Kolektif, Perspektif Korban dan Marwah Peradaban
Elvan De Porres (2016)
Orde Baru dan Kebencian terhadap Komunisme yang Tak Kunjung Usai
Fathimah Fildzah Izzati (2014)
Sejarah Dansa Tango PKI-Militer dan Arah Rekonsiliasi
Fathun Karib (2016)
Menakuti ‘Senyap’ dan Paranoia Kiri
Fikri Disyacitta (2014)
Gde Putra (2017)
Jagus Dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita
Grace Leksana (2016)
G-30-S dan Pembunuhan Massal 1965-66
Hilmar Farid (2008)
Kepentingan Melawan Histeria Anti Komunis
Irwansyah (2016)
Irwansyah (2015)
Genosida* 1965: Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas Perjuangan Kelas
Iqra Anugrah (2015)
Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa
Iqra Anugerah (2013
Kaum Progresif dan Penanganan Kasus 65 dalam Bingkai Gerakan Sosial
Khalid Syaifullah (2016)
Benarkah Komunisme Bangkit Lagi?
Kristianus Antonius Saputra
(2017)
Lagi, Tentang NU dan ‘Buku Putih’1965
- Najib Yuliantoro (2013)
Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner
Made Supriatma (2015)
Made Supriatma (2015)
Hari Raya Orde Baru (30 Septemberdan 1 Oktober)
Made Supriatma (2014)
Pembantaian 1965 di Indonesia : Apa Yang Diketahui Amerika Serikat?
Margaret Scott (2015)
Martin Aleida: Takdir SastraAdalah Membela Korban (2014)
Martin Aleida (2012)
Martin Suryajaya (2014)
Memperingati Korban Terbesar di Indonesia
Mastono (2015)
Max Lane (2010)
Komunisme Dan PenstrukturanKebodohan
Michael Siahaan (2016)
Memahami Kembali Peran NU pada Detik-detik September-Oktober1965
Muhammad Al-Fayyadl (2014)
Dari Benturan ke Konsolidasi:Tentang NU dan ‘Buku Putih’ 1965
Muhammad Al-Fayyadl (2013)
Muhammad Al-Fayyadl (2016)
Putu Oka Sukanta : Dalam Sastra,Tidak Ada Humanisme Universal! (2013)
Rekonsiliasi Roh ala Mbah Kelikdi Plumbon, Semarang
Rian Adhivira (2016)
Mempahlawankan Soeharto, Mempahlawankan Fir’aun
Roy Murtadho (2016)
Ancaman Fasisme, Pelurusan Sejarah dan Peran Penting Gerakan Kiri di Indonesia
Roy Murtadho (2016)
Mengoreksi Cara Berpikir Kaum Orbais Melihat Komunis
Roy Murtadho (2015)
IPT 65, Hipokrisi dan Kebungkaman Kita
Roy Murtadho (2015)
Absurditas SolidaritasKemanusiaan: Dari Korban 65 Hingga Rohingya
Roy Murtadho (2017)
Roysepta Abimanyu (2007)
Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan
Rio Apinino (2013)
Ruth Indiah Rahayu (2017)
Kekerasan Pasca 1965 dan ProyekPengaburan Sejarah ‘Formal’
Sayfa Auliya Achidsti (2013)
Siti Maimunah (2013)
Soe Tjen Marching (2009)
Militerisme dan Kita, diTahun-tahun Orba
Tinuk R. Yampolsky (2015)
50 Kencan Pertama Bersama Tragedi1965
Viriya Paramita (2015)
Anti Komunisme yang Salah Arah
Wilson Bhara Watu (2016)
Windu W. Jusuf (2015)
Melupakan Maaf dan Memaafkan Lupa
Windu W. Jusuf (2015)
Windu W. Jusuf (2015)
Agustusan di Blang Padang:Surat-Surat Pendek dari Kampung Halamanmu
Windu Jusuf (2014)
Windu W Jusuf (2013)
Wijaya Herlambang : “Salihara dan Freedom Institute itu Lembaga Sampah!” (2014)
Tragedi 1965 dalam Karya-Karya Umar Kayam: Perspektif Antonio Gramsci
Yoseph Yapi Taum (2014)
Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965
Yoseph Yapi Taum (2012)
Obituari (*Penyintas 65)
Obituari: Perginya Rosidi, SangPenyintas Panembong
Fransiskus Pascaries (2017)
Tentang Perempuan yang Tak PernahMenangis: Obituari RA Soetarni Soemosoetargijo
Fransisca Ria Susanti (2014)
Mengenang Perkenalan Dengan UmarSaid
Wilson (2011)
Lilik Hs (2011)
Joesoef Isak, Sang DemokratSejati
Max Lane (2009)
OBITUARI: Selamat Jalan OeyHay-Djoen
- Kusni (2008)
Mengenang Oey Hay Djoen(1929-2008)
Hilmar Farid
Soedjinah, Pimpinan Gerwani danPendukung Bung Karno
In Memorium A.S. Dharta(1924-2007)
Budi Setiyono
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
Hilmar Farid