Dadang Christanto 1965 Artspace : Kehilangan, Trauma Hingga Protes dan Memorialisasi Genosida 1965-1966

dari pameran terbaru Dadang Christanto ‘Missing’ yang sedang berlangsung di Wei-Ling Gallery Kuala Lumpur

Rumahnya di Tegal dekat dengan lapangan, di mana Lekra sering menggelar pementasan seni. Rumahnya sering dipakai untuk berias seniman yang akan pentas. Rumahnya juga sering untuk kumpul dan diskusi orang-orang PKI.

Ia tak pernah bertanya pada ibunya tentang keanggotaan PKI ayahnya, ia takut melukai perasaan ibunya. Ia pernah bertanya pada tetangganya, tetangganya bilang ayahnya aktivis sering kumpul dengan guru ini dan itu, semua nama yang disebut adalah anggota PKI. Ia pernah menelusuri sejarah 1965 sendiri, bertanya pada tetangga-tetangganya namun tak banyak yang ia dapat.

Ia masih duduk di bangku SD, 8 tahun usianya ketika ayahnya dibawa oleh truk pagi-pagi benar. Ibunya menangis, kakak-kakaknya menangis, ia diam karena memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ia baru tahu ketika tetangganya mengatakan, “Kae lho Bapakmu nang asrama polisi digebukin.” Ia waktu itu tak bisa memahami kalimat itu. Tapi dari tangisan Mamanya ia tahu, ada sesuatu yang tak beres. Mamanya sering bertemu orang-orang yang dikira Mamanya tahu di mana keberadaan suaminya.

Mamanya sering “dipingpong”, informasi yang diterima tentang keberadaan suaminya tak pernah jelas. Katanya di penjara ini, penjara itu, tapi ia tak diijinkan bertemu suaminya. Si “pemberi informasi” sering minta makanan, pakaian, uang, permintaan suaminya kata mereka.

Pernah suatu ketika, adik Dadang yang waktu itu usianya 5 tahun diberi ijin untuk bertemu ayahnya. Tapi usia sekecil itu, mana dia tahu itu ayahnya atau bukan. Lama-lama keluarga Dadang seperti diperas, permintaan uang dan barang semakin sering. Sangat dilematis.

Dua hingga 3 bulan mencari, tidak pernah bertemu justru harus memberi ini dan itu disaat ekonomi keluarga makin sulit, keluarga Dadang memutuskan untuk berhenti mencari, sudahlah ayah dianggap hilang, kata Dadang.

Kesadaran dan pengetahuan tentang ayahnya ia dapat ketika di Bengkel Teater. Ia banyak mendapat pemahaman tentang apa yang terjadi, bukan hanya sekedar dari media, bukan dari kacamata Orde Baru. Ia mulai mencari informasi sendiri, ia mulai tak percaya pada pemerintah!

Pergaulan sebagai aktivis membuatnya banyak memperoleh pengetahuan, seperti Surat Nyonya Dewi Kepada Soekarno, ia dulu membacanya. Dari informasi-informasi ini ia mendapat benang merah tentang apa yang terjadi.

Ia pernah bertanya pada ibunya apa ayahnya PKI. Bukan, kata sang ibu karena ia tak pernah melihat kartu keanggotaan ayahnya. Ibunya mengalami trauma, pernah ada seseorang lewat depan rumahnya. Ibunya tegang, “Orang itu yang memberi daftar,” kata sang ibu.

Hampir sebagian karya Dadang Christanto terinspirasi dari masa lalunya tentu dengan ekspresi-ekspresi yang berbeda. Ada beberapa karya yang sengaja tak pernah ia pamerkan dan pasang di rumahnya, karya-karya tentang 1965 yang terlalu “horor”.

dipetik dari #23Tweets | Buku Pertamaku – Dadang Christanto | Australia – Fairuzul Mumtaz

315475018_10230081795614777_1893871992910791357_n

Akhir November diantara tanggal 29-30 November 1965, ayahku dibunuh dalam penjara.
57 tahun lalu. Saat dia berumur 38 tahun.

“Ora kalap” bahasa Jawa yang artinya tak tersisa.
Ora kalap ungkapan kesaksian dari sesama tahanan, ketika menyaksikan ayahku disiksa dalam tahanan.
(pesan Dadang Christanto pada 30 Nopember 2022)

simak juga dalam website ini

Dadang Christanto : Genocide 1965-1966 [IN RED; DARAH ITU MASIH SEGAR JENDERAL]

Dadang Christanto : Indonesia Genocide and  Painted Black on Their Faces

Trauma Horor Masa Kecil – Gatra

Di ruang pameran dipajang dua instalasi, Red Rain (2000) dan Cannibalism: The Memory of Jakarta-Solo 13. 14, 15 Mei 1998 (1998), serta lima lembar drawing. Temanya senapas, yaitu tentang korban kekerasan. “Lebih dari dua juta orang mati dibantai setiap tahun,” kata Dadang kepada Gatra, di sela acara pembukaan pamerannya.

Cerita tentang pembantaian manusia membekas kuat di hati Dadang. Dia sendiri bisa dikatakan sebagai korban. “Ayah saya diangkut dengan truk pagi-pagi buta, sementara saya tidak mengerti apa-apa,” kata Dadang. “Sejak saat itu, saya tak pernah lagi bertemu ayah.” Peristiwa 1965 itu terus membekas dalam benak Dadang, hingga saat ini.

Lewat karyanya, seakan Dadang ingin bercerita tentang sejarah pahit masa lalunya. Ia ingin membuat orang-orang yang melihat karyanya merasakan keterlibatan emosi. They Give Evidence bukan sekadar dongeng mengerikan tentang pembantaian manusia. Ia menjadi hantu yang mengikuti perjalanan hidupnya.

Dadang Christanto Bangun Studio 1965 Artspace di Australia – Alfred Ginting AUSTRALIA PLUS

Dadang merawat ingatan tentang 1965 lewat karya seni. Ia pun menamakan studionya 1965 Artspace.

Dadang Christanto’s blood relations –  Susan Chenery.

In honour of his disappeared father, artist
Dadang Christanto holds forth the memory of Indonesia’s 1965 massacres, despite
considerable personal risk. 

 

Astri Wright, “Dadang Christanto, The Art Of Protest,” International Gallerie [Mumbai],1998,pp34-45.pdf

FROM CULTURAL ACTIVISM TO COUNTER MEMORIAL:
THE ARTWORK OF DADANG CHRISTANTO 1975 – 2005 

ALLISON PATRICIA GRAY 

 

Kajian Karya/Pameran

Portfolio Dadang Christanto –Dokumentasi Karya dari Gallerysmith 
Memberi Makna Pada Ingatan – Hendro Wiyanto

Dadang Christanto, Witnesses from Indonesia

Sue Ingham, PhD candidate at UNSW COFA

Response and Responsibility: On the Cosmo-politics of Generosity in Contemporary Asian Art Marsha Meskimmon

Kajian atas karya instalasi Dadang Christanto
“Mereka Memberi Kesaksian”

Heads from the North: Transcultural Memorialization of the 1965 Indonesian Killings at the National Gallery ofAustralia – Katharine McGregor

.

Preview : Abstrack, page 1-2






Wawancara Dadang Christanto oleh sbs.com.au
(Audio)
 
 

Dadang Christanto: Karya Seni yang Terinspirasi Kekerasan

 

Ia dikenal atas karya-karya yang menggambarkan
kekerasan sosial. Wajah, kepala, dan darah seringkali menjadi bagian dari hasil karyanya itu. Mengapa?

 

Genosida 1965 -1966 – Dadang Christanto

 

Apakah karakteristik visual yang utama dari karya-karya Dadang Christanto? Mengapa nama atau judul dari pameran ini penting? Mengapa peristiwa tahun 1965 -1966 masih tetap melandasi kebanyakan karya Dadang Christanto? Seniman Dadang Christanto menjelaskan semuanya itu.

 
 



 
Katalog Pameran

 

 

Keberpihakan Terhadap Korban Lumpur Lapindo

 

*Dadang Christanto tentu tidak hanya menyoal Genosida 65-66 tapi juga banyak persoalan lainnya, salah satunya adalah persoalan bencana lumpur lapindo





Dadang Christanto di Lumpur Lapindo – Sunardian

 

simak 1700 ‘entry’ lainnya pada link berikut

Daftar Isi Perpustakaan Genosida 1965-1966

Road to Justice : State Crimes after Oct 1st 1965 (Jakartanicus)

14542544_1036993449746974_4443364972569517121_o

 

13047818_10209343119272764_8338060706038815101_o13043485_10209343122352841_1135692553504633931_n (1)
Definisi yang diusulkan D. Nersessian (2010) untuk amandemen/ optional protocol Konvensi Anti-Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) mengenai Pengadilan Kejahatan Internasional. (disalin dari Harry Wibowo)
Bookmark and Share

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s