Ludruk : Lelucon Satire Merebut Hati Rakyat
Ketoprak : Politik, Drama, Rakyat
Wayang : Dari Feodalisme ke Politik Revolusioner
Reog : Di Jalanan Meritul Musuh Rakyat
(ini adalah sub judul Bagian Enam : Seni Pertunjukkan dalam buku Lekra Tak Membakar Buku. Saran kami untuk melengkapi publikasi pengantar singkat ini bacalah buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tersebut)
Di ludruk misalnya kita punya anaknya Durasim. Siapa Durasim itu? Teman-teman kan tahu, itu datuknya ludruk yang dibunuh Jepang. Dia memang orang kiri. Anaknya bernama Bowo dan ada lagi beberapa orang yang habitatnya memang di ludruk. Jadi tidak ada itu Njoto misalnya datang ke kelompok ludruk lantas bilang pemain ludruk harus masuk LEKRA, masuk PKI. Tidak ada, dan tidak akan jalan itu. Yang terjadi, memang ada kader-kader yang berdekatan dengan kami itu digarap, sehingga mereka bisa meneruskan pesan-pesan ke dalam gerakan ludruk itu. Jadi menyebarluas karena memang itu habitat mereka. Dengan begitu perkembangan bisa organik, bukan anorganik. Hal sama berlaku di bidang-bidang lain.
sebelum LEKRA itu berdiri sudah ada banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang berakar di masyarakat seperti kelompok ludruk, ketoprak, pesinden, lalu ada Pelukis Rakjat dan sebagainya. Itu semua sudah ada. Jadi bukan LEKRA yang membentuk semua itu. LEKRA justru besar karena organisasi-organisasi itu sudah ada.
….sebetulnya LEKRA itu lebih banyak mengkoordinasi, memberi dan menawarkan hal-hal baru kepada organisasi-organisasi yang sudah ada itu, dan menghubungkannya satu sama lain. LEKRA itu lebih banyak seperti jaringan jadinya. Maka itu tidak kami namakan sebagai organisasi. Kami adalah gerakan kebudayaan. LEKRA itu gerakan kebudayaan.
“Kalau anda ingat, ada orang-orang tua yang tahu persis kalau kampanye pemilihan umum tidak ada satu partai pun yang mengadakan kesenian di atas panggung untuk memberi warna kultural. Nah, setiap kali PKI mengadakan kampanye, mereka bekerja menghias dan menjadikan kampanye itu sebagai pesta rakyat. Nah, yang bergerak di sana waktu itu adalah seniman-seniman. Ya ada ketoprak, ludruk, Pelukis Rakjat dan sebagainya. Mereka membuat kampanye itu menjadi pesta rakyat. Mereka datang dengan reyog, pisang dan sebagainya. Panggungnya dibikin oleh teman-teman pelukis. Orang Manikebu mulai sadar waktu pemilu, “Kok dengan kebudayaan bisa meraih simpati rakyat begitu banyak?”
Dipetik dari Oey Hay Djoen (anggota sekretariat pusat) disalin dari http://oeyhaydjoen.blogspot.co.id/2008/06/oey-hay-djoen.html
In the course of this investigation it will become clear that the dominant view of LEKRA leaves much to be desired, reducing as it has the work of this group of highly patriotic, dynamic, and talented cultural workers to a caricatured image of ‘art in uniform’ at its very worst. I aim to challenge this dominant stereotype and thereby contribute to a deeper, more nuanced and complex understanding of the culture of Indonesia in the 1950s and early 1960s. LEKRA’s dynamism, variety, and complexity can be seen in several
ways. Michael Bodden dalam Heirs t World Culture
ways. Michael Bodden dalam Heirs t World Culture
*terlampir ebooknya di bagian bawah
LUDRUK
Namun menyusul jatuhnya PKI di tahun 1965, ludruk mengalami nasib yang mirip dengan “kesenian rakyat” lainnya yang diasosiasikan dengan PKI atau Lekra. Beberapa pemain ludruk dibunuh atau dipenjara, dan grup-grup ludruk yang eksis dibubarkan. Grup-grup baru kemudian dibentuk di bawah pengawasan dan kontrol militer. Pengawasan ketat dari militer ini sedikit banyak melucuti kekuatan modernisasinya. Ketika di awal tahun 1980an ludruk dihidupkan lagi sebagai “kesenian rakyat”, ludruk tidak lagi memiliki kekuatan penggerak yang sama seperti di zaman emasnya.
KETOPRAK
Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965 – nationalgeopraphic.grid.id
Ketoprak PKI – Sunardian Wirodono
REOG

WAYANG
Tukang batu yang diundang mendalang keliling Amerika
TEATER MODERN
(dalam buku ebook Heirs to World Culture hal 453-484)
LAIN-LAIN
(tentu tak hanya ludruk, ketoprak, reog dan wayang jejak elan revolusioner lekra juga ditemukan dan pernah mengakar dalam berbagai ekpresi seni dan budaya lokal diberbagai daerah lain)
Munculnya tragedi politik yang kemudian dikenal dengan Peristiwa G30S itu seolah menyudahi kontestasi ideologi dan kebudayaan di daerah ini. Banyak seniman yang tiarap, bahkan menyimpan rapat-rapat umbul-umbul kesenian yang menjadi kebanggaan mereka. “Mereka sengaja menyembunyikan identitas, sebab mereka takut sekaligus trauma. Kesenian tradisi seperti bantengan dan jaranan, terlebih ludruk pada masa itu dianggap oleh penguasa sebagai kesenian komunis,” ungkap Dikri.
Praktis pasca tragedi 1965, seni tradisi seperti bantengan dan jaranan kepang dor menghilang dari pentas kebudayaan.
Simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut
Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966
Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)